|
Tanggal 3-5 Agustus 2005, Indonesia menjadi tuan rumah Regional Ministerial Meeting on MDGs in Asia and The Pacific. Pertemuan ini untuk menyiapkan posisi negara- negara Asia-Pasifik dalam menghadapi Millennium +5 Summit September 2005. Momentum ini terlalu sayang dilewatkan, apalagi saat Indonesia dihadapkan problem pemiskinan berkepanjangan. Untuk melihat progres Millennium Development Goals (MDGs) di Indonesia, kita harus melihat kebijakan makro-ekonomi Indonesia. Kebijakan ekonomi Pemerintah Indonesia lima tahun terakhir bukan untuk melapangkan jalan pencapaian MDGs, malah berpotensi menjauhkan dari cita-cita pengurangan jumlah orang miskin tahun 2015. Sejumlah kesepakatan Indonesia dengan Bank Dunia, IMF, dan WTO memaksa Indonesia menjalankan kebijakan pencabutan subsidi bagi publik, membuka pasar bagi produk impor, dan kebijakan fiskal yang tidak pro-poor. Parlemen dipaksa memproduksi legislasi yang memperlancar privatisasi (UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan lainnya). Kebijakan perburuhan juga dipaksa mengadopsi konsep labour market flexibility. Akibatnya, buruh selalu dalam ancaman PHK. Beban utang luar negeri membuat format APBN tidak pernah signifikan untuk mendanai masalah kemiskinan. APBN 2005 mengalokasikan Rp 64,0 triliun untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri, sementara biaya untuk sektor penunjang pembangunan kualitas manusia Indonesia tidak lebih dari 1,5 persen (Rp 7,4 triliun sektor kesehatan, Rp 21,5 triliun pendidikan, dan Rp 3,679 triliun untuk sektor pertanian). Jika Pemerintah Indonesia konsisten dengan komitmen MDGs yang ditandatangani September 2000, problem kemiskinan dapat direspons secara komprehensif. Hingga kini Indonesia belum memiliki road map menuju 2015 sesuai dengan agenda Millennium Declaration. Indonesia belum menyusun laporan komprehensif tentang achievement MDGs selama lima tahun. Indonesia baru membuat satu kali laporan pencapaian MDGs, berbasis data-data 2003 dan diluncurkan resmi pada Mei 2004. Sejumlah capaian Laporan setebal 58 halaman itu berisi hasil pembangunan Indonesia sesuai dengan goal dan target. Indonesia melaporkan capaian MDGs, Goal 1-Goal 7. Sementara Goal 8 sama sekali tidak dilaporkan. Mengherankan, Indonesia tidak melaporkan capaian Goal 8. Sebagai negara berkembang, Indonesia merasa hanya wajib melaporkan capaian Goal 1-Goal 7, Goal 8 menjadi tanggung jawab negara maju. Masalah kelestarian sumber daya alam yang menjadi area Goal 7 tidak menggunakan analisis tren global. Padahal, peran agen internasional (MNC maupun IFIs) dalam ekspansi modal industri pertambangan memberi kontribusi dalam perusakan sumber daya alam Indonesia. Dalam laporan Goal 7, rekomendasi-rekomendasi mengenai penyediaan air minum yang menyatakan, penyediaan air minum belum menjadi prioritas utama, rendahnya pelayanan PDAM, dan keterlibatan swasta mengelola air minum menggiring, melegitimasi privatisasi pengelolaan sumber daya air. Agenda privatisasi ini terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air yang penyusunannya didukung Bank Dunia. Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review undang-undang ini melicinkan jalan ke arah privatisasi air. Dari dua kasus itu, terlihat betapa miskinnya analisis tren global Laporan MDGs yang disusun Pemerintah RI. Agar Indonesia tidak kembali tersesat dalam kebijakan makro- ekonomi yang kian memiskinkan, momentum Regional Ministerial Meeting on MDGs in Asia and The Pacific dan UN Millennium +5 Summit harus dimanfaatkan Pemerintah Indonesia sebagai titik tolak perancangan kebijakan penanggulangan kemiskinan, mengacu formula penghapusan utang luar negeri, perdagangan global yang lebih adil, dan bantuan pembangunan luar negeri yang lebih baik dan tanpa syarat. Formula inilah yang kini menjadi agenda kampanye global memutus mata rantai sejarah kemiskinan (make poverty history). Wahyu Susilo Project Officer Poverty & MDGs International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Post Date : 01 Agustus 2005 |