|
Keterpurukan sejumlah bangsa di berbagai belahan Bumi membuat prihatin badan PBB. Berbagai masalah, seperti kemiskinan, pendidikan rendah, kematian, dan kasus HIV/AIDS, secara keseluruhan mengancam keberlangsungan hidup bangsa-bangsa yang mengalami keterpurukan itu. Maka, pada awal abad 21 badan PBB mengumpulkan kepala pemerintahan untuk menandatangani pembangunan milenium (MDGs) di New York. Tujuan MDGs adalah upaya penyelamatan bangsa (save nations). Namun, kesuksesan capaian MDGs itu dapat menimbulkan efek samping, yakni meningkatnya pertumbuhan penduduk. Ini terjadi karena tujuan-tujuan (goals) yang tercantum dalam MDGs hanya menitikberatkan pada upaya kelangsungan hidup, tanpa diikuti pengendalian penduduk. Pertumbuhan penduduk Dari delapan tujuan MDGs, tiga tujuan terkait dengan kelangsungan hidup, yakni penurunan angka kematian ibu dan anak, memerangi HIV/AIDS, dan memerangi malaria. Lima tujuan lain bertalian secara tak langsung terhadap kelangsungan hidup, yakni penurunan angka kemiskinan, peningkatan pendidikan dasar, pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, pemeliharaan kelestarian lingkungan, serta kerja sama global. Dampak dari faktor langsung dan tak langsung itu adalah menurunnya angka kematian penduduk, yang berarti meningkatnya level kelangsungan hidup penduduk. Namun, jika penurunan angka kematian tidak diimbangi penurunan angka kelahiran, akan terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk. Fenomena demikian mengingatkan kita pada pengalaman pertumbuhan penduduk global pada era 1650-an hingga kini, yang kerap disebut sebagai era modernisasi. Pertumbuhan penduduk berlangsung cepat. Pada tahun 1650-1750, pertumbuhan penduduk global hanya 0,4 persen per tahun, atau perlu waktu 175 tahun untuk menjadikan jumlah penduduk menjadi dua kali lipat (doubling population). Seiring dengan semakin menurunnya angka kematian, fenomena doubling population kian cepat berlangsung. Diperkirakan, pada 1950-1980 dengan pertumbuhan penduduk dunia pada kisaran 2 persen, doubling population memakan waktu hanya sekitar 40 tahun (United Nations, Table 2-1, 1973, Table 1, 1983). Diperkirakan penduduk dunia pada tahun 2024 akan menjadi 9,4 miliar jiwa dan seterusnya akan berlipat menjadi 18,8 miliar jiwa pada 2065. Perkiraan ini didasarkan atas pertumbuhan penduduk yang tetap pada kisaran 2 persen (United Nations, Table 2-1, 1973, Table 1, 1983). Ini sekaligus mengisyaratkan, jika target MDGs terwujud tahun 2015yang berarti pertumbuhan penduduk kian tinggidoubling population akan berlangsung makin cepat. Patut dicatat, sebelum tahun 1650 diperlukan waktu jutaan tahun untuk mencapai setengah miliar penduduk dunia (Collins, 1982). Saat itu pertumbuhan penduduk mengalami pasang surut karena pengaruh iklim, cadangan pangan, dan serangan penyakit. Angka kematian dan kelahiran pada masa itu nyaris sama tingginya. Namun, setelah era 1650, sektor pertanian dan industri mengalami kemajuan pesat, pengaruh iklim dan penyakit kian dapat dikendalikan, sehingga mengakibatkan menurunnya angka kematian. Celakanya, penurunan angka kematian itu tidak segera diimbangi oleh penurunan angka kelahiran sehingga peningkatan pertumbuhan penduduk tak terelakkan. Pengendalian penduduk Mencermati kondisi demikian, sepatutnya upaya pencapaian tujuan-tujuan MDGs dilakukan seiring upaya penurunan angka kelahiran, antara lain melalui intensifikasi program Keluarga Berencana (KB). Untuk kondisi Indonesia, upaya itu amat penting dilakukan mengingat program KB di Tanah Air pada era reformasi tidak seintensif pada era Orde Baru. Kurang terfasilitasinya penduduk melakukan pembatasan kelahiran akan mengakibatkan peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan itu umumnya berasal dari kelahiran yang tidak diinginkan (unwanted child). Diperlukan peran pemerintah dalam program KB di Tanah Air mengingat kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah. Berbeda dengan negara-negara maju yang telah menerapkan KB mandiri. Ini terjadi karena faktor modernisasi berakibat membaiknya kondisi sosial ekonomi masyarakat. Faktor modernisasi itu juga menyebabkan perubahan perilaku masyarakat dalam menilai anak (child value). Sejumlah faktor pendorong perubahan perilaku itu antara lain menurunnya angka kematian bayi dan balita, peran ekonomi anak, dan meningkatnya status perempuan (Yaukey, 1985). Aktualitas perubahan perilaku itu diwujudkan dengan pendewasaan usia kawin, tidak melangsungkan perkawinan, tidak melahirkan anak, dan melakukan pembatasan kelahiran. Perilaku demikian ternyata memberi kontribusi besar pada proses transisi demografi di negara-negara maju, khususnya di Eropa. Transisi demografi merupakan penurunan angka kelahiran mengiringi penurunan angka kematian yang terjadi lebih dulu sehingga mencapai penduduk stabil. Umumnya, pada fase awal transisi angka kematian tinggi dan berfluktuasi bergantung pada iklim, pangan, dan penyakit, sedangkan angka kelahiran stabil tinggi mengakibatkan angka pertumbuhan penduduk berfluktuasi, tetapi rendah. Proses transisi mulai terjadi pada fase kedua, saat angka kematian mulai mengalami penurunan, tetapi angka kelahiran tetap tinggi sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk. Pada fase terakhir angka kelahiran mulai menurun mengikuti angka kematian. Pada fase ini angka kematian mencapai posisi stabil rendah, begitu pula angka kelahiran tetapi angkanya sedikit berfluktuasi sehingga pertumbuhan penduduk sedikit berfluktuasi tetapi sangat rendah. Mencermati pola transisi demografi itu, tampaknya MDGs dapat menjadi momentum mengikuti pola yang hampir sama, minimal hingga fase kedua. Adapun untuk mencapai fase ketiga bergantung pada kesuksesan program KB. Maka, atas dasar itu kita berharap agar pemerintah dalam melaksanakan pembangunan milenium jangan sampai membiarkan program KB berjalan di tempat. Razali Ritonga Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik BPS Post Date : 30 Oktober 2007 |