MASAK PAKAI SAMPAH

Sumber:Koran Tempo - 09 Juli 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

MALANG -- Beruntungnya Nurul Sulistiyati, 38 tahun, bersuami Muhammad Nurhuda, 44 tahun. Bukan apa-apa, berkat suaminya itu Nurul kini tak perlu lagi terburu-buru membeli elpiji kalau api kompornya mulai redup.

Warga Jalan Kendalsari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, ini sudah menyiapkan kompor pengganti di dapurnya. Namanya kompor biomassa, yang bisa menyala dari serasah, kayu, dan sampah rumah tangga lainnya. "Nyala apinya bagus dan lebih hemat daripada minyak tanah atau elpiji," kata Nurul, Selasa pekan lalu.

Kompor berbahan baku biomassa padat ini asli ciptaan Nurhuda. Dosen fisika di Universitas Brawijaya itu membuatnya setelah sebulan penuh meneliti di laboratorium di kampusnya. Hasilnya, sebuah kompor berbahan bakar biomassa yang berbeda dengan kompor pada umumnya karena nyala api kompor tidak disertai asap yang bisa bikin istrinya batuk-batuk.

Sejatinya, Nurhuda tidak membuat kompor itu spesial untuk sang istri. Anggota Kelompok Kajian Sumber Energi Baru dan Terbarukan di universitasnya itu ingin membantu masyarakat mendapatkan bahan bakar murah dan mudah didapat. Terlebih setelah program konversi minyak tanah menjadi gas yang malah membuat jenis bahan bakar pertama langka dan yang kedua melambung harganya.

Nurhuda lalu memilih bahan bakar biomassa padat. Pilihannya ini didasari kenyataan bahwa sampah mudah diperoleh karena selalu tersedia setiap hari di setiap rumah dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, beban lingkungan akibat banyaknya produksi sampah bisa dikurangi.

Kompor biomassa Nurhuda bukanlah yang pertama di Indonesia. Faktanya, kompor ini sudah tak lagi asing. Namun, Nurhuda menjelaskan, kompor-kompor biomassa yang ada mempunyai sejumlah kekurangan, seperti kualitas pembakaran yang jelek dan menimbulkan polusi. "Ini disebabkan oleh kesalahan dalam pemanfaatan biomassa," ujarnya.

Selama ini, pemakaian biomassa padat sebagai bahan bakar dilakukan dengan menjadikannya sebagai arang terlebih dulu melalui proses karbonisasi. Arang yang terbentuk kemudian dicetak menjadi briket. Menurut Nurhuda, cara itu tidak efektif. Saat pembakaran biomassa menjadi arang, asap yang dihasilkan tak saja menimbulkan polusi, tapi juga menjadi panas yang terbuang sia-sia.

Nurhuda membuat kompornya berbeda. Pembakaran dibuatnya dua tahap-dalam satu tempat atau kompor yang sama. Pertama, pembakaran bahan bakar. Api dalam tahap ini didesain hanya membakar sekeliling "paket" bahan bakar padat seraya menghalangi pasokan oksigen. Akibatnya, muncul asap yang sangat banyak dan jelaga yang ditimbulkan residu karbon.

Di sinilah tahap kedua berlangsung: pembakaran asap. Proses ini dimungkinkan karena asap mengandung gas seperti hidrogen, karbon monoksida, dan metan yang dapat terbakar.

Hasil pembakaran asap inilah yang menghasilkan api "netto" yang menyala lebih bersih dan berwarna biru yang muncul dari lubang di sekeliling kompor. "Semua komponen biomassa dari asap sampai arang digunakan untuk menghasilkan energi. Jadi hampir tak ada sisa pembakaran," kata pria bergelar doktor dari Universitas Bielefeld, Jerman, itu.

Untuk setiap paket--yang juga bisa dibuat sebagai briket--seberat 1 kilogram, kompor Nurhuda bisa menyala sampai satu jam. Panas yang dihasilkan, di antaranya, bisa untuk mendidihkan 12 liter air dalam waktu sekitar 35 menit.

Agus Nurrohim, ahli konservasi energi di Pusat Penelitian Teknologi Konversi dan Konservasi Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, menyatakan baru mendengar mekanisme dua kali pembakaran seperti yang digunakan Nurhuda. Kebanyakan kompor berbahan bakar biomassa, menurut Agus, memang sangat tradisional dengan cara bakar langsung.

"Selain polutif, efisiensinya sangat rendah, yakni nilai kalor yang termanfaatkan hanya 12,5 persen dari massa yang digunakan," dia menjelaskan. "Sisanya losses dalam bentuk asap dan panas." Inilah, menurut Agus, yang menjadi kelemahan utama kompor yang memanfaatkan kelimpahan sampah dan limbah organik, yakni kandungan energinya yang rendah, "Sehingga hanya cocok untuk kebutuhan skala kecil."

Agus menyatakan, belum dapat dipastikan efisiensi kompor biomassa buatan Nurhuda. Yang pasti, hilangnya asap semestinya sudah satu langkah yang cukup berarti dalam pengembangan kompor model ini. "Sedangkan panas yang terbuang bisa dirasakan apakah kita merasa panas bila ada di sekitar tungku itu," ujarnya.

Kompor Nurhuda

Meskipun ketersediaan bahan bakar biomassa melimpah, secara umum kandungan energinya lebih kecil daripada bahan bakar fosil. Itu karena karakteristik densitasnya yang juga rendah dan berdebu yang menyebabkan masalah dalam transportasi, penanganan, penyimpanan, dan pembakaran langsung.

Harus ada teknik pemanfaatan yang tepat. Densifikasi atau pembriketan dengan parameter-parameternya yang khusus memang penting dan sudah luas digunakan, tapi tidak cukup. Gasifikasi, teori inilah yang diakui Nurhuda mendasari kompor biomassanya sehingga menghasilkan api yang lebih bagus.

Untuk memfasilitasi metode pembakaran dua tahap yang dikembangkannya, Nurhuda mendesain kompornya dengan dua tabung. Tabung luar terbuat dari baja antikarat, sedangkan yang di dalam terbuat dari lempengan besi.

Sementara tabung dalam berfungsi sebagai tempat bahan bakar, tabung luar hanya membungkus tabung dalam. Pada tabung dalam, bagian samping diberi lubang-lubang kecil sebagai tempat keluar api hasil pembakaran asap.

Nurhuda melengkapi kompornya dengan panel pengatur udara yang diletakkan pada sisi bawah tabung luar. Selain itu, ada tuas putar pengatur volume nyala api yang membuatnya tak beda dengan kompor minyak biasa.

Penambahan bahan bakar mungkin dilakukan ketika api masih menyala tanpa perlu mengangkat tempat memasak. Caranya adalah membuka jendela yang terletak di bagian bawah tabung luar yang menembus ke tabung dalam. Kayu, ranting, atau sampah lainnya yang sudah dipotong kecil-kecil, atau kalau bisa dibuat briketnya, dimasukkan dengan menggunakan penjorok.

Ada pula blower elektrik penambah pasokan udara yang sifatnya opsional. "Blower hanya tambahan saja kalau ingin memperbaiki mutu pembakaran. Tidak dipakai, ya, tidak apa," Nurhuda menjelaskan.

Ayah dua anak itu menghabiskan uang Rp 2 juta untuk membuat kompor ini. Kalau sudah diproduksi secara massal, ia bisa memastikan harga kompor itu turun hingga Rp 60 ribu per unit.BIBIN

Tinggi kompor: 55 cm

Diameter tabung dalam: 12,5 cm

Diameter tabung luar: 16 cm

Tinggi tabung luar: 40 cm

Tinggi efektif kolom bahan bakar (tabung dalam): 30 cm

Paket bahan bakar biomassa: 0,6-0,8 kg
 



Post Date : 09 Juli 2008