Membebaskan Kota dari Sampah

Sumber:Kompas - 08 Juni 2006
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Sampah, dengan sekejap telah mengubah citra Bandung yang dulu dikenal sebagai Parijs van Java dan kota perjuangan-lautan api-kini berubah menjadi kota lautan sampah. Bukan sesuatu yang aneh apabila udara Bandung yang dulu dingin dan segar kini berubah menjadi panas dan bau busuk, karena sampah telah menjadi "hidangan utama" hampir di setiap ruas jalan ibu kota.

Ketidaksanggupan pemerintah Kota Bandung dalam menangani masalah sampah dengan segera menjadi alasan utama bagi pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk terlibat dan mengambil alih upaya penanganan.

Dibukanya tempat pembuangan akhir (TPA) baru di tiga tempat, yakni di Desa Sarimukti dan Sumurbandung, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, dan di Desa Cianting, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, untuk menampung sampah dari Kota Bandung, dinilai sebagai solusi yang tepat untuk penanganan sementara.

Yang menjadi pertanyaan adalah upaya pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk membuka TPA-TPA baru tersebut ternyata disambut dengan gejolak protes dari warga setempat. Aksi demonstrasi penolakan yang dilakukan masyarakat Pasir Bajing, Garut, dan Cipatat, Kabupaten Bandung adalah sebagai buktinya.

Mengutip apa yang diungkapkan Dadan Suwarna dalam Forum Kompas edisi Jumat 26 Mei 2006, fenomena penolakan oleh masyarakat terhadap rencana pembuatan TPA-TPA baru oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat disebut sebagai sikap ego kedaerahan (sektoral).

Tentu kita semua sadar dan mengetahui, otonomi daerah bukan berarti kebebasan dan "memisahkan diri". Akan tetapi, otonomi daerah mengandaikan koordinasi sektoral dalam setiap wilayah administratif harus tetap berjalan. Maka, permasalahan yang dihadapi oleh suatu daerah menjadi masalah bersama. Inilah yang disebut Ir Soekarno sebagai semangat kebersamaan (nasionalisme).

Problem utama yang menjadi geneologi akar permasalahan yang dihadapi masyarakat adalah perasaan trauma. Secara matematis risiko yang nanti akan dihadapi tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh. Tentu keuntungan di sini bukan pada wilayah pragmatis individu. Akan tetapi, hadirnya berbagai fasilitas publik akan memberi kemudahan bagi masyarakat untuk meningkatkan tingkat dan kualitas kehidupan mereka.

Sudah pasti, siapa pun warga Jawa Barat bahkan rakyat Indonesia masih ingat dengan tragedi longsor sampah di TPA Leuwigajah, Kabupaten Bandung, yang telah merenggut begitu banyak nyawa tidak berdosa. Kasus Leuwigajah adalah bukti bahwa aparat Pemerintah Jawa Barat khususnya Kota dan Kabupaten Bandung tidak serius dalam melakukan penanganan sampah secara komprehensif.

Akhirnya, sebagian masyarakat berpikiran, jangankan membuka lokasi TPA-TPA baru, yang sudah ada pun tidak terawat. Sebagai contoh, aroma bau busuk selalu menjadi "hidangan wajib" bagi warga di sekitar TPA Jelekong, Kabupaten Bandung. Janji-janji pemerintah untuk membangun berbagai fasilitas infrastruktur dan kemudahan lainnya bagi warga di sekitar TPA Jelekong sampai sekarang masih belum direalisasikan.

Dalam perspektif itulah, penolakan masyarakat terhadap rencana pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk membangunan TPA-TPA baru menjadi sesuatu yang sangat wajar.

Meningkatkan standar kehidupan Disadari atau tidak, sampah mempunyai keterkaitan dengan meningkatnya pertumbuhan perekonomian masyarakat. Bahkan bagi sebagian orang, tumpukan-tumpukan sampah dijadikan sebagai sumber kehidupan dan mata pencarian.

Tentu, positif atau negatifnya dampak sampah bagi kehidupan masyarakat akan sangat bergantung pada sikap dari masyarakat dan pemerintah itu sendiri, karena sampah merupakan masalah bersama. Fenomena sampah Kota Bandung adalah contoh sikap yang tidak arif. Akibatnya, pamor Bandung sebagai kota wisata dan jasa merosot drastis.

Secara ekonomi, merosotnya jumlah wisatawan domestik maupun mancanegara yang mengurungkan niatnya untuk melancong ke Bandung akan berakibat terhadap menurunnya jumlah pendapatan masyarakat dan pemasukan daerah.

Begitu pun lemahnya pengelolaan sampah akan sangat berpengaruh bagi kesehatan masyarakat. Tumpukan-tumpukan sampah yang dibiarkan membusuk akan menjadi sumber munculnya wabah penyakit. Selain itu, di samping berdampak negatif bagi sektor ekonomi dan kesehatan, pengelolaan sampah yang tidak optimal akan berakibat menurunnya kualitas pendidikan di Kota Bandung-yang notabene adalah kota pendidikan. Aroma bau busuk akan menjadi penyebab utama hilangnya suasana kondusif bagi ke- seriusan belajar.

Karena ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah sampah, bukan mustahil target Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Masyarakat (salah satunya adalah bidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan) sampai angka 80 akan berakhir dengan kegagalan.

Harus arif

Sikap yang arif dan positif terhadap sampah tidak mustahil akan berbuah keuntungan. Hal itu akan tercapai apabila terjadi kerja sama yang sinergis antara pemerintah dan masyarakat, di antaranya: Pertama, pemerintah harus memberi penyuluhan-penyuluhan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat. Dalam hal ini pemerintah dapat menggunakan jaringan organisasi keagamaan (khususnya Islam) sebagai pelopor gerakan penyadaran. Organisasi keagamaan mempunyai peranan strategis dalam menumbuhkan kesadaran tentang perlunya hidup bersih, karena masalah kebersihan dan kesehatan merupakan ajaran paling dasar dalam Islam.

Kedua, pemerintah harus menyediakan fasilitas tempat pemilahan sampah organik dan anorganik mulai dari tingkat terendah seperti rumah tangga. Sebab, sumber sampah terbesar adalah sampah dari rumah tangga. Sampah laksana api, selagi volumenya kecil akan sangat mudah untuk dikelola, ketimbang menunggu besar akan sulit dikendalikan, bahkan menjadi sumber bencana.

Hal tersebut merupakan strategi dalam merangsang kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mengontrol dan menanggulangi sampah. Penyediaan tempat pemilahan mulai dari tingkat rumah tangga akan memudahkan proses penanggulangan. Sampah organik dapat langsung diangkut ke TPA untuk kemudian dikelola, misalnya dijadikan pupuk kompos, sementara yang anorganik (plastik, kaleng, besi, kaca, dll) dapat dijual untuk kemudian didaur ulang. Dengan cara inilah sampah dapat mendatangkan keuntungan.

Ketiga, pemerintah harus membuat kebijakan bagi seluruh pabrik- pabrik yang memproduksi bahan-bahan konsumsi untuk meminimalisasi penggunaan kemasan yang terbuat dari bahan dasar plastik. Begitu pun dengan pasar-pasar swalayan, meminimalisasi penggunaan kantong plastik secara tidak langsung akan mengurangi banyaknya sampah anorganik.

Dan terakhir, pembukaan TPA-TPA baru seperti yang direncanakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus dibarengi dengan diwujudkannya sistem pengelolaan terpadu dengan memanfaatkan fasilitas teknologi yang ramah lingkungan. Penulis yakin Jawa Barat mempunyai potensi besar untuk dapat mewujudkan mekanisme pengelolaan sampah yang berbasiskan teknologi ramah lingkungan, seperti yang digagas oleh almarhum Prof Hasan Purbo, Pimpinan Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung (PSLH ITB).

Di samping itu, pemerintah pun harus memberikan jaminan kesehatan dan keamanan bagi seluruh warga yang berdekatan dengan lokasi TPA, dengan membangun fasilitas infrastruktur, baik berupa fasilitas kesehatan, olahraga, pendidikan, air bersih, maupun yang lainnya. Dengan memberikan jaminan seperti tersebut di atas, penulis yakin apa yang disebutkan Dadan Suwarna sebagai ego kedaerahan penanganan sampah tidak akan terjadi. HILMAN WIRANATA Sekretaris PAO PB PMII

Post Date : 08 Juni 2006