Bulan Februari 12 tahun yang lalu, para pejabat DKI Jakarta resah karena pelayanan air minum di Jakarta tidak memenuhi standar internasional. Jalur pipanya juga tidak mampu melayani seluruh wilayah Jakarta.
Karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggandeng dua perusahaan pengolah air, yaitu Suez International dari Perancis yang membentuk Palyja yang melayani sisi barat Sungai Ciliwung dan Thames dari Inggris yang membentuk Thames PAM Jaya (TPJ) yang melayani sisi timur.
Kedua mitra PAM Jaya dibebani target melayani seluruh wilayah Jakarta dan memproduksi air yang siap minum. Pada 1998, rasio cakupan pelayanan PAM Jaya di barat Sungai Ciliwung hanya 33,8 persen dari jumlah penduduk di wilayah itu. Jumlah sambungan hanya 200.023 unit dan tingkat kehilangan air 59,6 persen.
Selama 12 tahun, Palyja mengeluarkan dana lebih dari Rp 1,355 triliun untuk mengganti dan memasang pipa baru sepanjang 1.700 kilometer dari 5.000 km pipa yang ada. Selain itu, Palyja menekan kebocoran semaksimal mungkin, menambah pompa untuk memperkuat tekanan, memperbesar pasokan kepada pelanggan besar, dan menyediakan air bersih ke wilayah yang tidak terlayani dengan menyediakan hidran umum.
Hasilnya, pada akhir 2009 jumlah pelanggan naik menjadi 412.456 unit (106 persen) dan rasio cakupan pelayanan naik menjadi 63,9 persen dari 4,5 juta penduduk. Tingkat kehilangan air turun 15,7 persen menjadi 43,9 persen dalam 12 tahun.
Wilayah timur
Di sisi timur Sungai Ciliwung, pada tahun 1998 rasio cakupan pelayanan PAM Jaya hanya 52 persen. Jumlah sambungan hanya 278.083 unit dan tingkat kehilangan air 58,74 persen. Seperti di wilayah barat, air PAM Jaya di wilayah timur juga tidak dapat diminum langsung dari keran pelanggan dan tidak dapat diandalkan selama 24 jam.
Selama 12 tahun, TPJ lalu berganti nama PT Aetra Air Jakarta yang memasang pipa baru sepanjang 1.288 km menjadi 5.688 km dengan total investasi Rp 1,118 triliun. PT Aetra Air Jakarta yang masuk pada 2008 itu menggenjot penurunan kebocoran menjadi 48,6 persen dalam dua tahun dengan operasi antisambungan ilegal dan pembentukan distrik meter area untuk memantau air masuk dan keluar. Sebanyak 418.516 unit meteran air pelanggan kecil dan 7.885 unit meteran air pelanggan besar diganti agar pencatatan lebih akurat.
Hasilnya, jumlah pelanggan naik menjadi 382.693 sambungan dan rasio cakupan pelayanan mencapai 59,67 persen. Di kedua wilayah itu, jumlah pelanggan yang sering mengeluh turun dari 11 persen menjadi 2 persen pada kurun waktu 12 tahun.
Kelemahan
Namun, di sisi lain juga harus diakui bahwa tingkat kebocoran dari dua mitra swasta itu tetap tinggi karena pipa tua maupun sambungan ilegal dan tercemar. Dampaknya, air yang diterima pelanggan tidak dapat langsung diminum, terkadang keruh, dan berwarna kekuningan.
Masalah lain, belum seluruh wilayah Jakarta terlayani jaringan pipa untuk air bersih. Selain itu, masih banyak wilayah yang sudah memiliki jaringan pipa tetapi pasokan airnya tidak sampai 24 jam sehari dan tidak tujuh hari seminggu.
Di wilayah Palyja (selatan, barat, dan utara) maupun Aetra, (selatan dan utara) masih ada yang belum terlayani. Sebagian warga Jakarta Selatan, pelanggan Palyja maupun Aetra menolak berlangganan air karena air sumur dangkalnya masih layak dikonsumsi. Sementara yang di utara ada yang belum terlayani dengan baik karena kekurangan pasokan air baku.
Anggota Badan Regulator Pelayanan Air Minum, Firdaus Ali, mengatakan, kedua mitra itu seharusnya memfokuskan diri pada penurunan tingkat kehilangan air. Jika jumlah air yang hilang turun, mereka akan memiliki cukup air untuk melayani wilayah utara dan barat Jakarta.
Penurunan kehilangan air juga dapat meningkatkan tekanan air dan memperluas pelayanan bagi warga. Dengan lebih banyak air yang terjual, pemasukan bagi PAM Jaya dan kedua mitranya akan lebih besar sehingga beban tarif bagi warga dapat diturunkan.
Selama 12 tahun, pelayanan air minum sudah menunjukkan upaya perbaikan, tetapi belum sampai pada produk air yang langsung dikonsumsi.(Caesar Alexey)
Post Date : 15 Februari 2010
|