|
Millenium Development Goals atau MDGs adalah proyek kemanusiaan yang dicanangkan PBB selama 15 tahun (2000-2015). MDGs disepakati semua anggota PBB, termasuk Indonesia. Salah satu tujuan utamanya adalah mengurangi jumlah penduduk miskin menjadi separuh pada 2015. Niat yang sama telah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanye pilpres saat menargetkan peningkatan pendapatan masyarakat dari 968 dollar AS menjadi 1.731 dollar AS dan penurunan jumlah orang miskin pada akhir jabatannya, dari 16 persen menjadi 8,2 persen pada 2009. Sayang, akibat kenaikan harga BBM dan merebaknya bencana, jumlah orang miskin di Indonesia meningkat menjadi 17,75 persen (Maret 2006) atau sekitar 39 juta jiwa. Jumlah penganggur menjadi 40,4 juta jiwa, sekitar 38 per- sen dari jumlah angkatan kerja. Bagi Amartya Sen, seseorang disebut miskin karena tak punya akses untuk memenuhi kebutuhannya. Akses yang menjadi hak tiap orang itu ditentukan "nilai diri". Bagi kebanyakan orang, nilai yang dimiliki sebatas tenaga kerja. Karena itu, kemiskinan dan kelaparan tak bisa diatasi dengan sekadar memperbesar produksi. Ada kesepakatan luas, jika pemberantasan kemiskinan adalah motif utama kebijakan pembangunan, pengadaan dan peningkatan penghasilan orang miskin adalah tujuan terpenting semua kegiatan. Namun, ada dua paradigma berbeda tentang cara pencapaiannya. Pertama, asumsi pertumbuhan ekonomi adalah resep terbaik memberantas kemiskinan karena akan menyerap tenaga kerja. Namun, kenyataan empiris menunjukkan hal berbeda. Penyebabnya, terutama akibat maraknya cara berproduksi padat modal dan hemat tenaga kerja. Berseberangan dengan paradigma itu adalah keyakinan, orang miskin harus dibantu mendapat penghasilan. Usaha kecil diyakini sebagai pendukung utama perekonomian rakyat. Ketika persamaan kesempatan dengan usaha padat modal tersedia, usaha kecil diyakini bakal mampu meningkatkan investasi, inovasi, pengembangan usaha, dan penghasilan. Sayang, belum ditemukan bukti empiris yang meyakinkan bahwa asumsi itu bisa menjadi kenyataan. Lagi pula berhasil tidaknya sebuah usaha banyak ditentukan oleh pasar. Berangkat dari kenyataan pesimistis ini, opsi apa yang harus dipilih? Pelibatan orang miskin Tampaknya, meski tidak ada resep instan dan dipastikan manjur, beberapa hal berikut ini bisa menjadi pegangan dalam kebijakan memberantas kemiskinan. Pertama, manusia, kesejahteraan, dan pengamanan masa depannya harus menjadi fokus utama kebijakan pembangunan. Bukan pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, kemampuan bersaing atau integrasi ke pasar global. Sebagai bahan abstraksi, semua bisa merupakan gambaran tingkat kesejahteraan sebuah bangsa. Namun, secara nyata, data pendapatan per kapita, kegagalan pasar, dan buruknya governance sering mengaburkan banyak detail dan melupakan hambatan (ceteris paribus) yang merugikan orang, negara miskin, dan relasi asimetrik pasar global. Kedua, lewat kebijakan dan regulasi, kesempatan sama harus diberikan dalam persaingan antara usaha kecil dan menengah- besar padat modal maupun antarusaha kecil itu sendiri. Ketiga, pemberantasan kemiskinan lewat pengadaan lapangan kerja harus memerhatikan tingkat pengembangan industri dan integrasi sebuah negara di pasar dunia. Negara yang tingkat pertumbuhan industrinya belum maju, sementara sektor informalnya mendominasi, seperti Indonesia, perlu mempertimbangkan strategi yang pas. Ambisi agar mampu bersaing dalam pasar global sebaiknya dibarengi upaya mendukung usaha kecil sebagai basis industrialisasi. Keempat, pemetaan masalah dan potensi sebuah negara serta akseptansi strategi pembangunan yang spesifik hanya akan bisa diterima luas bila hal itu dilakukan dengan melibatkan semua pihak, terutama orang miskin. Kelima, negara berkembang dengan potensi pasar luas seperti Indonesia sering ditekan lembaga multilateral (terutama WTO, IMF, dan Bank Dunia) serta negara adidaya (khususnya AS) untuk membuka pasarnya dan menghilangkan subsidi. Bila ini dituruti, berdampak anjloknya tingkat upah dan meningkatnya PHK yang berarti meningkatnya jumlah orang miskin. Bahwa cara pandang, nilai, dan struktur dalam perekonomian selalu berubah, telihat dalam kian pentingnya lingkungan sebagai faktor perekonomian. Tuntutan negara-negara berkembang berpenduduk besarseperti China, India, dan Brasilatas cadangan air, oksigen, dan energi yang kian terbatas akan mendorong perubahan drastis dalam pola konsumen di negara-negara maju. Hal ini membuat cara berproduksi padat modal yang bergantung pada sumber energi eksternal dan tak terbarui menjadi kian mahal sehingga tenaga kerja sebagai faktor produksi kembali menjadi penting. Dengan demikian, pelibatan orang miskin akan semakin riil sehingga waktu tersisa untuk mengurangi jumlahnya pada 2015, menjadi lebih realistis. IVAN A HADAR Pengamat Globalisasi Post Date : 27 Maret 2007 |