Hampir dipastikan, perundingan dalam Konferensi Para Pihak Ke-15 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember 2009, tidak lebih dari negosiasi perdagangan emisi.
Mekanisme apa pun yang ditawarkan, tampaknya akan mengarah ke sana. Berbagai skema (termasuk reducing emission from deforestation and forest degradation/REDD) akan diperjuangkan menjadi skema baru kesepakatan iklim global tahun 2012, setelah komitmen pertama di bawah Protokol Kyoto berakhir.
Protokol Kyoto mengizinkan ”mekanisme fleksibel”, seperti perdagangan karbon, clean development mechanism (CDM), dan implementasi bersama (joint implementation), yang dasarnya; ”mau menang sendiri”.
Intinya, negara-negara maju yang tergabung dalam Annex I melakukan investasi berbagai proyek melalui swasta yang menghasilkan pengurangan emisi tersertifikasi (certified emission reduction/CER) dari industri negara-negara non-Annex I—atas nama bantuan agar pembangunan di negara berkembang ”lebih efisien”.
Sertifikat emisi itu dibeli pihak swasta negara maju untuk menghindari kewajiban mengurangi emisi dari sektor produksi di negaranya. Di bawah Protokol Kyoto, negara-negara Annex I sepakat mengurangi emisi kolektif gas rumah kaca sampai 5,2 persen dari level tahun 1990.
Melenceng
Negosiasi-negosiasi dalam UNFCCC sebenarnya sudah melenceng dari prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Deklarasi Rio. Komitmen UNFCCC merupakan salah satu hasil Konferensi PBB Mengenai Lingkungan dan Pembangunan (Earth Summit) yang bertujuan, antara lain, mencapai stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan terkait dengan perubahan iklim.
Perundingan UNFCCC dimulai Desember 1990. Komite Perundingan Antarpemerintah (INC) bersidang 15 bulan sebelum UNFCCC diadopsi 9 Mei 1992 dan dibuka untuk ditandatangani sebulan seusai Earth Summit di Rio de Janeiro, Brasil, 3-14 Juni 1992. Protokol itu mulai berlaku 21 Maret 1994 setelah 50 negara meratifikasinya.
Prinsip-prinsip implementasi konvensi-konvensi terkait Pembangunan Berkelanjutan tercantum dalam Deklarasi Rio mengenai Lingkungan dan Pembangunan dengan panduan terinci yang dimuat dalam Agenda 21. Dengan mengadopsi Agenda 21, semua pihak seharusnya menyadari bahwa segala hal terkait keselamatan Bumi tak bisa dijadikan barang dagangan.
Namun, prinsip ”pencemar membayar” tak sulit diselewengkan untuk ”diinterpretasikan” sebagai perdagangan karbon. Prinsip-prinsip common but differentiated responsibility pun praktis terabaikan. Bahkan konsep adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pun ”disesuaikan” untuk mengesahkan mekanisme perdagangan karbon.
Semua mekanisme yang sudah dan sedang dinegosiasikan selama COP UNFCCC telah melupakan prinsip-prinsip keadilan bagi mereka yang terpinggirkan. Situasi itu memunculkan gerakan global menolak wacana arus utama dalam penanganan perubahan iklim.
Gerakan keadilan iklim ini terfokus pada sedikitnya empat hal: mencakup keamanan manusia, utang ekologis, perubahan pola konsumsi dan produksi, serta hak atas lahan. Gerakan keadilan iklim juga menolak campur tangan lembaga pendanaan internasional karena justru tujuannya tak akan tercapai.
Keempat hal itu terkait khususnya dengan perlindungan hak asasi manusia, seperti tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, khususnya hak-hak suku asli dan kelompok-kelompok yang hidup di pinggir hutan, serta model-model sosial-ekonomi yang menjamin hak-hak dasar warga untuk mendapatkan udara bersih, tanah, air, pangan, dan ekosistem yang sehat. (MARIA HARTININGSIH)
Post Date : 09 Desember 2009
|