|
MUNTABER atau diare yang menyerang Tanah Aron (julukan Karangasem) sejak 19 Maret lalu, sejatinya sudah terdeteksi tim Kesehatan Karangasem yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Bali. Namun tim tersebut seperti bekerja tanpa hasil. Karena wabah muntaber jalan terus. Data terakhir, korban muntaber sudah mencapai 630 orang. Enam diantaranya meninggal. Menurut Dokter Wayan Suardana, korlap penanganan KLB (kejadian luar biasa) Diare dari Diskes Karangasem, alotnya penanganan wabah tersebut karena masyarakatnya sendiri susah diajak hidup sehat. "Masih banyak warga minum air mentah. Padahal air itu diambil di tempat yang tidak bebas bakteri," jelasnya. Bahkan, jelas Suardana, tim kesehatan sempat kucing-kucingan dengan warga. "Saat kita tanya, mereka mengaku minum air yang sudah dimasak. Namun nyatanya mereka minum air mentah," ujarnya. Apa yang dikatakan Suardana ternyata tidak salah. Koran ini kemarin sengaja datang ke Dusun Sebun, Sebudi dan Yeh Kori. Tiga dusun itu adalah pusat wabah karena hampir sebagian besar warganya kena muntaber. Koran ini pun masih menemukan warga minum air mentah yang diambil dari cubang (penampuangan air hujan). Ketika ditanyakan, mereka bilang hal itu sudah kebiasaan mereka dari dulu. Dan mereka yakin wabah muntaber itu bukan karena minum air mentah. "Minum air mentah lebih enak rasanya daripada direbus," jelas seorang warga. Kebiasan buruk masyarakat itu kini coba dirubah oleh tim kesehatan pengendali muntaber. Bahkan Dinas Kesehatan Provinsi Bali telah menerjunkan tim penyuluh untuk memberikan pengertian kepada warga. Koran ini juga menyaksikan sebuah pemandangan unik. Sebuah rumah tangga di Dusun Sebudi menempatkan cubangnya di sebelah kandang babi dan sapi. Cubang itu berada di bawah cucuran atap sehingga air hujan bisa masuk cubang. Dan air itulah yang mereka minum sekeluarga tanpa dimasak terlebih dahulu. Warga disini rata-rata tidak memiliki WC atau kakus. Mereka buang air besar di tegalan maupun di sebelah rumah yang agak bersemak. Kotorannya kelihatan berserakan. Bila hujan datang, air bercampur kotoran itu mengalir kemana-mana. Sekadar diketahui, dusun yang paling parah diserang muntaber adalah Bukit Galah, Sebun dan Sebudi. Ketiganya berada di lerang selatan Gunung Agung. Jaraknya sekitar 10 kilometer dari kota Kecamatan Selat. Jarak tempuh menuju dusun tersebut menjadi cukup lama karena sebagian besar jalan disana belum beraspal. Hal ini juga membuat warga disana sedikit terisolir. Kendati Karangasem bersuhu panas, namun ketiga dusun itu bersuhu dingin karena berada di ketinggian 700 sampai 800 meter dari permukaan laut. Dengan suhu yang selalu dingin seperti itu, menjadi tempat berkembang biaknya bakteri e-coli. Daerah pusat wabah itu sebenarnya diapit dua sungai besar. Namun suangai bekas aliran lahar itu berada jauh di bawah. Kondisi sungai di daerah curam itu menyulitkan warga menaikkan air. Warga pun akhirnya bertahan hidup hanya mengandalkan air hujan. Air adalah barang paling berharga di tiga dusun itu. Saking sulitnya mendapatkan air, warga biasanya enggan menguras cubangnya untuk dibersihkan. Cubang-cubang itu dibiarkan penuh lumut dan kotoran. Dan pemiliknya tetap saja mengkonsumsinya tanpa memperhatikan apakah air itu mengandung bakteri atau tidak. Bahkan ketika muntaber menyerang dusun-dusun itu, warga disana masih kokoh mempertahankan cubang mereka. Maklum, hanya air itulah yang mereka punya. "Yan niki kuras tiang, men tiang nyakan ngangga napi (Kalau ini saya kuras, lantas kami masak pakai apa?)," ujar Wayan Karsi, warga Dusun Sebun ketika ditemui di rumahnya kemarin. Wanita ini juga belum percaya kalau wabah muntaber itu karena mereka mengkonsumsi makanan dan air yang tidak sehat. Mereka tetap saja menganggap hal itu sebagai gering (wabah akibat kekuatan niskala). Keyakinan mereka tak sepenuhnya salah. Pasalnya mereka baru kali ini terkena wabah muntaber. Padahal mereka hidup dengan pola seperti itu sudah bertahun-tahun. Ada apa sebenarnya di Karangasem? WAYAN PUTRA, Amlapura Post Date : 04 April 2008 |