|
Mengatasnamakan proyek irigasi guna mengatasi kekeringan di Indramayu, Cirebon, dan Majalengka, proyek bendungan Jatigede di Sumedang mulai dirancang sejak awal tahun 1980-an. Namun, hingga 28 tahun kemudian, proyek ini masih menyisakan banyak masalah. etelah mandek puluhan tahun, sejak September 2007, pembangunan Bendungan Jatigede mulai berdenyut. Penyebabnya adalah adanya kucuran utang dari Pemerintah China untuk meneruskan pembangunan bendungan ini. Total pinjaman dari China ini mencapai 1.239,6 juta dollar AS. Menyusul adanya donor dari China yang mulai menggerakkan kembali proyek ini, kelompok masyarakat yang tanahnya dibebaskan pemerintah di bawah tekanan, 22-24 tahun lalu, kini menuntut penyesuaian harga. Tahun 1984, sebagian tanah warga dibeli tim pembebasan tanah dengan harga yang jauh di bawah harga pasar. Tak ada pula pengklasifikasian tanah permukiman, sawah, atau halaman. Untuk menuntut penyesuaian, warga sembilan desa bernaung dalam Gabungan Rakyat Daerah Rencana Genangan Jatigede dan Pokja Gugatan Proyek Jatigede dengan 1.054 keluarga. ”Gugatan hukum warga yang dikalahkan di tingkat pengadilan tinggi dan pengadilan negeri sedang dikasasi di tingkat Mahkamah Agung,” kata Ummi Maskanah, pengacara warga dari Universitas Pasundan, Bandung. Mamat Rahmat (69), salah satu warga yang pernah mengajukan keberatan sekitar pertengahan tahun 1980-an, diintimidasi dan disiksa aparat keamanan. Ia dan beberapa warga yang berani menanyakan ketidakadilan, ketika itu, dicap komunis. Solusi ironi Melihat kawasan yang akan ditenggelamkan adalah menyaksikan ironi. Ribuan hektar sawah yang akan ditenggelamkan itu merupakan lahan produktif dengan musim tanam tiga kali setahun. Tanah dengan padi subur menghijau itulah yang akan dikorbankan untuk mengairi kawasan hilir di Majalengka, Indramayu, dan Cirebon. Setiap musim kemarau, kekeringan memang melanda kawasan pertanian di tiga kabupaten yang merupakan lumbung beras nasional ini. Bendung Rentang, yang dibangun pada era penjajahan Belanda, tak sanggup lagi mengairi sawah warga. Data bulan Agustus, debit air di Bendung Rentang tinggal 9,10 meter kubik per detik setelah sempat turun 7,30 meter kubik per detik. Penurunan debit air Bendung Rentang membuat Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung melakukan gilir giring, yaitu mengalirkan air secara bergantian ke wilayah Indramayu dan Cirebon, dengan periode waktu. Awalnya, sistem pengairan gilir giring dilakukan lima hari untuk Cirebon dan tujuh hari untuk Indramayu. Karena kekeringan mulai meluas, gilir giring ditambah waktunya menjadi 6,5 hari untuk Cirebon dan delapan hari untuk Indramayu. Air dari Bendung Rentang tak hanya untuk pertanian, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat Indramayu. Menurut Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung Prijambodo, selain berkoordinasi dengan tiga kepala daerah—Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Majalengka—BBWS Cimanuk-Cisanggarung pun mengoptimalkan keberadaan penangkap air sementara di daerah hilir. Saat ini, tak ada aktivitas pertanian di sekitar aliran Sungai Cimanuk di Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka. Sejauh mata memandang, sawah kering terhampar dengan selingan sepetak tanaman timun suri, bawang, dan kacang hijau. Hingga awal September lalu, luas lahan puso di Kabupaten Indramayu mencapai 28.610 ha, sedangkan di Kabupaten Cirebon mencapai 5.874 ha. Lahan puso terletak paling jauh dari Bendung Rentang. Menurut perhitungan, luas lahan yang membutuhkan air di Indramayu sekitar 3.200 ha, sementara di Cirebon sudah tidak ada karena panen telah lewat. ”Air yang ada sekarang untuk penyediaan air baku PDAM Indramayu, juga beberapa lahan pertanian yang belum panen,” kata Kasno, Kepala Seksi Operasi dan Pemeliharaan BBWS Cimanuk-Cisanggarung. Krisis air itulah yang menjadi alasan pemerintah mencari jalan pintas dengan rencana membendung daerah aliran Sungai (DAS) Cimanuk di Sumedang. Masalahnya, adakah ini menjadi solusi terbaik? Urus hutan di hulu Di tengah niat pemerintah dan tuntutan warga soal ganti rugi, pandangan lain disampaikan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS). Mereka menilai pembangunan bendungan bukan merupakan solusi terbaik. Hal itu karena kondisi DAS Cimanuk dalam kondisi kritis. Ketua Dewan Pakar DPKLTS Mudiar Purwasasmita mengatakan, kondisi hulu Sungai Cimanuk di Kabupaten Garut maupun di Kabupaten Sumedang rusak sehingga debitnya tidak akan bisa optimal. Sungai Cimanuk, termasuk anak sungai, tidak luput dari degradasi lingkungan dari aktivitas penambangan pasir maupun penggundulan hutan di daerah tangkapan air. Setiap tahun, ujar Mubiar, sedikitnya 16 juta meter kubik sedimentasi yang terbawa aliran Sungai Cimanuk. Karena itu, pemerintah diharapkan mulai memperbaiki tutupan kawasan hulu dengan penghijauan. Tanpa itu, nasib Bendungan Jatigede akan sama dengan bendungan-bendungan lain: dibiayai mahal, mengorbankan rakyat, tetapi berumur pendek karena sedimentasi. ”Lebih baik tangguhkan dan mengurus hutan dulu,” kata Ketua DPKLTS Solihin GP. Menurut perhitungan lembaga itu, luas DAS Cimanuk yang harus diperbaiki mencapai 200.000 ha. Dengan anggaran Rp 5 juta per ha, dibutuhkan anggaran Rp 1 triliun. Bandingkan dengan anggaran pembangunan Jatigede yang mencapai Rp 7 triliun. Mudiar Purwasasmita mengatakan, yang dibutuhkan Jawa Barat adalah hutan dan belukar yang merupakan infrastruktur alam. Bukan bendungan masif, apalagi untuk membendung sungai yang tak lagi sehat. ”Saat ini bendungan tidak populer lagi karena dianggap merusak tata air dalam tanah. Banyak bendungan di negara maju justru dihancurkan. Lagi pula, tanpa penanganan di area hutan di hulu, bendungan yang dibangun pasti tak efisien karena mengalami pendangkalan,” kata dia. Ia meminta agar pemerintah belajar dari Bendungan Jatiluhur. Bila kondisinya sehat, kawasan Karawang semestinya tidak mengalami kekeringan seperti sekarang. ”Nyatanya, Karawang juga kekeringan,” ujar dia. Bukannya belajar, negara justru terus berkutat dengan persoalan yang sama: mengatasi persoalan dengan permasalahan baru, bahkan membiarkan bibit-bibit konflik tumbuh. (THT/NIT/ELD/GSA/AIK) Post Date : 12 September 2008 |