RUMAH di Jl Apel Nomor 49, 51 dan 52 Perumahan Magersari Indah, Kelurahan Wates, Kota Mojokerto terlihat asri. Penghijaun, mulai dari pepohonan sampai bunga-bunga tumbuh subur. Tepat di depan rumah, tumbuh pohon mangga yang sangat besar. Meskipun kala itu terik matahari memburu kulit, namun tetap teduh.
Pemandangan di rumah itu memang disengaja Satrio Wiweko, Direktur LSM Sahabat Lingkungan ini. Sebagai aktivis lingkungan, dia berusaha melakukan gebrakan. Sejalan nama LSM-nya, dia bekerja keras untuk menjadi sahabat lingkungan.
Penghijauan atau pengolahan sampah menjadi kompos sudah dilakukan di rumahnya. Namun, di balik yang tampak itu, ternyata masih ada lagi upayanya untuk ramah lingkungan. Pada tahun 2004, pria kelahiran Surabaya, 30 Agustus 1964 ini mengawali semua. Dengan bantuan tukang batu, dia membuat ipal rumah tangga. ''Saya membuat septic tank dan lima bilik,'' kata Koko, panggilan akrab Satrio Wiweko sambil menunjukkan letak bilik-bilik itu.
Septic tank ada dua bilik. Seluruh kotoran dari WC masuk ke bilik tersebut. Sedangkan, lima bilik lainnya berada tak jauh dari septic tank, yaitu antara pagar dan teras rumah. Sayang, bilik-bilik itu sudah ditutup. ''Namun ini bisa dibuka,'' katanya.
Tak hanya kotongan dari WC, namun seluruh limbah rumah tangga masuk ke ipal. Mulai dari bekas cuci baju, perabot rumah tangga, dan air bekas mandi. Bahkan, air hujan pun dimasukkan ke ipal itu. Hanya, selain kotoran dari WC, langsung masuk bilik ketiga alias tidak melalui septic tank. ''Yang masuk ke septic tank, hanya kotoran dari WC,'' ungkap lulusan S-2 Teknik Lingkungan ITS itu.
Dia yang saat itu berada di depan laptop, berusaha menjelaskan cara kerja ipal. Dia menyebut septic tank, bilik satu dan dua. Lima bilik lainnya, bilik tiga sampai tujuh. Kotoran dari WC masuk ke bilik satu dan dua. Setelah berproses, mengalir ke bilik tiga, empat, lima dan seterusnya. Terakhir di bilik tujuh. Kalau limbah lain, misalnya dari bekas cucian, langsung masuk ke bilik tiga, empat sampai tujuh. ''Dari bilik tujuh, air sudah bersih. Sebenarnya, bisa dibuang. Tapi, air itu saya resapkan lagi ke tanah,'' katanya.
Koko berusaha menunjukkan perbedaan air dari beberapa bilik. Air yang berada dalam botol plastic itu terlihat berbeda. Ada yang kuning, ada sangat jernih. ''Yang jernih ini dari bilik terakhir,'' ungkapnya.
Sebenarnya, kalau ingin sempurna, bisa membuat kolam ikan. Keberadaan kolam bisa menjadi indikator. Kalau airnya tidak bersih, selain ikan akan mati, bisa juga tumbuh eceng gondok. Juga masuk ke tanaman penyerap bahan pencemar. ''Tanaman lahan basah. Diantaranya, kana, pisang-pisangan, talas dan rumput-rumputan. Tanaman itu bisa menyerap bahan pencemar,'' katanya.
Suami Siti Annuriyati Khadijah dan bapak dua anak ini sudah mempunyai rencana membuat kolam ikan. ''Karena langsung saya resapkan, selokan selalu kering. Tidak pernah membuang limbah ke selokan,'' katanya.
Memang, tanpa disadari, limbah rumah tangga yang langsung dibuang ke selokan sangat berdampak. Dari selokan akan ke sungai. Dari limbah itu bisa memunculkan eceng gondok. Eceng gondok akan menyebabkan pendangkalan. Dan, bisa mengakibatkan banjir.
Memang, untuk membangun ipal, biayanya terbilang besar. Dengan ipal yang sudah dibuat itu, Koko harus mengeluarkan uang sebesar Rp 15 juta. ''Ya, bisa saja dikurangi,'' katanya.
Tak hanya limbah cair, Koko juga mengelola limbah padat. Dia menyiapkan sejumlah drum di rumahnya. Drum-drum itu untuk proses komposting dari sisa sayur dan buah-buahan. ''Kalau yang kering dikumpulkan. Lalu dijual. Ini kan bisa mengurangi sampah yang dibuang ke TPA Randegan,'' ujarnya. ABI MUKHLISIN, Mojokerto
Post Date : 14 Januari 2010
|