Membentengi Jakarta dari Air Pasang

Sumber:Majalah Tempo - 14 Januari 2008
Kategori:Banjir di Jakarta
Rob di Jakarta telah jadi masalah sejak masa kolonial Belanda. Hingga kini belum teratasi bahkan makin parah.

Heru Suprayogi tidak lagi bisa mengenali lingkungan tempatnya bermain ketika masih usia sekolah dasar. Kawasan pesisir Jakarta seperti Muara Karang, Muara Angke, dan Muara Baru sudah banyak berubah. Dalam ingatan laki-laki 33 tahun yang kini tinggal di Banjarnegara, Jawa Tengah itu, ketiga daerah tersebut masih berupa hutan lindung dan bakau, ketika dia duduk di SD kelas lima dan enam. Masih ada buaya dan monyetnya, kata Heru, yang di masa itu terkadang ikut acara lintas alam Pramuka.

Masih cerita Heru. Rumah-rumah di Pluit dan Muara Karang belum sepadat sekarang. Taman Buaya dan Taman Tirta Loka, dua kawasan terbuka hijau di Pluit, sudah berubah menjadi Megamal Pluit. Sedangkan di kawasan Pantai Mutiara yang sekarang menjadi perumahan mewah, Heru dan teman-temannya biasa main bola dan latihan pencak silat. Namun, di masa lalu, banjir akibat air laut pasang juga sudah menyambangi kawasan dia tinggal di Muara Karang, meski tidak separah sekarang.

Terjangan rob memang menggila. Yang terjadi pada 26 November silam, misalnya, air laut sampai menjebol tanggul di Muara Baru, Jakarta Utara. Rumah-rumah pinggir pantai ikut rusak. Aspal pun tergerus. Menurut seorang warga, Zaenal Arifin, 50 tahun, rob yang terjadi hari itu adalah yang terparah selama 20 tahun dia tinggal di kawasan tersebut. Lihat bapak gendut itu. Dia yang beratnya lebih dari 100 kilogram saja hanyut terbawa air, kata Zaenal sembari menunjuk ke seorang lelaki tambun.

Tanggul setinggi 1,5 meter yang membendung air laut dari daratan di Muara Baru sudah tak layak lagi. Dari sisa yang jebol, tampak sejumlah retakan. Air laut merembes di sela-sela rekahan tembok itu. Dari sepanjang lima ratus meter tanggul, hanya sekitar seratus meter yang terlihat masih kukuh, yaitu terletak di dekat gedung pompa waduk Pluit. Ketika air pasang kembali merangsek cukup parah di Muara Baru, Rabu pekan silam, kondisi tanggul masih tambal sulam apa adanya.

Mengapa rob mengganas? Ada penjelasannya. Menurut Muchni, ahli hidrolik Jakarta Flood Teamtim ahli penanggulangan banjir yang dibiayai pemerintah Belanda serangan luapan air itu akibat siklus 18 tahunan. Misalnya pada 1989, ketinggian air pasang mencapai 215 sentimeter; pada November 2007, menjadi 220 sentimeter; dan pada 2025, mencapai 225 sentimeter. Ada juga yang memprediksi, pada 4 Juni 2008, rob akan mencapai tiga meter, karena adanya siklus 18,5 tahun, yaitu saat matahari dan bulan berada pada satu garis lurus.

Makin tingginya rob di Jakarta, termasuk akibat pemanasan global yang membuat es kutub mencair dan meningkatkan permukaan laut, adalah keniscayaan. Selain itu, juga merupakan hal yang pasti bahwa lanskap Jakarta rendah, terutama di sepanjang garis pantai di Teluk Jakarta. Ini karena Jakarta dibentuk oleh hamburan muntahan gunung berapi seperti Gunung Gede, Pangrango, dan Salak, ribuan tahun silam. Sedimennya dibawa sungai yang mengalir di Jakarta seperti Cisadane, Angke, Ciliwung, Bekasi, dan Citarum, sehingga memperluas daratan. Ini yang membuat batas ketinggian daratan dan air laut sangat tipis.

Sejak zaman kolonial Belanda, persoalan air pasang di bagian utara Bataviayang menjadi satu dengan masalah banjirsudah membuat pemerintah pusing tujuh keliling. Berbagai usaha sudah dilakukan oleh pemerintah Belanda, mulai dari membuat kanal mirip di Amsterdam, hingga pembangunan Banjir Kanal Barat yang dilanjutkan Banjir Kanal Timurnamun belum kelar hingga saat ini. Tapi tak semuanya berhasil. Dinas Burgerlijke Openbare Werken (BOW), cikal bakal Dinas Pekerjaan Umum, yang bertanggung jawab dalam penanganan banjir, dipelesetkan menjadi Batavia Onder Water, Batavia di bawah air, gara-gara dianggap gagal melulu.

Ketika pertama kali Jakarta punya perencanaan kota (Master Plan 1965-1985), infrastruktur penanggulangan banjir seperti gorong-gorong dan waduk rata-rata dinyatakan dalam kondisi tak layak. Sungai-sungai yang mengaliri Jakarta juga mendangkal akibat timbunan lumpur dari hulu dan sampahmasalah ini juga sudah ada di masa kolonial Belanda. Untuk itu, dalam perencanaan Kota Jakarta dari waktu ke waktu, penanggulangan banjir secara keseluruhan menjadi prioritas.

Menurut Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, sistem penanganan banjir air pasang yang ada sekarang sudah benar, tapi harus diperbaharui. Untuk itu, Pemerintah DKI Jakarta menganggarkan Rp 45 miliar untuk tahun anggaran 2008. Rp 15 miliar untuk meninggikan tanggul Muara Baru hingga dua meter, dan Rp 30 miliar untuk pembenahan waduk Pluit. Namun pembangunan itu tidak menjamin dapat menanggulangi peninggian air laut. Untuk itu, pilihan jangka panjang adalah membangun polder ganda.

Model polder ini sudah banyak diterapkan di negara yang memiliki daratan lebih rendah ketimbang permukaan air laut, sungai, atau danau. Belanda adalah contoh sukses penerapan sistem tersebut. Polder berupa tanah landai yang digenangi dan dikelilingi tanggul. Ketinggian air diatur oleh sejumlah parit yang bermuara di induk parit. Di induk parit terdapat pompa yang berfungsi membuang air yang berlebihan.

Polder mestinya ampuh mengatasi keganasan rob. Namun sumber ancaman tidak hanya datang dari laut. Penurunan tinggi daratan yang diakibatkan pembangunan gedung bertingkat, penggunaan air tanah berlebihan, pendangkalan sungai, dan sampah adalah daftar biang kerok banjir dan rob. Penurunan tanah di Jakarta rata-rata 2,5 sentimeter per tahunbahkan ada yang 6 sentimeter. Pada 2025, diperkirakan tanah ambles 40-60 sentimeter. Menurut Janjaap Brinkman dari Jakarta Flood Team, Pluit termasuk daerah yang berada di bawah garis pantai. Jika tidak dilakukan apa-apa, Pluit akan tenggelam, ujarnya.

Yang juga penting, menurut juru bicara Tim Banjir Jakarta, Darismanto, adalah mengatur strategi dan mewujudkan komitmen politik. Meluapnya air karena hujan atau air pasang bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi semua. Dibutuhkan kerja sama sekitar 22 instansi, katanya. Jika tidak segera bergerak, niscaya suatu hari nanti akan ada yang bercerita bahwa kampung halamannya telah terendam air laut.Bina Bektiati, Ahmad Taufik, Bayu Galih



Post Date : 14 Januari 2008