Tidak banyak orang seperti Djuniawan Wanitarti (44), melawan arus kebiasaan warga. Di kala orang menolak sampah di lingkungannya, dia malah mendirikan bank sampah. Bank tersebut tidak hanya menerima nasabah dengan tabungan beragam sampah, tetapi juga menyediakan pelatihan pengolahan sampah.
Lebih dari itu, kemunculan bank sampah ini memberikan dampak sosial yang luar biasa. Karena sampah, warga menjadi lebih hangat dan harmonis.
Motivasi Djuni—demikian panggilan akrabnya—mendirikan bank sampah adalah dorongan untuk mandiri. Ibu dua anak ini jengah melihat sampah yang dikelola begitu-begitu saja: dibuang di tempat sampah, menyebarkan bau busuk, lalu ditimbun di tempat pembuangan. Sebatas itukah kemampuan warga menghadapi sampah?
Djuni tidak percaya sampah hanya bisa dibuang. Pengolahan sampah sudah berjalan baik di sejumlah daerah di Indonesia, mengapa di Depok, Jawa Barat, tempatnya bermukim, tidak demikian. Dia ingin mengajak warga—setidaknya para tetangga satu RT di Perumahan Griya Lembah Depok, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok—mengolah sampahnya sendiri.
Tanggal 16 Maret 2008 Djuni mendapatkan momentum. Dia memanfaatkan posisinya sebagai istri Maryono (47), Ketua RT 3 RW 24 Kelurahan Abadi Jaya, Kecamatan Sukmajaya. Pada pertemuan dengan warga, Djuni menyampaikan gagasan mengolah sampah secara mandiri.
Ajakan ini semula ditanggapi dingin. Sebagian tetangga Djuni tidak setuju karena mereka menganggap sampah hanya membuat kotor sehingga harus cepat dibuang dari rumah. Djuni terus meyakinkan tetangganya. ”Saya tahu, tidak semua warga mempunyai pemahaman yang sama soal sampah,” tuturnya.
Agar tidak membebani, dia menawarkan warga menggunakan dana kas RT untuk membeli keranjang takakura. Keranjang takakura adalah keranjang untuk mengolah sampah rumah tangga menjadi kompos. Dengan keranjang itu, warga mulai membiasakan mengolah sampahnya sendiri.
Djuni menyempatkan keliling dan menanyakan seberapa banyak sampah yang sudah diolah warga. Bagi mereka yang memiliki tabungan sampah paling banyak, Djuni menyediakan hadiah pada akhir bulan. Dari kebiasaan ini muncul gagasan mendirikan bank sampah.
Pada 12 Maret 2010 Djuni dan sejumlah tetangganya mendeklarasikan pendirian Bank Sampah Poklili. Nama Poklili merupakan kependekan dari Kelompok Peduli Lingkungan. Pada deklarasi pendirian bank sampah itu, baru tercatat sepuluh nasabah, semua dari kalangan ibu.
Melalui bank tersebut, pengolahan sampah tidak hanya pada sampah organik, tetapi juga berkembang pada sampah nonorganik berupa plastik, kaleng, kain, botol, dan sejenisnya. Dengan kursus singkat, warga memperoleh keterampilan mengolah sampah menjadi barang kerajinan bernilai ekonomi.
Kegiatan yang semula berlangsung di tingkat RT berkembang ke seluruh perumahan. Kini jumlah nasabah aktif Bank Sampah Poklili sebanyak 80 orang. Para nasabah bank berkembang ke seluruh Perumahan Griya Lembah Depok, bahkan sebagian berasal dari kelurahan lain.
Menghasilkan
Aktivitas Bank Sampah Poklili menjadi sumber pendapatan sampingan bagi warga. Pendapatan itu berasal dari penjualan kerajinan berbahan sampah dengan keuntungan rata-rata Rp 300.000 per bulan. Pendapatan berikutnya berasal dari penjualan sampah kepada pengepul senilai Rp 500.000 per minggu. Uang ini dapat diambil nasabah sewaktu-waktu jika dibutuhkan.
Kegiatan pengolahan sampah semakin lama membuat hubungan sosial warga semakin erat dan kreatif. ”Kami sekali waktu menggunakan dana tabungan sampah untuk rekreasi bersama keluarga masing-masing. Kami semua menjadi sayang dengan sampah,” kata Djuni.
Saking sayangnya, para nasabah Bank Sampah Poklili menolak sampah mereka diangkut truk Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok. Para nasabah nyaris tidak membuang sampah dengan percuma. Semua sampah habis menjadi pupuk organik, barang kreatif bernilai ekonomi, atau jatuh ke tangan pengepul setelah disimpan di bank sampah.
Sementara ini aktivitas bank hanya buka pada hari Jumat. Mulai pukul 13.00 sampai menjelang petang, rumah Djuni yang menjadi ”kantor” Bank Sampah Poklili di Perumahan Griya Lembah Depok ramai didatangi warga. Mereka membawa tabungan sampah masing-masing. Pengurus bank menimbang dan menaksir harganya, lalu dicatat di buku nasabah.
Sebagian warga mengasah keterampilan mengolah sampah di lantai dua Bank Sampah Poklili. Pada hari itu juga sejumlah pengepul sampah mendatangi bank untuk mengangkut pesanan. Sungguh menyenangkan berada di tengah-tengah mereka, melihat semangat warga mengolah sampah tanpa menunggu uluran lembaga formal.
Pengembangan
Djuni ingin mengembangkan bank tersebut menjadi lembaga profesional. Pada setiap kesempatan pertemuan organisasi yang diikutinya, dia mempresentasikan kegiatan Bank Sampah Poklili. Begitu pula ketika ada pameran produk kreatif, Djuni berusaha memasarkan hasil kerajinan warga.
Untuk menambah wawasan, para pengurus Bank Sampah Poklili secara berkala mengikuti pelatihan pengolahan sampah di Politeknik Negeri Jakarta.
Djuni dan pengurus bank sampah saat ini dalam proses mengenalkan nasabah dengan koperasi. Dari kegiatan pengolahan sampah itu, pengurus berencana membentuk koperasi karena sebenarnya kegiatan mereka sudah seperti koperasi. Jadi, uang hasil kegiatan bank sampah dapat diputar untuk kepentingan kesejahteraan warga.
Perlahan tetapi pasti, kampanye pengolahan sampah Bank Sampak Poklili mendapat respons positif masyarakat. Sejumlah kelompok masyarakat, siswa sekolah, dan kalangan pribadi mengunjungi tempat itu untuk melihat pengolahan sampah dari dekat. Djuni senang karena lebih banyak orang mengolah sampahnya secara mandiri, menurut dia, lebih baik.
Paling tidak kegiatan seperti ini membantu mengurangi volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung. Sebab, kata Djuni, kondisi TPA satu-satunya di Depok ini sudah hampir kelebihan kapasitas sehingga perlu langkah kreatif warga.
Satu hal yang membuat Djuni bangga dengan kegiatan ini, pengolahan sampah dapat membuat manusia menjadi sosok kreatif. Andy Riza Hidayat
Post Date : 11 April 2011
|