Membersihkan Sampah di Atap Dunia

Sumber:Media Indonesia - 20 April 2010
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Popularitas puncak Everest membuat atap dunia ini kerap menanggung sampah yang ditinggalkan para penakluknya. Jangan heran kalau kini puncak tertinggi dunia tersebut dijuluki ‘tempat sampah tertinggi di dunia’.

Sejak 1990, sudah berulang kali dilakukan upaya pembersihan kawasan puncak tertinggi dunia Everest. Tahun ini giliran death zone atau zona kematian yang harus disapu dari sampah. Area tersebut berada di ketinggian 8.000 meter (26,246 kaki).

Karena minimnya oksigen, banyak pendaki meregang nyawa di zona ini. Pada pengujung April, Namgyal Sherpa beserta timnya yang terdiri dari pendaki- pendaki kawakan berniat me- ngumpulkan sampah di zona ini. Mereka pun membekali diri dengan kantong dan tas khusus.

“Sebab selama ini tidak ada yang berani membersihkan sampah di zona ini karena sangat sulit dan berbahaya,” ucap Sherpa, Ketua Extreme Everest Expedition 2010, soal inisiatif tim bersih-bersih tersebut.

Tim ini akan menembus udara tipis serta temperatur dingin lalu memunguti botol- botol oksigen kosong, tabung gas, tenda-tenda robek, serta peralatan lain yang tergeletak di antara South Col atau Camp IV pada ketinggian 8.000 meter hingga puncak Everest di ketinggian 8.850 meter. Setiap pendaki akan mendaki bolak- balik dan membawa turun 15 kilogram sampah pada setiap pendakian.

Dalam usaha menggapai puncak Sagarmatha, sebutan masyarakat Tibet bagi Everest, seorang pendaki biasanya menghabiskan biaya hingga US$10 ribu. “Tapi sebagian besar dari itu menjadi sampah dan ditinggalkan di jalur pendakian,” kata Sherpa.

‘Operasi semut’ di Himalaya ini menargetkan untuk membawa turun 2.000 kilogram sampah serta tiga mayat pendaki yang meninggal di area tersebut pada 2008. “Saya telah melihat tiga mayat terbaring di sana bertahun-tahun,” lanjutnya. Sejak saat itu, Nepal pun menjadi salah satu tujuan wisata terpopuler para pelancong.

Hingga saat ini, tercatat 4.000 pendaki telah melakukan pendakian ke Everest dan ber- hasil mencapai puncaknya. Kenaikan angka petualangan ini otomatis berdampak pada kenaikan angka sampah yang tertimbun di puncak Everest.

Utamanya di jalur pendakian terpopuler, yakni jalur selatan lebih dikenal dengan istilah Southeast Ridge. Jalur pendakian ini terdiri dari sebuah base camp utama dan empat base camp tambahan.

Diperkirakan ada 50 ton sampah yang terakumulasi di jalur ini sejak 1953. Seperlima jumlah itu berada di ketinggian 26.300 kaki atau di daerah yang disebut Camp IV atau South Col, titik awal tim Sherpa akan melakukan upaya pembersihan sampah.

Membawa sampah pribadi di lokasi seekstrem Everest menjadi hal yang dianggap sangat tidak penting saat seseorang tengah berjuang untuk hidup. Sebaliknya, pendaki sering kali meninggalkan peralatan tambahan yang dianggap tidak perlu untuk segera turun dari wilayah yang minim oksigen tersebut.

Selain faktor kebiasaan ini, manajemen sampah yang buruk juga menjadi penyebab Everest mendapat sebutan sebagai ‘tempat sampah tertinggi di dunia’. Tidak ada pengelolaan sampah atau fasilitas daur ulang di sekitar lokasi gunung yang disakralkan oleh masyarakat Tibet ini. Malah, setiap tahun sekitar 36,5 juta ton air yang mengandung sampah mengalir ke Lhasa River.

“Manajemen sampah adalah tantangan terbesar bagi pariwisata di Sagarmatha National Park,” ucap Deepak Bohara, Menteri Konservasi Hutan dan Tanah, pertengahan Januari lalu.

Pemanasan global juga berkontribusi pada isu lingkungan yang tengah dihadapi Everest. Gletser yang terus mencair membuat sampah-sampah yang tidak terurai muncul ke permu- kaan.

“Dulu sampah-sampah itu dibakar di bawah salju. Tapi saat ini sampah telah keluar ke permukaan karena mencairnya salju akibat pemanasan global,” kata Sherpa, 30. “Everest pun kehilangan keindahannya,” lanjutnya. (Maria Jeanindya/Reuters/urbwat- san/discovery/N-4)



Post Date : 20 April 2010