Membangun Daerah Water Fund

Sumber:Media Indonesia - 09 April 2010
Kategori:Air Minum

[ANTARA] KRISIS air yang membayangi kawasan Pantura ketika musim kemarau kemarin sungguh menjadi keprihatinan. Bahkan upaya pemanfaatan potensi sumber daya air yang ada telah melahirkan konflik sosial yang sampai kini belum tuntas. Konflik itu dapat diketahui dari adanya pemanfaatan sumber mata air di Pegunungan Muria yang dikomersialisasikan oleh kelompok masyarakat tertentu.

Rusaknya hutan dan sumber mata air yang diperparah dengan penggunaan air tanah yang sudah melewati batas kewajaran menjadi dentum ancaman menurunnya kualitas air tanah. Pola pembangunan yang kurang memperhatikan kualitas lahan huni pun pada akhirnya membuat air hujan hanya menggelontor begitu saja ke laut. Untuk itu, maraklah eksploitasi sumber-sumber mata air yang ada.

Parahnya, setelah UU Nomor 32/2004 tentang pemerintahan daerah (Pemda) diberlakukan, percepatan eksploitasi sumber daya alam justru menjadi tren pembangunan yang akhirnya meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan karena target menggenjot pendapatan daerah. Hal ini dapat dilihat dari upaya pemaksaan berdirinya Pabrik Semen Gresik di Pati dan PLTN di Semenanjung Jepara.

Hasil laporan Profesor Surjono Hadi Sutjahjo, pakar lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), beberapa pulau di Indonesia telah mengalami defisit air yang terdiri dari Pulau Jawa, Sulawesi, Bali dan NTT masing-masing sebesar 52,809 milyar; 9,232 milyar; 7,531 milyar dan 1,343 milyar meter kubik (SM, 1/12). Kenyataan ini memberi pesan bahwa manajemen pengelolaan air harus segera dirumuskan untuk mengatasi krisis air yang semakin akut.

Sebagai penguat atas laporan defisit air tersebut, kemarau yang melanda Kabupaten Jepara sebagai representasi kawasan Pantai Utara Pulau Jawa, setidaknya telah membuat empat kecamatan mengalami krisis air bersih. Keempat kecamatan itu adalah Welahan, Kalinyamatan, Mayong, dan Nalumsari. Pemenuhan kebutuhan air bersih sehari-hari sangat menggantungkan pasokan air PDAM dan bahkan air kemasan isi ulang.

Pertanyaan sekarang apa yang harus dilakukan? Tidak bisa lain Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dan tentunya dalam lintasan jalur Pantai Utara membuat gerakan "water fund". Suatu gerakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi air laut dalam sebagai air minum guna mengurangi percepatan habisnya ketersediaan cadangan air tanah. Terlebih itu, kondisi pengambilan air tanah yang berlebihan sebagai dampak maraknya industri air kemasan isi ulang telah mempercepat intrusi air laut ke arah daratan.

Memang, Kementerian Negara Riset dan Teknologi melalui Program Diseminasi dan Spesifik Lokasi (Speklok) dalam upaya pembangunan Kampung Teknologi di Kecamatan Mlonggo telah melakukan identifikasi, pelacakan dan eksplorasi air tanah dalam untuk menyuplai kebutuhan air bersih seluas 140 ha yang di dalamnya akan terdapat 3 (tiga) fasilitas tecnopark, agropark, dan ecopark.  Hasil uji pelacakan air pada tahun 2008 mendapatkan sumur yang berpotensi menghasilkan air bersih dengan debit 5 sampai 8 liter/detik dan uji laboratorium air yang dihasilkan layak untuk dikonsumsi. Selain itu juga ditemukan 2 (dua) lokasi yang berpotensi cukup besar untuk menghasilkan air bersih yaitu di Desa Pakis Adi.

Inilah kesalahan yang sangat mendasar ketika memaknai pencarian solusi krisis air bersih dengan membongkar sumber air tanah baru. Pengembangan kawasan teknologi berbasis lingkungan sejatinya adalah pengurangan pemanfaatan air tanah karena imbasnya akan mengganggu struktur tanah bagi masyarakat. Keindahan karya intelektual yang dipertontonkan dalam program Kampung Teknologi itu pada akhirnya hanya menjadi bukti adanya kampanye pemanfaatan nuklir masuk kampung guna mendukung lolosnya pembangunan PLTN di Jepara.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut adalah mengintegrasikan ekonomi ke dalam lingkungan. Untuk menjamin pembangunan berwawasan lingkungan tersebut, terdapat tiga dimensi penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, dimensi ekonomi yang menghubungkan antara pengaruh-pengaruh unsur makroekonomi dan mikroekonomi pada lingkungan dan bagaimana sumber daya alam diperlakukan dalam analisis ekonomi. Kedua, dimensi politik yang mencakup proses kebijakan dalam menentukan penampilan pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan. Ketiga, dimensi sosial budaya yang mengaitkan antara tradisi atau sejarah dengan dominansi teknologi, pola pemikiran, dan agama.

Sudah saatnya menitikberatkan kajian pada pengoptimalan sumber energi-energi alternatif terbarukan dari laut, dan itu tentunya dapat berupa pemanfaatan air laut dalam sebagai sumber air minum masyarakat yang hingga saat ini belum banyak dimanfaatkan. Dari sejumlah alternatif mengatasi krisis air bersih, optimalisasi penyulingan air laut menjadi air mineral merupakan solusi yang tidak terkendala waktu karena ketersediaan air laut tidak terbatas. Bahkan akan memberi pengayaan wawasan dan pendalaman paradigma mengenai pentingnya lautan dalam mendukung kehidupan manusia.

Analisa tersebut dapat difahami terlebih karena wilayah Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang memiliki banyak selat dan bentangan pantai terpanjang yang mencapai 4.000 km. Sedangkan Kabupaten Jepara saja memiliki bentang pesisir sepanjang 72 km dan gugusan pulau-pulau kecil di Karimunjawa yang dapat menunjang program tersebut. Langkah ini secara langsung akan menghasilkan banyak akademisi, peneliti, ilmuwan, serta pakar untuk menggali rahasia alam yang ada di lautan, sebagai alih teknologi lintas generasi yang bukan sekadar kampanye nuklir untuk PLTN.

Selama ini, investor-investor Jepang semacam Omega Group Kyowa telah menerapkan teknologinya dalam dua model pengolahan, yaitu osmosis balik atau reverse osmosis (RO) dan evaporator. RO dilaksanakan dengan memberikan tekanan terhadap air laut, sehingga memaksa dari molekul-molekul air murni menembus suatu membran semipermeabel, sedangkan sisanya berupa garam larut, bahan-bahan organik, bakteri akan ditolak. Sedangkan evaporator adalah sistem penguapan untuk menghilangkan garam dari air laut murni. Evaporator dirancangkan untuk mengumpulkan uap yang sehingga terkumpul maka menjadi air tawar.

Pengalaman pembangunan di beberapa negara menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada skala nasional, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dari sebagian besar masyarakat miskin, bahkan beberapa kasus justru meningkatkan kemiskinan absolut dan konsentrasi kriminalitas. Dengan demikian, pergumulan dari perebutan wacana tersebut adalah amanat eksplisit bahwa lingkungan menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia, yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 28 Bab XA UUD 1945 tentang HAM bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tentunya lingkungan hidup yang baik dengan masyarakat yang sehat dapat terwujud manakala muncul integrasi antara ketersediaan air minum yang baik dan pola pembangunan di pesisir yang tidak mencemari atau meakutkan secara psikologis.

Dari uraian itu, merupakan tantangan bagi Pemerintah Daerah di sepanjang Pantura untuk tampil menjadi garda pengolahan air laut menjadi air minum daripada selalu mengandalkan sumber-sumber mata air baru. Gerakan "water fund" sekaligus dapat dijadikan pertimbangan pemerintah dalam pemecahan mengenai masalah intrusi air laut. Maka menjadi penting untuk mengenalkan kembali teknologi kelautan agar krisis air bersih yang selalu mengancam masyarakat dapat terselesaikan dengan cadangan air laut yang tidak akan surut. Hanif Mifrohah (Guru SMP N 1 Nalumsari Jepara, Jateng)



Post Date : 09 April 2010