|
Mbah Sainem (70) bersama tujuh rekannya yang semuanya perempuan duduk mengaso di dekat mata air Dusun Sureng, Desa Purwodadi, Tepus, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Setelah berjalan kaki hampir dua jam dari rumahnya di Dusun Danggolo, mereka sejenak melepas lelah sembari bercengkerama di bawah pohon rindang. Gemericik air menambah sejuk suasana, Kamis (17/7), itu. Mata air itu bak oase di tengah keringnya alam Gunung Kidul, memasuki musim kemarau ini. Dedaunan pohon jati telah tanggal sehingga terik matahari dengan leluasa menembus hingga permukaan tanah yang berdebu. Air di bak penampungan hujan milik warga pun telah lebih dari tiga bulan mengering. Mayoritas tetangganya memenuhi kebutuhan air bersih dengan membeli. Namun, Mbah Sainem tak sanggup lagi membeli air bersih. Satu tangki berisi 5.000 liter air bersih, harganya Rp 80.000. Dengan rata-rata pendapatan sebagai petani Rp 1.000 per hari, Mbah Sainem yang tinggal sendirian, karena lima anaknya telah berkeluarga itu, memilih menggendong air dari mata air yang jaraknya sekitar 4 kilometer dari rumahnya. Apalagi, panen singkong tahun ini sangat jauh dari harapannya. Hasil panenannya cuma satu bakul atau setara dengan sekitar 30 kilogram singkong basah. Singkong yang telah dikupas dijemur selama satu pekan sebelum disimpan sebagai bahan baku gaplek. Mbah Sainem lalu menjualnya ke pasar dalam bentuk tiwul, setiap hari pasaran satu pekan sekali. Dari hasil penjualan tiwul, ia memperoleh Rp 7.000 untuk satu pekan. Jika dijual sebagai gaplek, pedagang keliling hanya menghargai panenannya Rp 800 per kg. Untuk makan sehari-hari, Mbah Sainem bersyukur mendapat jatah beras untuk rakyat miskin (raskin) yang dibagikan tiap sebulan sekali. Dengan satu gelas raskin untuk makan setiap hari, jatah dari pemerintah itu dinilai mencukupi. Dengan minimnya pendapatan yang diperoleh, Mbah Sainem tak sanggup harus terus membeli air. Bak penampungan air milik desa juga menyediakan air murah bagi warga miskin seharga Rp 500 per 10 liter. Sulitnya air memaksa warga berhemat pula. Mbah Tamijo (70), misalnya, membatasi penggunaan air di rumahnya sebanyak satu ember kecil. Untuk mandi dan mencuci, dia dan suaminya ke sumber mata air terdekat berjarak 3 kilometer. Bupati Gunung Kidul Suharto mengakui masih cukup banyak warga yang tak mampu membeli air bersih. Karena itu, pemerintah kabupaten menggalakkan pembagian air gratis dengan dana Rp 1 miliar pada tahun ini. Menurut Suharto, ada sekitar 48.000 keluarga atau 254.000 jiwa yang masih kesulitan air pada musim kemarau. Kekeringan di Gunung Kidul juga menggerakkan beberapa lembaga, seperti Yayasan Peduli Lingkungan Hijau Lestari, untuk membantu bak tampungan berkapasitas 44.000 liter di mata air Sureng. (wkm) Post Date : 18 Juli 2008 |