|
Undang-undang pengelolaan sampah yang baru disahkan pada April 2008, menjadi babak baru dalam pengelolaan sampah. Jika selama ini yang dilakukan baru sebatas kampanye dan edukasi, diharapkan terbitnya UU No. 18/2008 menjadi tonggak penegakkan hukum permasalahan sampah di Indonesia. Tanggal 9 April 2008, menjadi hari bersejarah dalam sejarah pengelolaan sampah, pemerintah mengesahkan Undang-undang nomor 18 tahun 2008, tentang pengelolaan sampah. Undang-undang ini, menjadi pintu untuk memasuki paradigma baru pengelolaan sampah di tanah air. Kumpul-angkut-buang yang sudah menjadi kebiasaan penanganan sampah lebih dari setengah abad di tanah air, harus berakhir, diganti dengan pendekatan 3 R (reduce-reuse dan recycle). TPA tidak lagi singkatan dari Tempat Pembuangan Akhir tetapi menjadi Tempat Pemrosesan Akhir. Dan dalam 5 tahun sejak diundangkan, open dumping tidak boleh terjadi lagi. Jika semuanya berjalan sesuai amanat undang-undang ini, maka kita tidak akan melihat lagi sampah yang tertumpuk di TPA. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, sejak puluhan tahun silam, sampah sudah diundangkan. Jepang misalnya, sejak 20 tahun silam sudah membuat undang-undang sampah. Bahkan 16 kementrian dilibatkan saat menyusun dan mengimplementasikan undangundang tersebut. Tri Bangun L.Sony, Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Limbah Domestik dan Usaha Skala Kecil (USK), mengungkapkan, ada beberapa alasan mengapa undang-undang pengelolaan sampah diperlukan, diantaranya, selama ini, belum ada kebijakan nasional tentang pengelolaan sampah, kemudian ada yang perlu diubah dalam paradigma pengelolaan sampah. Selain itu, sampah tidak lagi menjadi isu lokal, tetapi sudah menasional bahkan global. Ditambah lagi, selama ini, sampah kerap kali menjadi sumber konflik, baik antara pemerintah dan masyarakat maupun antara pemerintah daerah satu dan lainnya. Kemudian, sampah juga berpotensi menimbulkan bencana. Kasus yang cukup menghebohkan yang terjadi pada 2005 dengan longsornya TPA Lewi Gajah, yang menelan korban lebih dari 100 orang, menjadi salah satu contohnya. Sementara dalam undang-undang 18 tahun 2008, ada beberapa pertimbangan mengapa undang-undang ini hadir. Yaitu dimulai dengan persoalan bahwa pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat, menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Sementara dalam pengelolaannya, selama ini belum sesuai dengan metode dan tehnik pengelolaan sampah yang berwawasan !ingkungan, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Undang-undang ini, menjadi kebutuhan penting dalam menentukan kepastian hukum, kejelasan tanggungjawab dan kewenangan pemerintah, pemerintah daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha, sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif dan efisien. Dalam Undang-undang 18/2008 ini, terdapat beberapa muatan materi Pengelolaan sampah, antara lain lingkup pengelolaan yang meliputi sampah rumah tangga, sejenis sampah rumah tangga dan juga sampah spesifik. Kemudian diatur juga hak setiap orang, mulai dari hak untuk berpartisipasi, hak memperoleh informasi kemudian hak mendapatkan kompensasi dari dampak negatif kegiatan tempat pemrosesan akhir. Untuk produsen, diberikan kewajiban untuk mencantumkan label mengenai pengurangan dan penanganan sampah serta mengelola kemasan dari barang yang diproduksinya .(extended producer responsibility). Sedangkan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan open dumping paling lama 5 (lima) tahun, Kemudian untuk tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu, tempat pemrosesan akhir harus dicantumkan dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Selain itu, dalam Undang-undang juga diberikan penegasan yang melarang memasukan dan / atau mengimpor sampah. Bagi para pelakunya, juga akan dikenakan ketentuan pidana dengan penjara kurungan 3 hingga 12 tahun dan denda Rp 100 juta hingga Rp 5 miliar. Sementara pengelola sampah yang mencemari dan hingga menyebabkan kematian diancam pidana penjara 4 sampai 15 tahun dan denda Rp 100 juta hingga Rp 5 miliar. Kemudian pejabat pegawai negeri Sipil di bidang pengelolaan sampah diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang pengelolaan sampah. UU PS dan Perubahan Iklim Dengan pengelolaan sampah seperti sekarang yang bermuara pada pendekatan akhir (end of pipe), dengan sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah (TPA), berpotensi besar melepas gas metan (CH4) yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dan memberikan kontribusi terhadap pernanasan global. Paradigma baru memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi, misalnya untuk energi, kompos, pupuk ataupun untuk bahan baku industri. Pengelolaan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dari hulu ke hilir, dilakukan dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan, penggunaan kembali dan pendauran ulang. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Jika dilihat dari pengelolaan sampah perkotaan yang selama ini terjadi, dari timbunan sampah baik sampah rumah tangga, sampah sejenis rumah tangga atau sampah specifik, 40,09 persen diangkut petugas kemudian dibuang ke tempat pembuangan sampah atau bahkan ada yang membuangnya secara liar. Kemudian 7,54 persen sampah justru ditimbun, sementara yang diolah baik menjadi kompos atau didaur ulang hanya 1,61 persen, dan 35,49 persen justru dibakar. Sementara 15,27 persen di buang ke tempat lain, baik sungai, jalan dan taman. Aspek Pendekatan Pengelolaan sampah Sementara itu, Ir. Sri Bebassari,MSi, Direktur Eksekutif yayasan Perisai (Pusat Pengembangan Riset Sampah Indonesia) dan juga Ketua Umum InSWA (Indonesia Solid Waste Association) mengungkapkan lahirnya Undang-undang 18 tahun 2008 ini, harus disyukuri dan diharapkan menjadi acuan dalam pengelolaan sampah di tanah air. Sehingga sampah tidak lagi menjadi bom waktu, yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menimbulkan bencana bagi masyarakat. Kasus Leuwi Gajah dan juga TPA lainnya di Indonesia harusnya tidak terjadi, jika sampah sudah diatur dalam regulasi yang tepat dan dikelola dengan semestinya. Kehadiran Undang-undang sampah ini, tentu saja tidak lepas dari kontribusi yang dilakukannya. Karenanya secara pribadi ia bersyukur akhirnya pemerintah dan juga DPR, mengesahkan undang-undang sampah. "Mungkin bagi yang belum tahu, ngapain sih kok sampah sampai harus dibuatkan undang-undang segala, tetapi kalau sudah terjadi seperti di Leuwi Gajah atau penumpukan sampah yang tidak teratur sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan, baru orang-orang saling menyalahkan," tutur perempuan yang 28 tahun bergelut dengan persoalan sampah ini. Sri mengungkapkan bahwa 100 persen manusia di dunia ini, pasti membuang sampah. Namun hanya kurang dari 1 persen yang belajar dan peduli tentang sampah. Karena itu, menurutnya, filosofi pengelolaan sampah bukan waste to product melainkan jasa kebersihan (cleaning service). Menurutnya, pemahaman waste to product harus hati-hati, karena dalam pengelolaan kebersihan, produk-produk yang dihasilkan seperti daur ulang kertas, kompos dan sebagainya adalah produk sampingan. Produk utamanya adalah kebersihan. "Kalau kita anggap produk sampingan sebagai produk utama, maka kita akan terjebak menjadi pabrik dan perhitungan biaya produksi. Akhirnya kompospun tidak bisa bersaing dengan dengan pupuk-pupuk lain," jelasnya. Karena itu, menurutnya, perusahaan yang mengurangi, mengolah sampah, harus mendapatkan insentif, karena mereka telah mengurangi biaya TPA. Sehingga bagi perusahaan ada tiga income, yaitu jasa kebersihan, insentif dan produk sampingan. Hal ini menurutnya, yang belum dipahami betul oleh para decision maker maupun pelaku bisnis persampahan. Sehingga tidak jarang meski banyak MoU yang berkaitan dengan sampah ditandatangani, namun selalu tidak tuntas, karena pandangan bisnisnya selalu pabrik. Selama ini, menurutnya lagi, masalah persampahan belum menjadi prioritas dibandingkan dengan pembangunan di bidang lain. Dengan Undang-undang tersebut, diharapkan persoalan sampah dapat disejajarkan dengan soal lain, karena sampah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Lebih jauh ia mengungkapkan, agar persoalan sampah bisa terselesaikan dengan baik, harus melibatkan beberapa aspek di dalamnya. Diantaranya adalah aspek hukum, kemudian kelembagaan atau institusi, selanjutnya pendanaan, sosial budaya serta aspek teknologi. Sementara saat ini, ungkapnya, banyak orang hanya melihat dari aspek teknologi saja. Akibatnya tidak terselesaikan. Dari sisi hukum, mungkin sudah diterbitkan undang-undang, namun ini harus segera diikuti dengan Peraturan Pemerintah, Juklak dan juknis baik di tingkat nasional, provinsi serta kabupaten atau kota. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah sosialisasi dan penegakan hukum dari produk hukum yang sudah ada. "Meski undang-undang sudah dibuat tetapi sosialisasinya lemah dan juga penegakan hukumnya, maka semuanya tidak akan berjalan sempurna, karena itu sosialisasi harus gencar dilakukan," tandasnya. Sementara dari aspek institusi, dibutuhkan integrasi dan koordinasi antara stakeholders, termasuk pemerintah, private sektor yang formal (swasta) dan juga informal seperti pemulung dan sebagainya. Kemudian di tingkat lokal, perlu ada pemisahan institusi antara regulator, planner dan operator, sehingga tercipta manajemen yang profesional, transparan dan akuntabel. Begiru juga institusi di tingkat masyarakat harus dikuatkan, baik di tingkat RT, RW atau kelurahan. Bahkan ia menganjurkan, jika diperlukan dalam keadaan darurat, dapat dibentuk badan khusus di tingkat nasional melalui SK Presiden, yang bertugas pokok untuk menyusun grand strategy kebijakan dan mempersiapkan implementasi program pengelolaan persampahan nasional ia mencontohkan badan khusus tersebut seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang ditempati oleh orang-orang profesional yang memiliki ilmu dan komitmen serta tidak memikirkan jabatan. Sementara untuk aspek pendanaan, prioritas diwujudkan pada alokasi APBN dan APBD. Selain itu, karena kebersihan adalah investasi yang mendorong pertumbuhan dan produktivitas ekonomi, perlu kesejajaran dalam prioritas pembangunan baik dengan keamanan, listrik, air bersih maupun infrastruktur dasar lainnya. Sedangkan dari aspek sosial budaya, lebih ditekankan pada peran serta masyarakat, dengan menumbuhkan kesadaran bahwa setiap makhluk adalah produsen sampah ini bisa dilakukan melalui pendidikan formal dan informal. Kemudian harus ada desain socio engineering (top down) yang dikombinasikan dengan pemberdayaan masyarakat (bottom up). Kemudian dari aspek teknologi, perlu terus dilakukan pengkajian secara terus menerus dan komprehensif. Kemudian dibutuhkan strategi penerepan teknologi dengan pendekatan 3 R, baik untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Jika semua aspek ini dapat dilakukan dengan menyeluruh dan holistik, maka sampah tidak lagi menjadi bom waktu, lingkungan menjadi bersih dan sehat yang pada gilirannya sampah pun memberi manfaat bagi masyarakat. Dalam UU Pengelolaan sampah ditargetkan, 5 tahun mendatang TPA dengan open dumping harus beralih ke sanitary landfill. Meski tak akan semua kepala daerah mewujudkannya, namun Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Susmono, optimistis jika sebagian besar sudah akan beralih ke sanitary landfill. Saat ini Departemen PU sedang mengembangkan model TPA dengan sistem sanitary landfill di TPA Bangli, Bali. Target tahun 2008 ini seluruh proses pembangunan selesai, dan tahun depan (2009) tinggal membangun infrastrukturjalan masuknya saja. Belum Mengakomodir Limbah Cair Meski ada asa yang membumbung dengan kehadiran payung hukum yang baru tersebut, Undang undang yang baru ini masih memiliki kelemahan. Salah satunya adalah belum terakomodirnya pengaturan limbah cair. Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Susmono, menyayangkan hal tersebut. Menurutnya, UU Pengelolaan Sampah terkesan setengah-setengah. "Perlindungan lingkungan dan kesehatan lingkungan harus berjalan seiring. Jika sampahnya sudah tertangani namun karena kesehatan lingkungan lainnya masih terancam, contohnya sungai yang tercemar limbah, masyarakat akan malas lagi menangani sampah" tandas Susmono Selama ini penanganan air limbah diatur dalam Undang-undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah No. 16/2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Dalam UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), penanganan air limbah hanya dimaksudkan untuk melindungi sumber air baku, bukan kesehatan lingkungan. Sedangkan dalam PP No. 16/2005 tidak diungkap secara spesifik mengenai penanganan air limbah. Selain dalam UU No. 7/2004 tentang SDA dan PP No. 16/2005 tentang SPAM, air limbah domestik juga diatur dalam Keputusan Menteri KLH Nomor 112/2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik yang mengaturtentang kadar maksimum pH, BOD (Biologycal Oxygen Demand), TSS (Total Suspended Solid), serta kadar minyak dan lemak. Departemen Pekerjaan Umum menurut Susmono sedang melakukan Penyusunan Kajian Teknis Pengelolaan Limbah Permukiman. Jika tahun depan (2009, red) kajian tersebut sudah final, selanjutnya akan dilakukan konsultasi publik sebelum kemudian diusulakan kepada Departemen Hukum dan HAM sebagai undang-undang. Susmono mengatakan, pemerintah selama ini melakukan dua cara untuk mendorong pemerintah daerah dan masyarakat dalam program perbaikan sanitasi. Cara pertama adalah dengan edukasi, sosialisasi, advokasi yang sudah dilakukan sejak era 1970-1980an. Dan cara kedua adalah dengan penegakan hukum (law infrorcement), yaitu dengan menerbitkan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah yang akan menjadi payung pemerintah daerah dalam melaksanakan program perbaikan sanitasi. la juga mengharapkan tindak lanjut keluarnya Peraturan Daerah (Perda) untuk operasionalisasi di daerah. Namun sebelum diimplementasikan ke bawah, UU Pengelolaan Sampah harus diikuti dengan peraturan pendukungnya. Post Date : 30 September 2008 |