|
NEGARA-NEGARA peserta Konvensi Para Pihak 13 KTT PBB untuk Perubahan Iklim (COP-13 UNFCCC) menyetujui prosedur perolehan dana program mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) untuk negara-negara berkembang. Mekanisme CDM itu lebih sederhana sehingga bisa diterima negara-negara berkembang. Dengan adanya keputusan itu, negara-negara maju yang masuk kelompok Annex I wajib memberikan bantuan kepada negara berkembang melalui transfer teknologi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sekretaris UNFCCC Yvo de Boer menjelaskan, dalam keputusan rapat yang berlangsung kemarin, dana adaptasi untuk CDM telah disepakati senilai US$6 juta. Namun, belum dipastikan berapa besar dana yang diperoleh setiap negara dalam program CDM tersebut, yang akan dilakukan pasca-2012. CDM merupakan salah satu mekanisme pada Kyoto Protokol yang mengatur negara maju (Annex I) dalam upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca. Mekanisme CDM ini merupakan satu-satunya mekanisme yang terdapat pada Protokol Kyoto yang mengikutsertakan negara berkembang. Melalui mekanisme CDM, adanya transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang akan dimungkinkan terjadi. Sistem CDM ini jauh lebih fleksibel dan tidak membebani negara-negara berkembang. Pengurangan emisi karbon, menurut Boer, dengan metode CDM, memberikan kesempatan bagi negara maju dalam memenuhi target penurunan emisi secara fleksibel dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Sertifikat emisi Setelah proyek ini terbukti dapat menurunkan emisi gas rumah kaca, negara Annex I tersebut akan mendapatkan sebuah kredit yang dinamakan CER atau certified emissions reduction Kredit yang dihasilkan dari CER itu kemudian akan dihitung sebagai emisi yang berhasil diturunkan negara Annex I melalui CDM, yang kemudian dapat digunakan untuk memenuhi target mereka di dalam Protokol Kyoto. Dengan cara itu, negara-negara berkembang bisa mengembangkan industri ramah lingkungan di dalam negeri. "Sebab, bila harus membeli teknologi baru, tentu tidak mampu." Melalui proyek CDM, negara Annex I mendapat keuntungan, yaitu dapat menurunkan emisi dengan harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan harus mengembangkan proyek tersebut di negara mereka sendiri. Selain itu, negara berkembang sebagai tuan rumah proyek CDM mendapatkan keuntungan berupa bantuan keuangan, transfer teknologi, dan pembangunan yang berkelanjutan. Mekanisme CDM yang lebih sederhana itu juga menjadi salah satu keinginan Indonesia. Ketua Delegasi Indonesia Emil Salim menyatakan keinginan Indonesia agar mendapatkan mekanisme CDM lebih sederhana bisa terpenuhi. "Indonesia yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim akan mendapat manfaat dengan pendanaan mekanisme CDM. Selain penurunan emisi, kegiatan yang bisa dilakukan dalam CDM ialah penyerapan emisi (carbon sink) yang bisa dilakukan di sektor kehutanan," papar Emil. Nol emisi Sementara itu, sistem sertifikasi nol emisi untuk bahan bakar nabati dari kelapa sawit harus menghitung kondisi tanah tempat kelapa sawit tersebut ditanam. Jika bahan baku minyak kelapa sawit tersebut ditanam di atas lahan gambut (peatlands), bahan bakar yang dihasilkan dari situ tidak dapat dikategorikan nol emisi. Pasalnya, membuka lahan gambut sudah langsung bisa dikategorikan sebagai aktivitas penambah beban emisi karbon dan tidak ramah iklim. Organisasi Wetlands International mencatat, sekitar 180 juta ton karbondioksida yang dihasilkan dari konversi lahan gambut untuk produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia. Hal itu diungkapkan Senior Program Manajer Wetlands International Marcel Silvius di Nusa Dua, kemarin. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sudah meluncurkan kriteria untuk skema sertifikasi pada November lalu. Akan tetapi, pemberian sertifikasi itu tidak memperhitungkan kondisi alami lahan kelapa sawit itu ditanam. "Sebelum mengklaim bahwa minyak kelapa sawit 100% ramah iklim, skema sertifikasi bahan bakar nabati harus melihat kondisi asal tanah tempat kelapa sawit tersebut ditanam," ujarnya. Sekitar 8% dari total perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan 20% sampai 25% perkebunan kelapa sawit di Indonesia dilakukan di atas lahan gambut. Di Indonesia, sekitar 14% lahan gambut sudah atau akan digunakan untuk produksi kelapa sawit. Sekitar 1,5 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Indonesia dilakukan di atas lahan gambut. Emisi rata-rata yang dikeluarkan sekitar 100 ton karbondioksida per tahun per hektare, yang berarti 150 juta ton emisi per tahun. "Ini sekitar seperempat dari semua emisi karbondioksida di Asia Tenggara yang berhubungan dengan konversi lahan gambut," kata Silvanus. (Nda/Isy/Ccr/H-1) Post Date : 06 Desember 2007 |