Membayar Pinjaman dengan Sampah

Sumber:Majalah Gatra - 29 April 2011
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Azan subuh baru saja usai menyapa pagi. Hari masih gelap ketika Nuryamah, 36 tahun, membuka pintu rumahnya. Ia bergegas menuju Pasar Cicadas yang lokasinya tak jauh dari kediamannya. Dengan menjinjing tas belanja dan dua kantong kresek, Nur menyusuri jalanan sempit Gang Lemahneundeut, Kelurahan Cikutra, Kecamatan Cibeunying, Bandung. Perempuan itu selalu berjalan pelan dengan mata lekat menatap jalan. Ketika menemukan botol plastik bekas di pinggir jalan, ia memungutnya. Begitu juga bila mendapati koran, kertas bekas, kotak minuman, dan sebagainya. Pulang dari pasar, Nur masih melakukan ritual serupa. Sampai di rumah, dua kantong plastiknya penuh dengan sampah.

Kemudian ia memilah-milah dan menumpuknya di sudut ruangan di lantai II rumahnya yang sederhana. "Sudah hampir dua karung besar sampah saya kumpulin," kata Nur, bangga. Kebiasaan itu dilakoninya sejak dua bulan terakhir, sekalipun dia bukan pemulung atau petugas kebersihan.

Nur adalah nasabah sebuah bank istimewa: Bank Bunga Sampah. Sesuai dengan namanya, bank ini mewajibkan nasabahnya membayar bunga berupa sampah yang bisa didaur ulang. "Sampah ini memang buat bayar bunga pinjaman. Lumayan," tutur Nur.

Penggagas Bank Bunga Sampah itu adalah Deni Jasmara, aktivis lingkungan Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Jawa Barat. "Saya sering ngobrol dengan teman-teman di Cicadas. Bank ini didirikan untuk menjawab kebutuhan mereka," kata Deni. Maklumlah, menurut Deni, warga Cicadas, terutama di kawasan RW 04 dan RW 07, banyak yang terjerat rentenir. "Hampir 60% warga sudah terjerat rentenir," katanya.

Bahkan, menurut laporan Edi Sutardi, yang bertugas sebagai kolektor nasabah bank, ada sejumlah warga yang berutang kepada dua atau tiga rentenir sekaligus. Ada yang pernah berutang Rp 10 juta tak mampu membayar sehingga rumahnya langsung disita. Selain itu, berutang ke rentenir tentu harus tahan ditagih terus-menerus jika sudah jatuh tempo. Karena itu, warga juga menyebut para rentenir adalah "Bank 79". "Nagih-nya dari pukul 7 pagi sampai 9 malam," kata Deni sembari tertawa.

Selain soal rentenir, hal lain yang membelit warga Cicadas adalah menumpuknya sampah. Lahan yang sempit dan tata ruang yang amburadul turut memperparah problem ini. "Panjang selokan yang berfungsi yang ada airnya cuma lima meter. Sisanya tumpukan sampah," ujar Deni. Apalagi, warga masih terbiasa seenaknya membuang sampah ke sungai. Edi menambahkan, "Kalau hujan, rumah saya kena banjir," katanya.

Deni kemudian mendiskusikan masalah itu dengan teman-temannya di markas SHI. Kebetulan, ketika itu SHI memiliki koperasi simpan-pinjam. Koperasi ini, menurut Deni, dapat dikembangkan menjadi bank untuk membantu memberantas jeratan rentenir. Hanya saja, ada kendala soal bunga. "Kami tidak mau riba. Bagaimana kalau bunganya dibayar pakai sampah?" kata Deni.

Gagasan yang memang kontroversial. Apa ada bank yang mau dibayar dengan sampah? Toh, para aktivis lingkungan itu setuju semua. Mereka mengerti, walaupun sampah, nilai ekonominya cukup tinggi jika dikelola dengan baik. Lagi pula, ada keuntungan lainnya: lingkungan menjadi lebih bersih dan sehat jika sampah dapat ditata dengan baik.

Sebenarnya, kata Deni, ide tentang bank dan sampah itu pernah dilaksanakan dua tahun lalu di Bandung. Ketika itu, warga diajak menabung sampah di bank sampah. Sampah ini kemudian dijual dan hasilnya ditabung untuk keperluan nasabah. "Tapi program ini tidak berhasil. Masyarakat kita itu bukan penabung, melainkan peminjam," tutur Deni.

Oleh sebab itu, pola layanan nasabah dibalik dalam Bank Bunga Sampah. Nasabah diberi pinjaman dulu, lalu mengumpulkan sampah untuk membayar bunganya. Konsep bunga sampah inilah yang kemudian ditawarkan Deni kepada warga dari pintu ke pintu. Awalnya, "Banyak warga nggak percaya, masak bunganya dibayar pakai sampah,'' kata Deni.

Ternyata, setelah diterangkan, banyak juga yang tertarik. Apalagi setelah melihat skema pinjaman yang ditawarkan. Warga dapat meminjam dana hingga Rp 500.000. Untuk besaran cicilan dan bunganya, Deni sempat melakukan tawar-menawar dulu dengan warga.

Mereka ingin, untuk cicilan berikutnya, bunganya lebih kecil daripada rentenir. Kalau ke rentenir, jika pinjam Rp 500.000 untuk sebulan, dana yang harus dikembalikan mencapai Rp 600.000. "Jadi, asal lebih kecil dari jumlah itu, warga akan tertarik meminjam dana," kata mantan Ketua Walhi Jawa Barat itu.

Akhirnya muncul kesepakatan, cicilan ditetapkan Rp 15.000 per hari dengan bunga pinjaman 5% alias Rp 25.000. Jika dikonversi, jumlah itu sama dengan 25 kilogram sampah. Bunga sampah ini harus dibayarkan pada hari ke-35. "Jumlah hitungan ini hanya mencapai seperempat dari jumlah yang ditentukan rentenir," ujar Deni.

Dana Rp 25.000 tadi, kata Deni, digunakan untuk modal koperasi dan upah petugas lapangan masing-masing Rp 10.000. Selebihnya digunakan untuk dana sosial dan perbaikan fasilitas umum di lingkungan RW. Deni kemudian menunjuk Edi tadi sebagai kolektor. Sony, warga Cicadas lainnya, ditunjuk menjadi pendamping yang berfungsi menyosialisasikan program-program bank, memberi penyuluhan soal sampah, dan menyortir calon nasabah.

Sebenarnya, menurut Deni, upah untuk petugas itu masih jauh dari layak. Karena itu, biar tambah semangat, Edi dan Sony mendapat jatah modal usaha Rp 1,5 juta. Edi kini membuka warung kopi, sedangkan Sony membuka warung pulsa dan telepon seluler. Padahal, sebelumnya, Edi dan Sony hanya bekerja serabutan.

Rupanya, baru saja resmi beroperasi sekitar dua bulan, menurut Edi, calon nasabah membludak. Namun bank hanya menerima 19 nasabah sebagai tahap awal. Soalnya, modal bank memang terbatas. Dana awal hanya mencapai Rp 5 juta. Para peminjam, menurut Sony, kebanyakan ibu-ibu. "Ada juga sopir angkot. Ada yang pinjam buat beli gitar, lalu ngamen. Setorannya jadi lancar," kata Edi.

Tapi tak semua calon dapat diterima sebagai nasabah. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Selain wajib terdata sebagai warga Kota Bandung, "Dia harus punya usaha atau punya niat untuk buka usaha. Jadi, nanti mereka punya profit dan bisa bayar utang," tutur Deni. Selain itu, bank juga mensyaratkan nasabahnya harus sudah lepas atau tidak berutang ke rentenir.

Untuk masa depan, Bank Bunga Sampah sudah punya segudang rencana bagi nasabah. Jika ingin meminjam lebih dari Rp 500.000, maka tak hanya mengumpulkan sampah, nasabah juga wajib membuat kompos. Tapi pinjaman itu belum diadakan karena modal yang cekak tadi. Selain itu, sistem administrasi akan disempurnakan. Untuk usaha ini, suatu saat dananya dapat diambil dari nasabah. "Saya juga ingin ada semacam asuransi perbankan untuk nasabah," katanya.

Jika tidak ada aral melintang, menurut Deni, bakal ada penambahan modal pada akhir bulan ini sebesar Rp 10 juta. "Jadi, nanti nasabah bisa bertambah kira-kira 20 orang," kata Deni. Targetnya, hingga akhir tahun ini, Bank Bunga Sampah berharap, dana yang dapat dikelola mencapai sekitar Rp 200 juta, dengan lingkup layanan mencapai 25 RW di Bandung.

Berbagai rencana itulah yang sangat diharapkan Nur. Tampaknya kehadiran bank sampah tersebut lumayan berdampak positif terhadap ibu tiga anak ini. Nur mengaku tak terjerat utang rentenir lagi. Ia juga sudah mampu buka warung di depan rumahnya. "Saya ingin mendapat pinjaman lebih besar. Tapi saya belum tahu soal kompos," ujar Nur.

Sebagai nasabah awal, kewajibannya memang hanya memilah sampah dan menyetorkannya sebagai bunga. "Memilah sampah itu ibarat tahapan keimanan yang paling rendah," kata Deni. Bank Bunga Sampah, menurut Deni, adalah pilot project bagi yang lain. "Jadi, silakan dicontoh," katanya sembari tersenyum lebar. Nur Hidayat, dan Wisnu Wage Pamungkas (Bandung)



Post Date : 29 April 2011