Jakarta, Kompas - Data Tujuan Pembangunan Milenium tahun 2010 menunjukkan, jumlah rumah tangga Indonesia yang dapat mengakses air bersih baru 47,71 persen dari target 68,87 persen pada 2015. Di tengah rendahnya pencapaian itu, keberpihakan pemerintah lemah, salah satunya dalam hal pendanaan.
Demi target tahun 2015, butuh anggaran Rp 40 triliun. Namun, anggaran pemerintah hanya Rp 12 triliun. ”Memang segitu kemampuannya,” kata Deputi Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Dedy S Priatna, pada diskusi ”Meningkatkan Akses Sanitasi dan Air Minum di Indonesia” yang digelar Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) di Jakarta, Rabu (12/10).
Dalam jangka panjang, keteraksesan seratus persen air bersih bagi seluruh masyarakat Indonesia diperkirakan baru tercapai tahun 2025. ”Ini pil pahit yang harus kita telan,” kata Dedy.
Ia mengakui, pemerintah terlambat memprioritaskan kebutuhan air bersih warga. Sebelum 2007, kebutuhan akan air bersih dan fasilitas sanitasi masih dianggap kewajiban individu, bukan komunal.
Untuk mengatasi ketertinggalan itu, pemerintah menggandeng badan internasional dan swasta untuk menyediakan fasilitas air bersih. Salah satunya USAID, yang memberi hibah 34 juta dollar AS untuk pemenuhan air bersih dan fasilitas sanitasi pada 2011-2015.
Direktur Misi USAID Glenn Anders mengatakan, bantuan 34 juta dollar AS itu lewat proyek Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene. Selama lima tahun diharapkan dapat mendanai 50 kota di Indonesia.
Waspadai privatisasi
Koordinator Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Muhammad Reza Sahib, mengatakan, air bersih merupakan hak asasi warga yang wajib dipenuhi negara. ”Anehnya, pemerintah tak memberi perhatian besar pada kebutuhan hakiki rakyatnya ini,” kata dia.
Secara khusus, KRuHA menyesalkan rendahnya keberpihakan pemerintah atas kebutuhan air bersih warganya. Penganggaran negara sekitar 20 persen dari total kebutuhan menunjukkan hal itu.
”Seharusnya pemerintah mengambil peran lebih besar, kekurangannya mungkin bisa dari luar. Kalau bagian yang besar itu mengandalkan swasta atau lembaga asing seperti USAID atau organisasi lain, arahnya jelas komersialisasi air yang menguntungkan swasta. Bukan pelayanan kebutuhan kepada masyarakat,” ucap Reza.
Sesuai ketentuan PBB, standar hak atas air adalah setiap orang terpenuhi 50-100 liter air per hari, sumber air maksimal berjarak 1.000 meter dari rumah, dan untuk mengaksesnya butuh waktu kurang dari 30 menit, serta persentase pendapatan rumah tangga untuk membeli air kurang dari 3 persen. (ICH)
Post Date : 13 Oktober 2011
|