|
Sebagian besar proyek Infrastructure Summit I tahun lalu mandek. Perencanaan tidak matang. Mau ketemu bupati saja susah. TENAR dan dekat dengan pusat kekuasaan tak otomatis membuat Grup Bosowa lancar berbisnis. Perusahaan keluarga Kalla yang kini dipimpin Aksa Mahmudadik ipar Wakil Presiden Jusuf Kallaitu tak juga bisa membangun proyek jalan tol Makassar Seksi IV (Pelabuhan-Tol Reformasi-Bandar Udara Hasanuddin). Mestinya proyek jalan sepanjang 11,6 kilometer dan lebar 9 meter itu sudah mulai dibangun PT Bosowa Marga Nusantara, Januari lalu. Tendernya sendiri rampung awal 2005. Tapi, baru awal bulan lalu truk dan alat berat wara-wiri menimbun dan meratakan tanah. Tarif baru yang kami ajukan tak kunjung disetujui pemerintah, kata Wakil Presiden Direktur Bosowa, Erwin Aksa, pekan lalu. Inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak membuat biaya investasi membengkak Rp 100 miliar menjadi Rp 550 miliar. Erwin pun mengajukan tarif tol baru dari Rp 5.500 menjadi Rp 6.500. Setahun dinanti, persetujuan tak juga keluar. Kami tak tahu harus mengadu ke mana lagi, kata keponakan Jusuf Kalla itu. Keluhan serupa dikumandangkan investor dua ruas jalan tol lainnya, yakni Antasari-Depok dan Cinere-Jagorawi. Kepala Badan Pengatur Jalan Tol, Hisnu Pawenang, menampik inflasi sebagai biang pengganjal proyek. Kalau kenaikan bahan bakar mungkin berpengaruh, katanya. Tapi, proyek tetap bisa jalan dengan biaya awal yang sudah disepakati saat tender sembari menunggu tarif baru disetujui. Tiga ruas jalan tol yang belum dibangun itu merupakan bagian dari 38 proyek senilai Rp 85,7 triliun yang ditawarkan pada Infrastructure Summit I, Januari tahun lalu. Hanya tiga ruas yang sudah beroperasi, tujuh dalam tahap konstruksi, dan 12 ruas baru memperoleh sertifikat perjanjian. Sisanya masih di awang-awang. Total pada Summit I ditawarkan 91 proyek senilai US$ 22,5 miliar (Rp 204,7 triliun). Dari proyek gas, listrik, air minum, rel kereta, telekomunikasi, hingga bandar udara. Namun, hanya proyek jalan tol yang ada hasilnya, plus dua proyek air minum di Banjarmasin dan Samarinda senilai Rp 91 miliar. Menurut Imron Bulkin, Deputi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, penyebab tak lakunya proyek infrastruktur adalah minimnya kesiapan. Lebih dari separuh proyek hanya menggiurkan di atas kertas. Sebanyak 54 persen proyek baru namanya saja, katanya. Ada kesan pemerintahan baru menggebrak untuk memenuhi janji mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Alhasil, antusiasme 700 pengusaha yang menghadiri konferensi di Hotel Shangri-La mengkeret ketika tender dibuka. Mereka harus menimbang kembali karena belum ada aturan soal penjaminan bagi proyek-proyek jumbo itu. Proyek jalan tol, menurut Hisnu, terganjal soal pembebasan lahan. Investor harus mengurus dan menanggung sendiri risiko pembebasan tanah yang makan waktu karena alatnya proses negosiasi harga. Pengusaha jelas menghindari tahap seperti ini karena tak menguntungkan dari segi bisnis. Begitu juga pada 12 proyek pembangkit listrik. Tak ada jaminan bagi kerugian jika harga setrum tiba-tiba naik karena kebijakan pemerintah mencabut subsidi. Yang paling merana proyek pengadaan air minum. Dari 24 proyek yang ditawarkan, tak satu pun dilirik investor. Menurut Rachmad Karnadi, Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, pemerintah daerah tak siap meneruskan ambisi pemerintah pusat. Investor mau ketemu bupati saja susah, katanya. Dua proyek yang sudah jalan itu dikerjakan oleh pemerintah daerah dan Perusahaan Daerah Air Minum. Proyek kereta api sama saja. Jalur yang menghubungkan Stasiun Manggarai-Bandara Soekarno Hatta tak dilirik pengusaha. Padahal, PT Kereta Api sudah menghitung, proyek rel ini menguntungkan karena ada 29 juta orang yang menggunakan pesawat lewat Cengkareng per tahun. Buntutnya, pemerintah sendiri yang pontang-panting mencari investor. Bulan lalu, Menteri BUMN Sugiharto bertandang ke Dubai, antara lain untuk menawarkan proyek itu. PT Kereta Api dan PT Angkasa Pura II pun membentuk PT Railink yang khusus mengurus proyek ini. Bank Pembangunan Islam telah menyatakan minatnya membiayai. Soal pembiayaan memang kerap menjadi masalah utama proyek yang sudah siap. Bank-bank kompak menolak mengucurkan kredit. Menurut Erwin Aksa, kesulitan mendapatkan kredit salah satunya disebabkan belum jelasnya estimasi biaya investasi proyek. Persoalan kian rumit lantaran Bank Indonesia sudah lama melarang bank memberi pinjaman untuk pembebasan lahan. Itu sebabnya Jusuf Kalla sampai harus turun tangan memanggil direksi bank-bank pelat merah agar mau membiayai proyek infrastruktur. Menyadari banyaknya kendala, pemerintah mengubah arah kebijakan. Dari semula berharap pengusaha jalan sendiri, setahun terakhir regulasi dibenahi. Ada 161 peraturan baru maupun hasil revisi aturan lama dikeluarkan agar pemodal mau berinvestasi. Alhasil, kini urusan pembebasan lahan sepenuhnya ditanggung pemerintah. Badan Layanan Umum yang dibentuk sudah menampung Rp 600 miliardari total kebutuhan Rp 4 triliunyang dananya dicomot dari APBN sebagai dana bergulir pembebasan lahan. Pemerintah juga akan menanggung risiko proyek yang disebabkan bukan oleh risiko bisnis. Targetnya, pertengahan tahun depan semua peraturan infrastruktur itu siap dipakai. Masa negosiasi pembebasan lahan dalam Peraturan Presiden No. 67/2006 kini juga diperpanjang menjadi empat bulansebelumnya tiga bulan. Pemilik tak boleh menjual tanah jika lahannya akan dijadikan proyek infrastruktur. Harga pun bisa di atas nilai jual obyek pajak. Jika tak tercapai kesepakatan, tim penilai independen bisa didatangkan sebagai penengah. Namun, semua aturan itu baru payung tertinggi. Belum ada petunjuk teknis pelaksanaannya. Misalnya, dalam soal pengaturan tim independen, belum jelas benar aturan penunjukannya, pembayaran honornya, maupun kewenangannya. Ini memang masih membingungkan, kata Bastary Pandji Indra, Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Bappenas. Karena peraturan baru direvisi dan berlaku dua bulan lalu, belum ada proyek percobaan untuk mengukur efektivitas aturan ini. Pembebasan Banjir Kanal Timur yang sudah jalan pun masih mentok sana-sini, kata Bastary. Proyek transportasi air yang membujur dari timur ke barat Jakarta itu membelah wilayah permukiman. Terlepas dari kekurangan di sana-sini, berbagai langkah pembenahan regulasi menjadi daya tarik baru bagi pemodal. Buktinya, Infrastructure Summit II, 1-3 November kemarin didatangi 500 delegasi, meski mereka harus membayar US$ 750 per orangtidak gratis seperti sebelumnya. Ruang-ruang pameran di Jakarta Hilton Convention Center di Senayan pun penuh. Para menteri bahkan turun langsung menyapa investor, membeberkan proyek, sekaligus menjelaskan pelbagai kebijakan. Namun, seperti biasa, pengusaha selalu minta proteksi paripurna. Kami minta paket undang-undang transportasi dibereskan dulu, kata Lasmar Eulantes, Presiden Direktur International Container Terminal Services dari Filipina, yang berminat membangun Teluk Lamong Seaport, Surabaya, senilai Rp 2,5 triliun. Pengusaha Cina, Jepang, dan Timur Tengah pun minta jaminan serupa. Bagja Hidayat, Harun Mahbub, Irmawati (Makassar) Post Date : 06 November 2006 |