|
Masyarakat kecewa terhadap kualitas penyediaan air minum di Tanah Air. Masyarakat kini hanya berpikir soal ketersediaan air, dan tidak mempersoalkan kualitasnya. Kekecewaan tidak hanya disebabkan aspek internal kinerja Perusahaan Daerah Air minum (PDAM) yang masih belum sesuai harapan. Tapi, juga persoalan ketersediaan air baku yang semakin kritis. Kondisi ini diperparah oleh keterbatasan keuangan pemerintah yang tidak mampu lagi mensubsidi PDAM. Ke depan, tidak ada upaya lain kecuali menyehatkan PDAM yang kini hanya mampu melayani sekitar 39% penduduk perkotaan. Pemerintah kesulitan jika hanya mengandalkan PDAM sehat, karena itu perlu melibatkan peran swasta. Kini, pemerintah telah membentuk Badan Pengatur dan Pendukung Sistem penyediaan Air Minum (BPP-SPAM). Badan yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU) ini, terus berupaya menarik investor swasta guna turut mendorong system penyediaan bersih yang terjangkau dan dapat diakses semua masyarakat. Terutama golongan menengah ke bawah. BPP-SPAM telah mengevaluasi semua kendala tender proyek air minum dan siap mengemas dengan paket yang lebih menarik. Lebih mendalam mengenai upaya BPP-SPAM mewujudkan peningkatan akses air minum bagi masyarakat, wartawan Investor Daily Suharto dan Trimurti mewawancarai ketua BPP-SPAM Rahmad Kurniadi, di ruang kerjanya di Jakarta, baru-baru ini. Berikut petikannya. Seperti apa potret system penyediaan air minum saat ini ? Saya menilai, masyarakat telanjur kecewa terhadap perkembangan penyediaan air minum di seluruh Indonesia. Terbukti, ada rasa acuh tak acuh terhadap pelayanan air minum. Masyarakat sepertinya sudah tidak peduli, bagaimana kualitas suplai air minum dan tidak terlalu menarik lagi untuk menjadi perhatian. Yang penting baginya, ada air itu saja. Apa yang mendasari kekecewaan masyarakat ? Kekecewaan bersumber pada berbagai macam. Pertama, internal PDAM yang kini tarifnya terlalu rendah. Kita tahu, apabila PDAM berencana menaikan tariff, ditentang karena menambah beban masyarakat. PDAM saat ini baru mampu melayani sekitar 39% masyarakat wilayah perkotaan. Dan umumnya yang dilayani adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Sebanyak 61% tergolong penduduk miskin. Bagi yang mampu membayar biaya berlangganan, air terus mengalir sedangkan yang tidak mampu terpinggirkan. Ini diperparah lagi, adanya gejolak dalam pemerintahan sehingga kemampuan keuangan pemerintah menurun. Tidak lagi memberikan subsidi kepada PDAM ataupun melalui grant. Kini hanya tinggal mengandalkan kemampuan PDAM sendiri. Sedangkan, kemampuan PDAM tidak mungkin meningkat karena tidak ada kenaikan tariff dan investasi baru. Menurut Anda, apakah juga ada persoalan eksternal ? Jelas ada. Persoalan eksternal yang paling utama adalah keterbatasan air baku di berbagai wilayah. Sebenarnya kesenjangan air memang sama daru dulu memang seperti itu. Yang terjadi area yang digunakan untuk menampung air baku sebagai rumah air berubah fungsi menjadi rumah penduduk. Hal ini akan mengakibatkan bencana seperti banjir, pada perumahan penduduk yang notabene dulunya memang daerah resapan. Tempat resapan air berubah menjadi beton, menyebabkan air langsung bergerak ke laut, tidak sempat termanfaatkan oleh masyarakat luas. Apakah air baku sudah menjadi persoalan seserius itu dan bagaimana upayanya? Untuk mempertahankan kelangsungan air baku, dari aspek aturan, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Tercantum pada pasal 40 untuk air minum, isinya adalah pemerintah dan pemda menjamin tersediaan air baku sesuai dengan kewenangannya. Jadi air baku dalam rangka kebutuhan masyarakat untuk air minum itu dijamin oleh pemerintah. Selanjutnya, pasal 42 menyebutkan pemerintah harus mengatur pelayanan air minum, untuk pengaturan tersebut pemerintah dapat membentuk badan, yang bertanggung jawab terhadap Menteri. Nah, dibentuklah badan pendukung dan pengembangan system penyediaan air minum (BPP-SPAM). Apa tugas BPP-SPAM? Inti sebelumnya adalah pengatur sehingga menjadi jelas aturannya. Namun karena menyangkut kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota, maka tidak bisa serta merta melakukan pengaturan karena wilayah pihak lain. Jadi BPP-SPAM hanya mendukung dan memberikan rumusan. Jadi tugas BPP-SPAM kepada pemerintah memberikan masukan mengenai air minum dari aspek kualitas, kuantitas dan kontinuitas serta terjangkau masyarakat kecil.Untuk itu, perlu dipikirkan pola tarif yang terjangkau masyarakat. Di sisi lain juga tidak akan mengurangi atau bahkan merusak biaya operasi dan pemeliharaan serta pengembangan. Anda lihat, kualitas air minum saat ini tidak bagus, kuantitas masih kurang dan kontinuitas masih terhenti-henti alirannya, karena air bakunya juga terbatas. Pihak mana sebenarnya yang diatur oleh BPP-SPAM? Dari aspek tarif, BPP-SPAM tentunya menjaga kepentingan kedua pihak, baik pelanggan dan penyelenggara. Jangan sampai pelanggan juga tidak mau tahu mengenai misalnya besaran tariff Rp 300 perak dapat mengalir 24 jam. Itu tidak mungkin terjadi dalam kondisi saat ini. Apa yang telah dikerjakan BPP-SPAM? BPP-SPAM sebagai badan bar uterus konsolidasi, dalam waktu dekat akan melakukan rapat mengenai standar tarif dengan perusahaan agar masih bisa dapat hidup dan berkembang. Standardisasi tarif, memang bukan hanya kewenangan PU saja tetapi juga Departemen Dalam Negeri. Namun BPP-SPAM dapat mengaksesnya, khususnya menyangkut standar tarif seperti apa yang akan diterapkan. Sehingga, jangan sampai ada komponen penduduk miskin yang tidak dapat terjangkau. Namun juga besaran tarif cukup tinggi sebesar Rp 10.000 per meter kubik misalnya, yang dikorbankan masyarakat miskin tentu akan kelabakan. Oleh karena itu, standar tarif air minum tetap kewenangan pemerintah agar masyarakat kecil mampu menjangkau. Selain itu, apa yang menjadi pertimbangan untuk menetapkan besaran tarif air minum? Sebagai contoh pertimbangan hitungannya demikian, misalnya kebutuhan air minum 60 liter per hari per orang. Kalau lima orang di dalam satu rumah, berarti konsumsinya mencapai 300 liter per hari, sebulan menjadi 9 meter kubik. Itu baru tarif dasar, selanjutnya di atas batas tarif tersebut berarti orang sudah mulai menikmatinya, sehingga perlu ditetapkan tarif berjenjang. Ini baru rumusan, seberapa besarannya. Kalau memang sejumlah 9 kubik dijual dengan harga murah, akankah bangkrut kalau ditinjau dari aspek pengusahaan.Padahal pemakaian air rata-rata orang saat ini 14 kubik, perbulan. Berarti untuk pengembangannya pada setiap keluarga dengan lima orang penghuni tersebut pada ukuran 9 kubik hanya 5 kubik untuk pengembangan. Rumusan yang demikian saat ini tengah dikaji di Departemen Dalam Negeri. Setelah itu langkah apa untuk dapat menetapkan tarif? Nantinya yang melakukan penetapan adalah pemerintah antara Menteri PU dan Menteri Dalam Negeri. Dan saya pikir BPP-SPAM juga wakil masyarakat, pelanggan, dan juga penyedia air minum juga dapat mengusulkan pendapatnya.Pemerinttah menggalang kemitraan untuk mendukung terwujudnya peningkatan akses air minum seperti MDGs. Bagaimana pendapat anda?Benar, dalam rangka Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 ditargetkan dapat mengurangi sebesar 50% untuk penduduk yang belum terakses air minum, jadi 61% yang belum terakses akan dikurangi separuhnya menjadi 2015 sehingga menjadi 80%. Namun untuk mewujudkannya, dibutuhkan dana Rp 25 triliun, selama 10 tahun, artinya butuh Rp 2,5 triliun pertahun. Kemampuan pemerintah pertahun hanya Rp 500 miliar. Berarti ada gap Rp 2 triliun. Untuk itu perlu peran investor untuk menutupi Rp 2 triliun. Kalau tidak yang sudah kita tidak buat apa hanya punya dana Rp 500 miliar. Dengan demikian diperlukan investasi swasta? Betul, namun untuk menyehatkan PDAM tidak mungkin swasta langsung dengan sendirinya masuk tanpa ada sesuatu yang menarik. Jadi perlu penyehatan PDAM terlebih dahulu, kalau tidak dilakukan nantinya investor yang datang juga tidak sesuai dengan harapan, atau malah membuat repot.Saat ini dari sejumlah 214 PDAM, setelah dievaluasi selama 9 tahun ternyata hanya 19 PDAM yang sehat. 31% tidak sehat dan 32% kurang sehat, dan 28% kondisi kritis. Post Date : 09 November 2005 |