|
MESKIPUN bau busuknya menyengat hingga radius 15 kilometer, tumpukan sampah yang menggunung di Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) Bantar Gebang sudah lama menarik minat banyak investor. Mulai dari investor "kacangan" hingga investor yang benar-benar serius ingin mengolah sampah hingga memiliki nilai jual tinggi. MESKI begitu, sejak dibukanya TPA Bantar Gebang 16 tahun lalu, belum ada satu pun investor yang akhirnya berhasil mengolah sampah DKI dengan baik. Ada dugaan, sampah menjadi komoditas proyek bagi oknum pejabat DKI. Belasan tahun tumpukan sampah di Bantar Gebang dibiarkan begitu saja. Proses sanitary landfill ternyata tidak sepenuhnya dilaksanakan. Selain tumpukan sampah dibiarkan begitu saja tanpa diuruk tanah, air lindi (leacheat/air sampah) yang seharusnya diolah pun dibiarkan mengalir ke mana-mana. Saluran air lindi yang ada tidak memadai. Bahkan di beberapa tempat tidak ada saluran air lindinya. Akibatnya sungguh parah. Leacheat yang mengandung banyak bakteri bercampur racun kimia meresap ke dalam tanah dan bercampur dengan air yang diminum warga. Pengurukan sampah dengan tanah yang seharusnya dilakukan berkala ternyata baru dilaksanakan belakangan setelah muncul protes warga tiga desa di sekitar TPA. Singkatnya, kondisi lingkungan di sekitar TPA Bantar Gebang mengalami degradasi parah. TIDAK adanya satu pun investor yang akhirnya mengelola sampah DKI mengundang kecurigaan masyarakat. Pejabat-pejabat di DKI dianggap sengaja mempersulit investor "beneran" yang ingin masuk untuk mengolah sampah. Seorang sumber di TPA Bantar yang enggan disebut namanya, mengatakan, banyak investor gadungan yang masuk dan ingin mengelola TPA Bantar Gebang. Investor gadungan itu berebut dana yang dialokasikan Dinas Kebersihan DKI. Sistem sanitary landfill, menurut sumber tersebut, sengaja dipertahankan karena setiap proses pada sistem tersebut sudah disubkontrakkan. Pekerjaan pengurukan dan penyemprotan masing-masing dilaksanakan oleh kontraktor yang berlainan. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Badan Pengelola Lingkugan Hidup Daerah (BPLHD) DKI, Yunani Kartawiria, mengungkapkan, sudah banyak investor yang mengajukan proposal untuk mengolah sampah DKI di Bantar Gebang. Termasuk investor dari negara-negara maju seperti Australia. Jumlah investor yang mengajukan proposal mencapai 25 lebih. Namun, ketika izin sudah dikeluarkan banyak yang tiba-tiba mundur teratur tanpa alasan yang jelas. "Mereka beralasan kesulitan mencari lahan untuk mendirikan pabrik pengolahan sampah," ujar Yunani. Satu-satunya mitra swasta DKI yang masih berjuang untuk mengelola sampah di Bantar Gebang adalah PT Tri Mitra. Perusahaan tersebut telah ditunjuk DKI untuk membangun instalasi pengolahan sampah menjadi kompos di Zona IV A dan zona IV B namun hingga awal 2004 belum terealisasi. Pihak Tri Mitra mengatakan, pembangunan fisik dimulai bulan Januari ini dan akan selesai selama empat bulan. Selama ini pembangunan konstruksi tertunda karena izin belum selesai diproses. Hasil dari buruknya pengelolaan sampah di Bantar Gebang, warga Bekasi kini menuntut agar TPA Bantar Gebang ditutup. Tuntutan itu didukung Pemkot Bekasi dan DPRD Bekasi yang meminta agar pengelolaan TPA Bantar Gebang diserahkan ke Bekasi jika DKI masih ingin membuang sampah di Bantar Gebang. Tarik ulur terjadi. DKI pun kebingungan mencari lahan untuk membuang sampahnya. TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) di Bojong yang disiapkan pun ditolak warga setempat selama pengelolaannya menggunakan sistem sanitary landfill dan open dumping. Pejabat di DKI sempat panik. Karena tidak ada tempat untuk membuang sampah, mereka kemudian nekat membuang sampah ke rawa-rawa di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Celakanya, lahan pembuangan sampah ribuan ton itu tidak dikonstruksi dulu, karena DKI menggunakan sistem open dumping. Bayangkan saja berapa besar kerusakan lingkungan yang akan terjadi mengingat produksi sampah DKI mencapai 6.250 ton/hari. SEMENTARA DKI masih bingung mencari lahan ke sana ke mari untuk membuang sampah, Bekasi sudah mengambil langkah yang lebih maju. Senin (5/1) lalu, Pemkot Bekasi dan DPRD Bekasi mulai menggandeng investor lokal, yaitu PT Indonusa Asri Aliansi, untuk mengolah sampah milik warga Bekasi di TPA Sumur Batu. Investor lokal ini tidak main-main. Dengan membeli patent teknologi pengolahan sampah dari Kanada, PT Indonusa Asri Aliansi yang dimotori Pejabat Rektor Universitas Trisakti, Azril Azahari, akan mengubah sampah menjadi pupuk organik. Biaya investasi pabrik dengan kapasitas 220 ton itu sebesar Rp 95 miliar. Sedangkan untuk kapasitas sebesar 440 ton, investasi yang dikeluarkan Rp 134 miliar. Dana yang digunakan untuk investasi, kata Azahari, murni ditanggung perusahaan, yakni berasal dari pinjaman rekanan bisnis di luar negeri. Anggaran tersebut sudah termasuk total expenses untuk tiga bulan pertama, kebutuhan lahan seluas 3-5 hektar dengan harga Rp 300 ribu per meter persegi untuk menampung pabrik. Sampah yang sudah diolah menjadi pupuk organik ini akan langsung diekspor ke luar negeri dan dibeli oleh Genica Inc. Genica Inc adalah badan koperasi nirlana yang dibentuk oleh International Bio Recovery (IBR) Canada. IBR memiliki patent teknologi pengolahan sampah yang akan diterapkan di Bekasi. Koperasi ini beranggotakan semua pabrik pupuk di dunia yang menggunakan teknologi dari IBR. "Salah satu keputusan yang diterapkan oleh Genica Inc adalah mewajibkan semua anggotanya untuk mengirimkan hasil produksinya tanpa terkecuali," kata Azahari. Pabrik pupuk organik yang akan dibangun di Sumur Batu diperkirakan mampu menyerap banyak tenaga kerja untuk memilah-milah sampah. Azahari mengatakan, untuk satu pabrik berkapasitas 220 ton akan menyerap 200-300 pemulung. Secara teknis, sampah yang diangkut dengan truk langsung masuk ke pabrik. Sampah dari truk diletakkan di atas ban berjalan untuk dipilah oleh ratusan pemulung. Para pemulung bekerja memilah sampah organik menjadi anorganik yang berukuran besar. Sementara pemilahan sampah organik dan anorganik berukuran kecil dilakukan dengan mesin. Selain membuka pabrik di Sumur Batu, PT Indonusa Asri Aliansi, juga akan membangun pabrik di 5-10 kota di Indonesia, diantaranya Bandung, Padang, dan Palembang. Azahari mengatakan, sebenarnya banyak yang memiliki konsep bagus untuk mengolah sampah. Namun mereka memiliki masalah pendanaan. Ia mengungkapkan, dibutuhkan komitmen pemerintah daerah agar investor yang ingin mengelola sampah tidak dipersulit. Di negara lain, pemerintah malah membayar tipping fee kepada swasta. Nilai tipping fee bisa mencapai separuh dari total pendapatan yang diperoleh investor pengelola sampah. Di Indonesia, investasi belum berjalan, pemerintah daerah sudah minta profit sharing yang besarnya mereka tentukan. "Itu yang membuat investor yang ingin mengelola sampah mundur," kata Azahari. Untuk menjamin ketersediaan sampah yang akan diolah ke dalam pabrik, PT Indonusa Asri Aliansi bahkan menyediakan dana kepada Pemkot Bekasi untuk membeli dump truck baru yang bisa menampung air lindi. Harga satu unit truk mencapai Rp 500 juta. TPA Sumur Batu letaknya hanya bersebelahan pagar dengan TPA Bantar Gebang. Jika pengolahan sampah milik Bekasi ini berhasil, DKI patut bercermin pada Sumur Batu. (LUSIANA INDRIASARI) Post Date : 07 Januari 2004 |