|
Capaian pembangunan milenium atau MDGs di Tanah Air tampaknya mengalami kemunduran. Laporan A Future Within Reach (2006) menempatkan Indonesia di kelompok terbawah bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina (Kompas, 3/3/2007). Mundurnya Indonesia dalam capaian MDGs melengkapi ukuran lain dengan hasil yang hampir sama, yaitu masih buramnya potret kesejahteraan masyarakat. Angka kemiskinan, misalnya, bertambah dari 15,97 persen (Februari 2005) menjadi 17,75 persen (Maret 2006) (BPS, 2006). Ini menguatkan penilaian berbagai kalangan, pemerintah gagal dalam melaksanakan amanat yang diberikan rakyat. Transisi pemerintahan Kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat boleh jadi karena adanya perubahan sistem pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Perubahan pemerintahan tidak segera membawa perbaikan. Ada masa transisi untuk melakukan perbaikan dan perubahan di berbagai sektor dan lini pemerintahan. Pengalaman sama pernah dialami negara-negara yang sebelumnya tergabung negara komunis Rusia, seperti Georgia dan Azerbaijan. Setelah pisah dari Rusia, negara-negara itu tidak langsung mengalami peningkatan kesejahteraan, bahkan kemunduran. Ini ditandai memburuknya angka pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya angka inflasi. Di Georgia, angka pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sampai minus 28 persen (1990) dan di Azerbaijan minus 16 persen. Angka inflasi di kedua negara itu meroket. Di Georgia, angka inflasi sempat tercatat 7.380 persen (1994) dan di Azerbaijan 1 875 persen (NHDR for Eastern Europe, 1996). Pengalaman buruk Georgia dan Azerbaijan mengingatkan kita pada awal Orde Reformasi (1997), bersamaan krisis ekonomi. Tercatat, angka pertumbuhan ekonomi minus 13,68 persen (1998) dan inflasi 77,63 persen (BPS, 1999). Meski demikian, ada perbedaan dari lama waktu pemulihan. Georgia dan Azerbaijan memerlukan waktu sekitar satu windu untuk pulih, ditandai membaiknya ekonomi makro dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Bahkan dua tahun kemudian, kedua negara itu mengalami kemajuan besar melebihi capaian sebelum pisah dengan Rusia. Celakanya, pengalaman seperti itu belum tampak di Indonesia meski masa reformasi memasuki usia lebih dari satu windu. Kita hanya mengalami perbaikan pada ekonomi makro tetapi tidak demikian halnya dengan kesejahteraan masyarakat. Komitmen pemerintah Ditengarai, salah satu faktor penyebab perbedaan capaian dalam pembangunan antara Georgia dan Azerbaijan dengan Indonesia adalah dalam soal komitmen. Persoalannya, bagaimana mengukur komitmen yang abstrak dan normatif itu? Untuk mengaktualkan komitmen itu, badan PBB menyatukan para pemimpin/ kepala negara untuk menandatangani target MDGs pada tahun 2000. Namun, penandatanganan tanpa implementasi yang berorientasi output identik wacana, ilusi, atau komitmen kosong. Padahal, target MDGs dengan 18 goals baru merupakan sebagian komitmen kepala negara dari yang seharusnya dilaksanakan. Pemilihan 18 goals didasarkan pertimbangan ketersediaan data yang dapat didokumentasikan untuk mengukur kemajuan (International Poverty Centre, January/8/2007). Maka, salah besar jika pencapaian target MDGs dijadikan ukuran kesuksesan penyelenggaraan pemerintahan. Kesuksesan dalam pencapaian MDGs baru merupakan sebagian dari banyak persoalan yang harus diselesaikan. Artinya, yang terjadi di Indonesia sungguh memprihatinkan. Sebab, dalam konteks capaian MDGs saja kita mundur. Fakta ini mengindikasikan lemahnya komitmen para penyelenggara pemerintahan di Tanah Air. Lemahnya komitmen penyelenggara pemerintahan sudah terdeteksi jauh hari sebelumnya. Perkiraan itu didasarkan ketidaksiapan pemerintah menyusun perangkat yang diperlukan dalam mengejar target yang ditetapkan. Dalam konteks ini ada tiga hal. Pertama, ketersediaan data yang belum memenuhi seluruh goals MDGs baik pada level nasional maupun kabupaten/kota. Ketidaktersediaan data secara lengkap akan menyulitkan perencanaan, monitoring, dan evaluasi dalam proses pencapaian goals. Untuk capaian goals 5 misalnya, yaitu tentang angka kematian ibu. Ketersediaan data mengenai indikator kematian ibu sulit diperoleh terkait besarnya dana yang diperlukan dan tingkat kesulitan dalam pengumpulan data. Adalah tidak mudah mengidentifikasi seorang ibu meninggal karena sebab-sebab maternal. Ketersediaan data untuk kematian ibu yang dinilai berkualitas baru bisa diperoleh dari hasil survei demografi dan kesehatan. Data itu pun tergantung penyelenggaraan survei yang belum tentu dilaksanakan secara reguler sekali dalam tiga tahun. Celakanya, angka kematian ibu yang dihasilkan hanya pada tingkat nasional, belum level provinsi apalagi kabupaten/kota. Kedua, sinkronisasi program pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah terkait pencapaian target MDGs. Otonomi daerah yang kini sebanyak 456 daerah kabupaten/kota diperkirakan memiliki variasi amat tajam dalam program pembangunan yang dilaksanakan. Ketiga, pengawasan dan evaluasi dalam pencapaian target MDGs. Soal ketiga ini terkait soal pertama dan kedua. Bagaimana melakukan pengawasan dan evaluasi jika tidak ada data lengkap dan acuan standar guna menilai program pemda. Tanpa kesiapan ketiga hal itu, diperkirakan sulit untuk mencapai target MDGs. Diharapkan dalam sisa perjalanan waktu, pemerintah bisa bekerja keras menyiapkan aneka perangkat yang diperlukan. Jika pemerintah menyadari arti penting pencapaian MDGs sebagai wujud komitmen, persiapan bisa dilakukan. Patut dikemukakan, kegagalan dalam pencapaian target MDGs tidak hanya bisa dimaknai sebagai lemahnya komitmen kepala pemerintahan dan jajarannya, tetapi juga mengindikasikan ketakmampuan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Sebab dengan hanya mengandalkan komitmen tetapi kurang memahami dalam aspek implementasi, merupakan cermin ketakmampuan. Sepatutnya masyarakat dapat mengetahui kadar komitmen dan kemampuan calon pemimpin saat pemilu maupun pilkada. Pemimpin yang memiliki komitmen tinggi dan berkemampuan diyakini dapat membawa rakyatnya ke pintu gerbang kesejahteraan, yang berarti tidak sekadar berhasil memenuhi target MDGs. Razali Ritonga Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik, BPS Post Date : 27 Maret 2007 |