Melulur Bengawan Lumpur

Sumber:Majalah Tempo - 14 Juli 2008
Kategori:Banjir di Jakarta

Sebanyak 6,7 juta meter kubik lumpur dikeruk dari sungai dan danau Jakarta untuk menghalau banjir. Sampah jadi kendala. 

Tiga puluhan pemulung meng­awasi dengan cermat gerakan alat keruk di atas ponton yang mengapung di Kanal Banjir­ Barat, di dekat Pintu Air Mang­garai, Jakarta Selatan. Setiap kali alat itu menumpahkan lumpur dari dasar sungai, mereka langsung adu cepat memburu besi, plastik, dan benda lain yang ikut terangkat.

Sejak dua pekan lalu, para pemulung ini tidak lagi mencari barang bekas di tempat-tempat sampah. Mereka lebih memilih menunggu hasil limpahan alat keruk itu. Pemerintah sedang bersih-bersih kanal yang dibangun di zaman Belanda tersebut. Panjang sungai yang dikeruk 16 kilometer dari Pintu Air Manggarai terus ke hilir hingga jembatan Pantai Indah Kapuk di Jakarta Utara.

Tanggul di sisi kanan dan kiri kali bakal diturap dan dijadikan taman. ”Kami mengembalikan lagi fungsi awal Kanal Banjir Barat,” ujar Pitoyo Subandrio, Kepala Balai Besar Su­ngai Ciliwung-Cisadane Departemen Pekerjaan Umum.

Proyek yang akan selesai tahun depan itu menggunakan anggaran negara Rp 320 miliar. Pekerjaan lain sedang disiapkan untuk mengeduk waduk dan sungai di Ibu Kota. Megaproyek ini mendapat dana pinjaman Rp 1,2 triliun dari Bank Dunia untuk mengeruk lumpur 6,7 juta meter kubik. Pemerintah Jakarta juga sedang ngebut menyelesaikan pembangunan Kanal Banjir Timur.

Semua pekerjaan ini untuk menghalau banjir dari Jakarta yang kian sering datang. ”Saya optimistis pe­ngerukan dan pembangunan kanal timur bisa meminimalisasi banjir yang kerap melanda Jakarta,” kata Gubernur Fauzi Bowo.

Bisa dikatakan, pemerintah selama ini abai terhadap kondisi kali Jakarta. Dari catatan Nedeco, konsultan Belanda yang sejak awal Orde Baru meng­kaji banjir di Jakarta, sepanjang 40 tahun terakhir belum pernah dilakukan pengerukan di 13 sungai di Ibu Kota secara serentak.

Memang pemerintah Jakarta meng­­anggarkan Rp 80 miliar untuk menge­ruk sungai. Tapi jumlah itu tidak cukup untuk membersihkan kali Jakarta secara bersama-sama sehingga tidak efektif. Akibat pembersihan secara parsial ini, ”Pada mulut sungai terdapat sedimen setebal 3 sampai 4 meter,” kata Sawarendro, yang menjadi konsultan di Nedeco.

Air sungai pun sulit keluar ke laut lepas. Apalagi terjadi proses flokulasi atau pertemuan air tawar dan air asin yang menyebabkan bertambah beratnya partikel sedimen.

Sawarendro lalu mencontohkan pe­ngerukan sungai di Belanda sangat efektif untuk menurunkan permukaan air pada saat debit puncak. Pengerukan sedimen setebal sekitar tiga meter di muara sungai, misalnya, dapat menurunkan air sampai satu meter. Langkah ini menjadi penting karena sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan air laut.

Maka, untuk mengatasi banjir, tidak ada pilihan selain mengeruk su­ngai. Gayung bersambut, Bank Dunia siap menggelontorkan pinjaman lewat proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative. Proyek ini akan berlangsung selama tiga tahun. ”Pengerukan ini diharapkan dapat mengembalikan banjir Jakarta ke siklus sebelumnya, yaitu setiap 25 tahun sekali,” ujar Risyana Sukarma, konsultan Bank Dunia. Dia yakin area yang terkena banjir bakal berkurang sampai 70 persen.

Pekerjaan besar ini dibagi dalam tiga kelompok. Pengerukan Cengkareng Drain, Kali Sunter, Cakung Drain, dan muara Kanal Banjir Barat digarap Balai Besar Sungai Ciliwung-Cisa­dane. Drainase seputar Istana Presiden, kawasan Sarinah-Thamrin, Kali Krukut, Kali Besar, Sentiong-Sunter, Jelakeng,­ Pakin, dan Kali Besar dikerjakan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Depar­temen Pekerjaan Umum. Adapun pengedukan waduk Pluit, Rio-rio (Pulo Mas), Sunter Utara, dan Sunter Selatan dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Jakarta.

Pemerintah telah melakukan analisis mengenai dampak lingkungan proyek ini. ”Tidak ada limbah B3, bahan berbahaya dan beracun, sehingga lumpur bisa dibuang dengan aman,” kata Winarno, pejabat di Balai Besar Sungai Ciliwung-Cisadane. Ada lima lokasi di Jakarta Utara yang bakal dijadikan tempat penampungan 6,7 juta meter kubik lumpur itu.

Pertama, kawasan cekungan di Ancol Timur. Kedua, untuk reklamasi muara Kali Adem. Ketiga, menguruk cekung­an di taman BMW (bersih, manusiawi, dan berwibawa) Kelurahan Papanggo. Keempat, menguruk kawasan Marunda yang menjadi muara Kanal Banjir Timur. Kelima, untuk menguruk kolong jalan tol di Kelurahan Pejagalan.

Tapi bukan berarti warga Jakarta akan dapat garansi bebas banjir se­usai proyek ini. Ancaman terbesar akan datang dari berjibunnya sampah rumah tangga yang sekitar 6.000 ton per hari. Dari jumlah itu, 15 persen tidak terangkut ke tempat pembuangan akhir, alias dibuang ke sungai. Belum lagi sampah warga Depok dan Bogor yang dibuang ke sungai.

Rendi Juliana, pengendali mesin angkut sampah di Pintu Air Manggarai, punya catatan soal ini. Pada musim kemarau, lima truk tronton mengangkut sampah yang tersangkut di pintu air tersebut setiap hari. Ketika musim hujan, volume sampah bertambah tiga kali lipat. Menurut Rendi, sampah tersebut berasal dari kawasan Bogor dan Depok, yang menjadi daerah hulu Sungai Ciliwung.

Kondisi serupa juga terjadi di Suaka Margasatwa Muara Angke yang terletak di muara Kanal Banjir Barat. Ratusan meter kubik sampah datang setiap hari. ”Dinas Kebersihan hanya sanggup mengambil 42 meter kubik,” kata Ahmad Suwandi, aktivis Jakarta Green Monster, yang mengelola cagar alam tersebut. Menurut Suwandi, setiap sudut hutan bakau di lokasi ini dijejali sampah.

Bahaya sampah ini juga bisa dilihat di Kali Cakung, yang tahun lalu dike­ruk sepanjang 2 kilometer. Tiga bulan kemudian ketika anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta meninjaunya, ”Sudah dipenuhi sampah dan eceng gondok,” kata Muhayar, salah seorang anggota Dewan, yang menemui kasus sejenis di Kali Cipinang dan Kali Sunter.

Menyadarkan warga Jakarta agar tidak membuang sampah sembarangan seharusnya menjadi bagian dari proyek mega-lumpur ini. Untung Widyanto



Post Date : 14 Juli 2008