|
JAKARTA (Media): Kualitas fasilitas sanitasi dan air di Indonesia sangat memprihatinkan. Indonesia bahkan menempati peringkat kedua terendah dari total 16 negara Asia Tenggara. Demikian diungkapkan Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas Basah Hernowo kepada Media di Jakarta usai penandatanganan naskah kerja sama Bappenas dengan Plan International, kemarin. Indonesia, kata Basah, berada di peringkat 14 dari 16 negara Asia Tenggara. Indonesia hanya berada di atas Laos serta jauh tertinggal dari Singapura, Thailand, dan Malaysia. Kondisi itu telah berpengaruh langsung pada buruknya tingkat kesehatan dan produktivitas masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan PBB, masyarakat yang tingkat sanitasinya rendah kehilangan produktivitas satu minggu dalam satu bulannya, serta harus mengalokasikan sepertiga dari pendapatannya untuk berobat karena sakit. Di Indonesia, kata Basah, sebanyak 24% masyarakatnya belum memiliki akses terhadap fasilitas mandi cuci kakus (MCK). Mereka masih membuang hajatnya di kebun, sungai, serta tempat-tempat yang tidak terjamin higienitasnya. Sedangkan masyarakat yang telah terpapar fasilitas air bersih hanya mencapai 53%. Di antara mereka baru 39% yang mendapat fasilitas air tersebut melalui fasilitas langganan air ledeng. Padahal, lanjut Basah, di Singapura, Malaysia, dan Thailand 100% penduduknya telah mendapat akses pada air minum maupun MCK. Sedangkan di Vietnam, angkanya telah mencapai 96%. Basah menyebutkan, selain hambatan infrastruktur, minimnya akses terhadap MCK dan air bersih itu juga dipicu oleh masalah mental. Masyarakat masih menyepelekan kebersihan dan belum menyadari besarnya risiko yang mereka tanggung. Selain itu, pertumbuhan infrastruktur sanitasi di Indonesia belum bisa mengimbangi percepatan pertumbuhan penduduk. Padahal, kata Basah, mewabahnya polio, diare, serta demam berdarah dengue (DBD) adalah akibat nyata yang timbul akibat minimnya kesadaran menjaga kebersihan lingkungan. "Coba anda lihat di Sukabumi, tempat polio berjangkit, masyarakat buang air di sungai atau kolam. Akibatnya, virus begitu cepat menyebar dengan ganas," kata Basah. Sebagai salah satu upaya mengatasi hal itu, lanjutnya, Bappenas menjalin kerja sama dengan Plan International. LSM tersebut menghibahkan bantuan senilai US$5 juta, yang akan diberikan dalam bentuk kampanye, sosialisasi, serta pembangunan fasilitas MCK dan air bersih. Bantuan itu akan diberikan bagi 300 desa di 18 kabupaten di tujuh provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Aceh. Program yang akan berlangsung hingga 2006 itu diharapkan dapat menjangkau 200.000 kepala keluarga. Bantuan dari Plan itu diharapkan dapat mendukung target Indonesia untuk menyediakan akses pada air bersih dan MCK pada 50% penduduk pada 2015 mendatang. Target itu termasuk dalam Millenium Development Goals yang diamanatkan PBB pada Indonesia. Siap minum Basah juga menyebutkan, sebagai upaya meningkatkan kualitas sanitasi, pada 2008 mendatang air ledeng, baik itu yang dialirkan PDAM maupun swasta, harus siap minum. Ketentuan itu termuat dalam PP No 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Namun, lanjut Basah, pencapaian target itu masih terbentur pada masalah tarif. Pasalnya, hingga kini penarifan langganan air ledeng di Indonesia masih kurang logis. Tarif yang ditetapkan pemerintah hanya Rp850 per meter kubik, sedangkan biaya produksi mencapai Rp1.600 hingga Rp2.500. "Mungkin diperlukan kenaikan tarif karena peningkatan kualitas memerlukan peningkatan teknologi, perawatan, serta biaya operasional. Saat ini semua sedang dimatangkan dan dilakukan secara bertahap untuk mencapai target ini," kata Basah. (zat/H-3) Post Date : 20 Oktober 2005 |