Membangun Polder Berbasis Masyarakat

Sumber:Kompas - 04 Februari 2008
Kategori:Banjir di Jakarta
Banjir bertubi-tubi melanda Jakarta. Pemimpin bangsa hingga gubernur berputar membicarakan isu banjir lima tahun hingga curah hujan berlebih, dan kemudian melupakan pembangunan polder.

Celaka memang, Indonesia sebagai negeri yang pernah 350 tahun lebih berhubungan dan dijajah secara sempurna oleh Kerajaan Belanda, pada awal abad ke-20 justru melupakan salah satu peninggalan paling berharga, yakni teknologi polder!

Sawarendro, Ketua Indonesian Land Reclamation and Water Management Institute (ILWI), menjelaskan, polder adalah suatu daerah tertutup yang tinggi muka airnya dikontrol secara artifisial menggunakan pompa.

Untuk dapat menjalankan fungsinya secara efektif, polder dilengkapi dengan sejumlah elemen, yakni tanggul penahan limpasan air, saluran, waduk, dan pompa dengan atau tanpa pintu air, kata Sawarendro, alumnus Technische Universiteit Delft Kerajaan Belanda.

Tingkat keamanan polder disesuaikan dengan tingkat risiko dan nilai ekonomis dari daerah yang ingin dilindungi.

Dalam buku Zuider Zee Polder Project dicantumkan betapa teknisi Belanda membangun polder di Inggris, Thailand, Skandinavia, dan bahkan rekonstruksi tanggul kota New Orleans, Amerika Serikat.

Daerah yang dilindungi polder nilai ekonomisnya terjaga baik karena ancaman genangan air atau banjir dapat dikendalikan.

Perhatian yang diberikan, menurut Duta Besar Kerajaan Belanda Nikolaos van Dam, sudah disampaikan dalam rencana kerja sama lebih lanjut pascabanjir tahun 2002. Namun, waktu berlalu, proyek polder terbengkalai dan rencana kerja tahun 2002 belum sempat terlaksana hingga banjir melanda Februari 2007.

Membangun jejaring polder sudah dirancang bagi Jakarta sejak tahun 1973 pada zaman Gubernur Ali Sadikin, tetapi belum diterapkan hingga kini!

Jakarta kota bawah laut

Sekitar 40 persen wilayah Kota Jakarta ada di bawah permukaan laut. Sebagai kota bawah laut, Jakarta bertipologi kota Amsterdam yang ada di lahan rendah dan cekung yang tidak memungkinkan air mengalir dengan gravitasi ke laut.

Karena itu, ujar Sawarendro, pembuangan air dari 40 persen lebih wilayah Jakarta harus dibantu pompa dan tempat penampungan sementara (waduk).

Kerawanan bertambah karena banyak cekungan yang lunak dan diiringi penyedotan air tanah terus-menerus mengakibatkan amblesan.

Penurunan muka tanah di Jakarta berkisar 3-5 cm per tahun. Dengan kecepatan penurunan (land subsidence rate) seperti ini, maka tinggi muka tanah akan menurun sebesar 60 cm-100 cm dalam waktu 20 tahun, kata Sawarendro.

Ini berarti efektivitas dari struktur penahan banjir (tanggul dan pompa) akan berkurang seiring dengan perjalanan waktu.

Agar mampu melakukan proteksi terhadap banjir diperlukan investasi baru. Kuantitas penyedotan air tanah harus dikurangi dan akhirnya dilarang.

Dia menambahkan, investasi pada air pemipaan (PDAM) dan pemakainya harus diberikan insentif. Adapun pemakai air tanah harus dikenai pajak.

Pemerintah tidak mampu

Mampukah pemerintah bekerja sendiri? Sawarendro mengatakan, berdasarkan pengalaman, di Indonesia dan negara lain, pemerintah memiliki keterbatasan kapasitas (keuangan dan sumber daya lain). Jika pemerintah bekerja sendiri, solusi kalah cepat dengan persoalan yang muncul.

Untuk itu perlu partisipasi publik yang luas, melibatkan stakeholders dan beneficiaries, kata Sawarendro.

Pengalaman menunjukkan persoalan pengelolaan air terutama disebabkan kebijakan tak memadai dan lemahnya institusi akibat kekurangan dana. Infrastruktur banjir akan berumur pendek dan tidak efektif.

Mereka memberi kontribusi dan berhak ikut menentukan. Prinsip ini dikenal dengan prinsip benefit-pay-say.

Upaya tersebut dirintis warga Pluit, Jakarta Utara. Haw Ming, seorang sesepuh warga, mengorganisasi masyarakat membangun polder dengan jaringan tanggul dan rumah pompa.

Organisasi pengelola polder pun hidup di Pluit. Mereka mengelola, membiayai operasi, dan memelihara infrastruktur.

Prinsip ini digunakan Belanda melalui organisasi Waterboard dalam mengelola polder mereka.

Ketua Balai Besar Ciliwung- Cisadane Pitoyo Subandrio menambahkan, di Kerajaan Belanda, warga yang mengabaikan kewajiban dalam pengelolaan polder dapat diusir dari lingkungan.

Saat ini banyak kampung kumuh, seperti Cengkareng, Kamal, Kapuk, dan Jelambar yang membutuhkan pendampingan swasta untuk membangun polder pada saat pemerintah tidak berfungsi. Iwan Santosa



Post Date : 04 Februari 2008