|
Mengolah sampah basah di rumah untuk menjadi kompos sebenarnya tidaklah sulit. Dengan peralatan dan cara yang sederhana sekalipun, sisa-sisa sampah dari dapur atau tumbuhan yang ada di halaman, yang tadinya tidak berguna, bisa bermanfaat dan bernilai ekonomis. Setidaknya, kompos buatan sendiri, meskipun hasil akhirnya ada yang tidak sehalus seperti kompos produksi pabrik yang dibeli di toko, bisa digunakan untuk memupuk tanaman dalam pot. Tanaman hias di rumah bertambah subur. Partisipasi penghuni rumah untuk ikut mengurangi produksi sampah juga membantu beban pengelolaan sampah di wilayahnya. Dengan mulai bermunculannya kesadaran warga untuk tidak lagi membuang sampah dari rumah begitu saja, pembuatan kompos menjadi hal yang cukup menarik untuk dipelajari. Soal jijik, belatung, dan bau yang sering kali menyurutkan niat untuk mencoba membuat kompos sendiri seharusnya tidak lagi menjadi penghalang. Anugrahati, warga RT 01 RW 03, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, justru merasa sayang jika sampah basah dari dapurnya tidak termanfaatkan. Sekitar lima bulan lalu tak terpikirkan dalam benak Anugrahati untuk memanfaatkan kembali tangkai-tangkai sayur, kulit buah, kulit bawang, dan daun-daun dari tanaman di halaman depan rumahnya menjadi barang lain yang berguna seperti kompos. Setelah mendapat pembelajaran dari kader-kader lingkungan yang mendatangi daerahnya bahwa membuat kompos itu mudah, Anugrahati pun tertarik. Sekarang tangannya tidak merasa lelah saat harus merajang sisa sayur dan sejenisnya supaya cepat berubah menjadi kompos. "Tempatnya bisa pakai apa saja, tidak perlu mahal. Komposter yang dipakai di sini dari tong plastik putih ukuran sedang. Di bagian bawah diberi lubang untuk jalan keluar air lindi. Demikian juga di sisi bagian tengah. Supaya udara bisa masuk," kata Anugrahati. Sampah basah cukup dimasukkan begitu saja ke komposter yang bisa dipakai untuk dua sampai tiga keluarga. Setiap tiga hari sekali sampah diaduk-aduk lalu dipanaskan ke sinar matahari sebentar. Demikian seterusnya. Sampah yang sudah dimasukkan akan terus menyusut dan membusuk. "Dalam waktu tiga bulan saja belum tentu tong penuh. Cara alami begini memang lama, tetapi tidak perlu keluar biaya banyak. Cara ini mudah dan bisa dilakukan siapa saja," ujarnya. Pembuatan kompos memang mulai menjadi keseharian warga. Setidaknya ada tujuh komposter yang disebar. Warga bisa membuang sampah basahnya ke dalam komposter, lalu secara bergantian mengaduknya supaya bisa jadi kompos yang baik. Sementara itu, Teti Suryati (45), warga RT 04 RW 05 Kampung Bulak, Klender, Jakarta Timur, mencoba menciptakan komposter dari bekas kaleng cat yang bisa diputar dari luar. Di dalam kaleng yang dilubangi di bagian samping dan bawah itu diberi besi berjeruji yang memiliki putaran di luar. Di bagian bawah kaleng diberi pasir setinggi 10 sentimeter. Di atasnya ditaruh sampah basah yang sudah dicacah. Untuk mengurangi bau bisa ditaburi serbuk gergajian atau kompos yang sudah jadi. Untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat dalam hitungan 1-2 minggu, tumpukan sampah itu bisa diberi mikroorganisme. "Prinsipnya, tumpukan sampah dalam kaleng itu harus diaduk untuk mengurangi suhu tinggi. Oksigen juga harus leluasa untuk membantu fermentasi yang baik. Dengan demikian, sampah tidak bau," kata Teti. Di TPA Bantar Gebang, Bekasi, sebenarnya ada perusahaan yang mampu mengolah kompos sebanyak 50 ton per hari. Douglas J Manurung, Direktur PT Godang Jaya Tua Farming, mengatakan, sekitar 300 ton sampah basah di TPA Bantar Gebang diolah menjadi kompos dan menyerap 100 tenaga kerja. "Sayang sesudah dua tahun Pemprov DKI tidak juga membantu. Padahal, sampah basah lainnya bisa diolah lagi sehingga beban TPA berkurang," katanya. Dari perusahaan ini, kompos dijual dengan harga Rp 300 per kilogram. Di pasaran, harga kompos bisa melonjak Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram. Ester L Napitupulu Post Date : 13 September 2006 |