|
JAKARTA - Mata air di kawasan Cianjur, Jawa Barat, sejak tahun 1985 hingga 2006 berkurang. Hal itu terlihat dari Sungai Cikundul yang pada 1985 memiliki 12 mata air kini tinggal empat yang masih aktif. "Mata air di kawasan itu terancam. Bila tidak ada perbaikan alam, volume air dapat berkurang atau mata air hilang tertutup tanah akibat longsor," kata ahli argoforestry Arman Abdul Rohman saat ditemui Antara di Cianjur, Senin (20/3) di sela-sela acara "Safari Air". Acara itu berlangsung sejak hari Minggu (19/3) di Cianjur, kerja sama antara PT Coca-Cola Indonesia dengan USAID, dalam program "Cinta Air". Tujuannya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pengelolaan air yang baik serta memperluas akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi. Program tersebut, dilaksanakan di bagian hulu hingga hilir beberapa sungai yang membelah Kota Jakarta. Untuk masalah berkurangnya mata air Sungai Cikundul, para relawan telah memberikan pendampingan dan pengarahan terhadap masyarakat setempat, dalam hal itu warga Kelurahan Cimacan. "Petani setempat yang merencanakan sendiri program mereka. Itu merupakan bentuk partisipasi masyarakat. Hingga kini, mereka sudah sampai pada tahap analisis kebutuhan," ujar Arman, yang juga Project Manager Progam Cianjur. Ia menambahkan, masalah utama masyarakat Cimacan adalah tanah yang bukan mi-lik mereka. Tanah seluas kurang lebih 60 hektare, di mana terdapat mata air Cikundul, 70 persen adalah milik perusahaan pengembang PT Coolibah. Kawasan yang tadinya hijau dengan pepohonan besar kini telah menjadi kompleks vila dan ladang. "Kondisi alam di sini memang berubah sejak Coolibah membeli tanah-tanah penduduk pada 1985. Warga kehilangan lahan garapan dan kawasan ini tidak lagi hijau," kata H Husain, Ketua RT 03/RW 06/Kemandoran III, Kelurahan Cimacan. Itulah kemudian yang menyebabkan longsor. Pada tahun 1990 lalu, tercatat ada 10 mata air. Lima tahun kemudian berkurang menjadi delapan. Tahun 2000, menjadi tujuh, dan kini tinggal empat mata air. Hal yang sama disampaikan oleh Ayep Hidayat, Ketua Pemuda yang menjadi fasilitator masyarakat dalam program yang direncanakan akan berlangsung selama lima tahun itu. "Kesulitan utama adalah masalah kepemilikan lahan. Masyarakat sudah menyadari pentingnya melakukan reboisasi lahan di lereng-lereng untuk mencegah longsor, tapi mereka tidak bisa menanam sembarangan karena lahan tersebut bukan milik mereka," ujar Ayep. Kini, warga tengah mendekati dan mengajak diskusi pemerintah dan pemilik tanah untuk mengatasi masalah tersebut. "Masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja, semua harus turut serta mengatasi masalah air ini," tutup Arman. (N-6) Post Date : 20 Maret 2006 |