|
PEKAN lalu, Wali Kota Bandung Dada Rosada menyampaikan bahwa masa pakai TPA Jelekong akan segera berakhir dalam dua bulan ke depan. Saat itu, Dada juga menyiratkan adanya rencana perpanjangan sambil menunggu diperolehnya TPA baru. Padahal, pascalongsornya TPA Leuwigajah, Jelekong menjadi satu-satunya tumpuan pembuangan sampah akhir warga Kota Bandung. Seluruh produksi sampah rumah tangga dan pasar sebesar 4.500 m3 per hari dibuang ke lokasi seluas 8 hektare tersebut. Kondisi TPA Jelekong, berdasarkan pemantauan PR, Jumat (18/11), sudah tidak lagi memadai. Tumpukan sampah yang baru datang pun harus disorong untuk merapat ke sisi bukit. Di salah satu sisi, tumpukan sampah yang dibuang timbun tingginya sudah dua meter melebihi jalan raya. Hal itu tentu rawan longsor mengingat di sisi lainnya, tumpukan sampah masih sejajar dengan jalan. Kabag Humas dan Hukum PD Kebersihan Kota Bandung Sefrianus Yosef mengatakan, TPA Jelekong paling lama bisa digunakan sampai akhir tahun ini. Di lokasi tersebut sudah tidak mungkin lagi dilakukan perluasan ataupun penggalian untuk menampung volume sampah. Jelekong sudah tidak mungkin lagi bisa diperluas, kecuali kalau kita memapas bukit yang ada. Tapi itu kan tidak mungkin, apalagi biayanya pasti sangat besar, ujarnya. Untuk itu, sudah sangat mendesak waktunya bagi Pemkot Bandung memperoleh lahan TPA baru dan segera membangunnya menjadi lahan siap pakai. Hal itu perlu segera dilakukan agar tidak sampai terjadi penumpukan sampah di sejumlah TPS karena adanya jeda waktu antara habisnya masa pakai Jelekong dengan penggunaan TPA baru. Pemkot Bandung memang sudah pernah melirik lahan seluas 10 hektare yang terletak di Citatah Kabupaten Bandung. Lahan tersebut dinilai cukup ideal untuk TPA baru meskipun jaraknya cukup jauh yakni 30 km dari Kota Bandung. Saat ini, PD Kebersihan masih mengurus sejumlah kajian yang dipersyaratkan yakni geologi, hidrogeologi, transportasi, dan sosial ekonomi. Namun, kajian tersebut tampaknya terkendala biaya yang konon mencapai Rp 1 miliar. Pendek kata, jalan menuju TPA Citatah masih jauh dan rumit. Namun, pemkot enggan mengatakan bahwa perolehan lahan tersebut sudah gagal apalagi wali kota mengaku sering dihubungi Bupati Bandung Obar Sobarna yang mempertanyakan kepastian penggunaan lahan tersebut. Di tengah ketidakpastian perolehan lahan TPA Citatah, PR memperoleh informasi bahwa PD Kebersihan sebenarnya terus mengupayakan lahan alternatif. Pekan lalu, Direktur PD Kebersihan Awan Gumelar, bahkan menyambangi bakal lokasi yang berada di Kec. Cikalong Wetan. Rencana jangka pendek, lahan baru TPA akan kembali menggunakan sistem sanitary landfill alias buang timbun. Ke depannya, pemkot akan bekerja sama untuk mengolah sampah menjadi energi listrik. PD Kebersihan Kota Bandung pada 21 September 2005 membuat nota kesepahaman dengan PT Bandung Raya Indah Lestari (PT BRIL) untuk melakukan pengolahan sampah menjadi energi listrik. Dari 7.500 m3 sampah Kota Bandung, diperkirakan dapat menghasilkan 24 megawatt energi listrik. Direktur PT BRIL F.X. Dharmawan saat itu, mengatakan pihaknya masih mencari lokasi. Oleh karena itu mereka membutuhkan waktu untuk feasibility study termasuk tempatnya akan seperti apa. Adapun lahan yang diperlukan tampaknya akan lebih dari lima hektare. Besaran investasi yang akan ditanamkan dalam projek tersebut, menurut Direktur PT Atanaka Persada Permai Yoseph Soenaryo, selaku rekanan dalam konsorsium PT BRIL, berkisar ratusan miliar. Pihaknya mengaku mempelajari teknik pengolahan sampah menjadi energi listrik dari Cina. Jika menurut studi kelayakan projek ini memungkinkan, PD Kebersihan nantinya bertanggung jawab atas pengangkutan sampah dari TPS ke lokasi pengolahan. Adapun beban biaya pembangunan sarana dan prasarana, operasional, dan penyediaan lahan menjadi tanggung jawab investor. Namun, PD Kebersihan akan dipungut biaya atas sampah yang dikirimkan. Minta penutupan TPA Meski bernama TPA Jelekong, secara administratif berada di Kelurahan Wargamekar Kec. Baleendah. Semula TPA ini memang berada di wilayah Kelurahan Jelekong. Namun, setelah pemekaran Kelurahan Jelekong sekira dua tahun lalu, TPA ini kemudian masuk pada wilayah Wargamekar. Ihwal pendirian TPA ini telah dirancang sejak 1992 lalu melalui Projek Bandung Urban Development Project (BUDP). Luas keseluruhan TPA ini sekira 10 hektare. Namun, lahan untuk menumpuk sampah hanya sekira 8 hektare karena sisanya berupa perbukitan. Warga Kampung Cilayung yang berbatasan langsung dengan TPA tersebut menolak keberadaan TPA itu sejak pertama kali direncanakan. Sayangnya, sempat terjadi perbedaan pendapat antara warga di sekitar TPA dalam rencana pembangunan ini. Proses ganti rugi tanah dan keuntungan lain dari barang rongsokan adalah sumber perpecahan antarwarga waktu itu. Sebelum terjadinya musibah longsor TPA Leuwigajah beberapa waktu lalu, memang hanya sekira 50-60 truk sampah yang masuk ke TPA Jelekong. Tak mencoloknya laju penumpukkan sampah waktu itu membuat warga tak begitu merasakan dampaknya. Namun, setelah terjadinya bencana longsor sampah di TPA Leuwigajah, semua pembuangan sampah di sekitar Kota Bandung dan Cimahi dialihkan ke tempat ini. Penumpukan sampah pun menggunung. Dari sekira 50-60 truk per hari, kini menjadi 300 truk per hari. Keluhan pun datang dari semua warga, khususnya dari Kampung Ciparia dan Cilayung yang berbatasan langsung dengan TPA tersebut. Kini, tidak ada lagi perbedaan pendapat di antara warga tentang keberadaan TPA Jelekong. Mereka semua sepakat untuk tak memperpanjang usia TPA ini lagi. Kekecewaan warga, semakin memuncak saat beberapa kali pertemuan antara warga dengan pihak PD Kebersihan Kota Bandung justru tidak menghasilkan solusi. Bahkan, beberapa poin kesepakatan dari hasil pertemuan itu tak direalisasikan oleh pihak Pemkot Bandung. Berkaitan dengan gejolak di tengah masyarakat ini, sejumlah aparat Kecamatan Baleendah dan Kelurahan Wargamekar, melakukan peninjauan langsung ke TPA Jelekong, Jumat (18/11) sore. Camat Baleendah, Terry Rusinda, S.I.P., turun langsung dalam peninjauan tersebut didampingi oleh Lurah Wargamekar, Drs. Eef Syarif Hidayatullah, serta sejumlah aparatnya. Kedatangan mereka disambut baik oleh warga sekitar TPA, tidak terkecuali oleh sejumlah tokoh masyarakat. Peninjauan pun dilakukan dengan menanyakan langsung kepada masyarakat tentang keluhan-keluhan mereka. Beberapa rumah retak serta air sumur yang telah tercemar bau sampah tak luput dari perhatian Camat Baleendah. "Kita hanya melakukan pengumpulan data di lapangan, tentang sejauh mana dampak keberadaan TPA Jelekong ini terhadap kesehatan, keamanan, dan kenyamanan warga. Semua hasil peninjauan ini akan dilaporkan langsung kepada Pak Bupati," tutur Terri. Sedangkan Lurah Wargamekar, Drs. Eef Syarif Hidayatullah, menyatakan, keinginan warga telah menunjukkan bahwa mereka ingin agar TPA Jelekong segera ditutup. Hanya, ia berharap jika saja terjadi penutupan, seharusnya Pemkot Bandung juga memperhatikan sejumlah dampak TPA tersebut, yang akan terus dirasakan warga dan berpengaruh langsung terhadap kesehatan dan keselamatan mereka. "Saat ini kompensasi yang diberikan Pemkot Bandung melalui PD Kebersihan sangat tidak layak. Rukun warga (RW) yang wilayahnya terlewati dan berada di sekitar TPA hanya diberi Rp 100.000,00/bulan. Kompensasi serupa diberikan bagi LKMD dan kelurahan. Menurut warga, uang tersebut hanya cukup untuk biaya administrasi RW semata. Sementara, Pemda Kab. Bandung belum menyatakan sikap tegasnya soal TPA Jelekong. Bahkan, ketika ditanya soal adanya rencana usulan perpanjangan penggunaan TPA Jelekong, Bupati Bandung, H. Obar Sobarna, S.Ip., mengaku belum mengetahuinya. (Deni Yudiawan/Wilda/Eri) Post Date : 22 November 2005 |