|
Banyak orang bilang, kebersihan adalah sebagian dari iman. Namun, di negara Indonesia dengan penduduk yang dikenal religius ini, ajaran moral itu justru kerap diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kenyataan yang paradoksal itu bisa terjadi? Kondisi sebagian besar toilet umum di Jakarta yang jorok menggambarkan, betapa sebagian besar kita memang tak begitu peduli dengan urusan kebersihan. Tengoklah Monumen Nasional (Monas), yang berada tepat di jantung ibu kota Jakarta. Monumen yang jadi obyek wisata ini dilengkapi sejumlah toilet, termasuk toilet keliling berbentuk seperti kotak yang bisa digeser-geser. Selasa (8/1) siang yang terik itu, seorang pengunjung menghampiri toilet keliling yang punya tiga bilik di dekat parkir Lapangan Irti pada sisi selatan Monas. Baru mendekati saja, bau pesing sudah meruap. Begitu pintu dibuka, aroma tak sedap langsung menyerang-nya. Aduh, rasanya kepala pusing, mual, mau muntah! pekik Rahman, pengunjung itu, seraya mundur beberapa langkah. Memang, toilet itu menyedihkan. Lantai, yang terbuat dari semacam aluminium, basah dan karatan. Kloset jongkok tak terurus, dan keran airnya mampet. Siapa pun yang ambil risiko buang hajat ke tempat itu harus rela menyediakan air sendiri, selain tentu bertekad menahan bau. Dengan kondisi toilet seperti itu, wajar saja jika seorang None Jakarta dikabarkan sampai muntah-muntah begitu membuka pintu toilet keliling itu saat menghadiri satu acara di Monas tahun 2007. Nona itu pun urung menggunakan toilet yang kotor itu. Jika toilet umum di Monasyang berada di depan istana negara dan menjadi simbol perjuangan kemerdekaan Republik Indonesiasaja jorok begitu, lantas bagaimana dengan toilet umum di kawasan lain? Kondisinya rata-rata memang memprihatinkan. Toilet di samping Terminal Bus Transjakarta Koridor IV Pulo Gadung-Dukuh Atas di kompleks Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur, contohnya. Toilet yang terletak di bawah tangga gedung kantor terminal itu punya dua bilik yang bisa dipakai pria maupun wanita. Dari jarak dua meter saja, bau pesing sudah tercium. Begitu pintu dibuka, bau langsung membuat mual perut. Ruangan yang sempit (berukuran sekitar 70 x 100 cm) masih disekat tembok kecil. Di atas tembok itu, diletakkan sebuah ember penampung air dan gayung kecil yang jelek. Lantai keramik biru muda itu sudah kusam, becek, dan dipenuhi bekas injakan sepatu atau sandal. Warna putih pada dinding toilet kabur, dan kloset jongkok belepotan bercak berbagai kotoran. Pengguna dikutip Rp 1.000 setiap kali masuk. Begitu keluar dari toilet, seorang penjaga siap menagih. Fenomena umum Begitulah, cap buruk toilet umum yang jorok telanjur jadi fenomena biasa di mana-mana. Kondisi toilet di Terminal Lebak Bulus dan di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, juga cukup memprihatinkan. Kondisi serupa terjadi di tempat-tempat publik lain, seperti di pasar, terminal, stasiun. Bahkan, Bandara Soekarno-Hatta, yang jadi pintu gerbang internasional belum benar-benar memperlihatkan fasilitas toilet umum yang bersih, sehat, dan nyaman. Kantor-kantor pemerintah sendiri juga belum mengelola toilet dengan bersih. Setidaknya itu terlihat di toilet di ruangan Humas dan Protokoler Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta toilet di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI yang masih kotor. Bagaimana pemerintah mengelola kebersihan toilet? Khusus untuk toilet terminal, Kusmanto, Kepala UPT Terminal Dinas Perhubungan DKI, mengatakan, pengelolaan kebersihannya diserahkan kepada pihak ketiga, baik secara perorangan, kelompok, atau perusahaan. Merekalah yang bertanggung jawab terhadap kebersihan dan perawatan toilet dan memungut biaya kepada pengunjung. Sayangnya, hanya 10 persen dari 23 terminal di Jakarta yang punya toilet yang sudah tertata baik, katanya. Kepala Humas dan Protokol Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Arie Budiman dan Kepala Humas DPRD DKI Chaidir Amsir mengungkapkan, pengelolaan kebersihan di lingkungan pemerintah dilakukan jasa cleaning service oleh pihak ketiga dengan menggunakan sistem tender yang dilakukan setiap tahun sekali. Bagaimana dengan toilet umum yang dimiliki swasta? Secara umum, jauh lebih baik. Tetapi, masih ada beberapa yang kotor. Beberapa pusat perbelanjaan yang sekarang jadi situs kebudayaan kaum metropolitan juga masih belum maksimal menerapkan pola kebersihan. Toilet wanita di Mal Citraland, Jakarta Barat, misalnya, sering dikotori kertas tisu pembersih yang bertebaran di ruang toilet saat jam-jam padat pengunjung. Meski pakai sistem kering, sering kali pengunjung kebingungan karena tisu yang disediakan di ruang tunggu habis. Mau bikin toilet kering, tetapi tidak tersedia tisu. Lalu, kita harus membersihkan diri dengan apa? tutur Elvi, warga Tangerang, yang sering membeli tisu sendiri, kalau terpaksa masuk toilet di situ. Persoalan budaya Selain persoalan kurang terurus dan fasilitas yang minim, persoalan toilet umum yang jorok berakar pada perkara disiplin masyarakat. Dalam kultur masyarakat agraris di Indonesia, masyarakat zaman dulu pernah punya tradisi buang hajat sembarangan di alam terbuka, seperti di sungai, empang, hutan, atau semak belukar di belakang rumah. Kotoran dibiarkan begitu saja karena bisa langsung diurai organisme dalam tanah, tumbuhan, atau air. Saat kehidupan semakin modern, masyarakat yang hidup di kota-kota besar dituntut untuk membuang hajat di tempat khusus yang dinamakan toilet dan membersihkan diri sendiri. Ajaran agama pun menekankan pentingnya kebersihan sebagai bagian dari pada iman. Tetapi, hingga kini, tuntutan zaman dan ajaran mulia itu belum merasuk menjadi etos sosial dalam kehidupan praktis sehari-hari, dan sebagian masyarakat lambat atau enggan menyesuaikan diri. Buktinya, masih banyak pengunjung toilet umum yang ngeloyor begitu saja setelah kencing atau buang air besar, tanpa menyiram atau membersihkan peturasannya sendiri. Orang kita cenderung mau pakai toilet umum, tapi tak suka pelihara. Banyak orang yang tak pernah berpikir, akan ada orang lain yang akan memakai toilet setelah dia menggunakannya, kata arsitek Naning Adiwoso (59), yang menjadi pendiri dan Ketua Asosiasi Toilet Indonesia (ATI). (lusiana indriasari/ frans sartono) Post Date : 13 Januari 2008 |