|
Berjuang selama 35 tahun untuk lingkungan yang bersih dan sehat. Menyulap kawasan kumuh dan kotor menjadi sehat dan bersih. Bahkan mendatangkan keuntungan untuk rumah tangga. Mengubah kebiasaan, apalagi yang buruk, tak semudah membalik telapak tangan. Harus telaten, sabar, dan butuh waktu. Paham itulah yang dianut Sriatun Djupri, 55 tahun, warga Jalan Jambangan, Kelurahan Jambangan, Kecamatam Jambangan, Surabaya. Berkat paham itu pula, Sriatun mampu memandu warga Jambangan untuk peduli kesehatan dan lingkungan. Jerih payah itu membuat Kementerian Lingkungan Hidup memutuskan ia layak mendapat penghargaan Kalpataru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan penghargaan Kalpataru kepada Sriatun di Istana Negara, Jakarta, 5 Juni silam. Setelah berjuang setidaknya selama 35 tahun, Sriatun dianggap mampu membawa lingkungan Jambangan menjadi lebih asri dan sehat. Tak hanya itu. Warga Jambangan juga mendapat tambahan penghasilan. Kepedulian Sriatun pada lingkungan sebenarnya wajar saja. Pada awalnya, kawasan Jambangan memang kumuh dan kotor. Maklum, daerah itu tempat mangkal para pendatang dari berbagai daerah yang ingin mengadu nasib di kota Surabaya sejak 1970-an. ''Pada waktu itu, Kelurahan Jambangan memang kumuh dan pola hidup warga, terutama di sekitar Kali Brantas, sangat tidak sehat,'' kata Sriatun, yang berasal dari Trenggalek ini. Sampah rumah tangga dibuang begitu saja di sungai dan tak diolah. Selain itu, mereka juga mendirikan jamban-jamban darurat serba apa adanya di sepanjang bantaran kali. Sriatun menyebutnya ''helikopter''. Mungkin karena sang jamban ''praktis'' dan ''mudah berpindah tempat''. Akibat limbah alam dan limbah rumah tangga, air sungai pun menjadi kotor. Apalagi, sejumlah pabrik ikut andil membuang limbahnya di sana. Ketika itu, Sriatun --masih berusia 19 tahun-- mulai rajin mengingatkan tetangga dan warga sekitar agar tak membangun ''helikopter'' di bantaran kali dan membuang sampah sembarangan. Saking seringnya ''berkampanye'' lingkungan, ketika ada pembentukan organisasi PKK (pembinaan kesejahteraan keluarga) yang sedang digalakkan pemerintah pada saat itu, Sriatun dipilih menjadi pengurus untuk urusan koperasi dan lingkungan. Sriatun kian bersemangat kampanye lingkungan. Ketika itu, istri Djupri ini memperkenalkan bagaimana memilah sampah menjadi bagian-bagian yang layak diolah lebih lanjut. ''Keinginan saya murni bertujuan mengubah kebiasaan warga menjadi lebih baik,'' katanya. Toh, itu tak berarti tugasnya jadi ringan. Banyak warga yang masih cuek terhadap imbauan Sriatun. ''Yah, mungkin karena saya hanya lulusan SPG (sekolah pendidikan guru), sedangkan ibu-ibu yang lainnya berpendidikan lebih tinggi. Jadi, dianggap nggak mumpuni kalau bicara pengolahan sampah,'' kata Sriatun. Perjuangan Sriatun sedikit terbantu karena ada peraturan daerah (perda) Pemerintah Daerah Surabaya yang mewajibkan warganya memilah sampah pada 1986. Kegiatan ini dilakukan melalui kelompok dasasisma yang memanfaatkan anggota PKK, karang taruna, dan para kepala keluarga sebagai kader lingkungan. Jalan perjuangan Sriatun makin terbuka setelah bantuan demi bantuan mengalir. Misalnya saja, Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Jawa Timur membangun sembilan sarana mandi-cuci-kakus di Jambangan pada 1996. Tak lama kemudian, Pemda Jawa Timur mencanangkan program ''Brantas Bersih'', program sungai bersih untuk Kali Surabaya, pada 2001. Akhirnya, Sriatun berhasil mendirikan Kelompok Kader Lingkungan Sri Rejeki pada 2004. ''Kegiatan utamanya berupa pelatihan bagi warga sekitar untuk memilah dan mengolah sampah, pembibitan tanaman, penghijauan pekarangan, jalan, dan pinggir sungai, serta membuat dan menggunakan jamban umum,'' tutur Sriatun. Tidak hanya itu. Aksi lingkungan Sriatun ini juga menarik perhatian Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan PT Unilever. Mereka menawarkan kerja sama untuk mengolah sampah. ''Saya bangga, jerih payah yang saya lakukan mendapat tanggapan dari banyak pihak,'' kata Sriatun. Puluhan kader, terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, dan remaja, direkrut. Mereka diajari cara memilah sampah basah dan kering. Sampah basah dijadikan kompos untuk penyubur tanaman, sedangkan sampah kering digunakan untuk kerajinan tangan atau dijual. Untuk membuat kompos, para kader penyelamat lingkungan itu didampingi staf pengajar Unesa, M. Yadi. Dosen ini menciptakan alat untuk membuat kompos skala besar dan skala rumah tangga. Sampah basah limbah rumah tangga dimasukkan ke dalam alat untuk membuat kompos. Untuk sampah kering, mulai kertas, buku, koran, bungkus plastik, botol plastik, hingga botol kaca, bisa dikumpulkan untuk dijual. Kerja keras Sriatun sungguh tidak sia-sia. Dari 40 kader lingkungan dengan 10 kepala keluarga, kini berkembang menjadi 1.000 kader, yang tersebar di 14 kelurahan. Warga Jambangan pun telah punya 14 WC umum. Selain itu, Sriatun besama warga kini mengoperasikan 306 unit komposter aerob skala rumah tangga. ''Ini artinya kami berhasil mengurangi produksi sampah dari 420 meter kubik per bulan menjadi 140 meter kubik per bulan,'' ujar Sriatun. Penghijauan pun mencapai luas tidak kurang dari 70% wilayah kecamatan. Kelurahan Jambangan kini berubah total. Tiada hari untuk berpangku tangan bagi warga Jambangan. Mereka mengisi hari-hari dengan membuat tutup makanan dan hiasan bros dari botol gelas air mineral atau membuat taplak dan hiasan bunga dari sedotan. Yang lain membuat pigura dari karton bekas. Karena itu, tak mengherankan, penghasilan mereka bertambah. Bayangkan, setiap rumah rata-rata memperoleh penghasilan Rp 150.000 per bulan dari hasil penjualan kompos. Hasil dari daur ulang limbah plastik, Rp 500.000-Rp 1 juta, masuk ke kantong tiap kader per bulan dalam bentuk kerajinan bunga plastik, taplak meja, tas, anting-anting, dan aksesori lainnya. Bahkan tak ada yang tidak menguntungkan dari kegiatan penyelamatan lingkungan ini. Belatung hasil sampingan pembusukan sampah juga bernilai ekonomi karena laku dijual sebagai pakan yang higienis bagi ikan air tawar. Penghargaan Kalpataru yang diraih Sriatun, menurut warga Jambangan, memang sudah selayaknya. ''Kami bangga pada beliau yang tidak hanya mengharumkan nama Surabaya, khususnya warga Jambangan,'' tutur Umi Harik, tetangga Sriatun yang juga menjadi salah satu kader pertama pendukung gerakan lingkungan itu. Hal senada dikatakan Kusni, tokoh masyarakat setempat. ''Jika ada penghargaan yang lebih tinggi dari Kalpataru, mungkin Bu Djupri-lah orang yang pantas menerimanya,'' katanya. Kini kesibukan Sriatun makin bertambah. Banyak pejabat negara dan tokoh masyarakat ingin bertemu dengannya. Bahkan sejumlah lembaga dari luar negeri menjadi tamu Sriatun, dari Filipina, Amerika Serikat, Australia, USAID, dan mahasiswa berbagai perguruan tinggi. ''Wah, saya tidak percaya wong cilik seperti saya bisa bertemu dengan pejabat. Apalagi mendapat penghargaan Kalpataru, mimpi saja belum pernah,'' kata Sriatun. Namun penghargaan bukanlah akhir perjuangan Sriatun. Ia akan terus membaktikan diri untuk lingkungan. ''Itu semua saya lakukan dengan ikhlas semata-mata ibadah untuk mendapatkan 'KMS', kartu menuju surga,'' ujarnya sambil tersenyum. Arif Sujatmiko (Surabaya) dan Nur Hidayat Post Date : 09 Juli 2008 |