|
SEMENTARA Undang-Undang Nomor 7 tentang Sumber Daya Air masih terus disidangkan di Mahkamah Konstitusi, pemerintah yang dikoordinir oleh Departemen Pekerjaan Umum kini tengah giat mempersiapkan berbagai rancangan peraturan pemerintah di bawah UU SDA yang kontroversial tersebut. Beberapa rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang tengah disusun tersebut adalah RPP Pengusahaan Sumber Daya Air, Pembiayaan Sumber Daya Air, Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Pengelolaan Sumber Daya Air, Air Tanah, Sungai dan Danau, serta Irigasi dan Hak Guna Air. Dilihat dari sisi kecepatan pemerintah memproduksi berbagai RPP ini jelas acungan jempol perlu diberikan. Baru disahkan Maret 2004, 8 bulan kemudian berbagai aturan penjabarannya sudah siap dilempar ke publik terbatas untuk memperoleh masukan. Dan sesuai dengan tujuan pemerintah untuk melakukan tata ulang secara menyeluruh pada sektor sumber daya air di Indonesia, maka ke depan pengelolaan sumber daya air akan mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan tersebut menyangkut keseluruhan aspek dalam pengelolaan sumber daya air, di antaranya adalah kelembagaan, hukum, pengaturan, dan strategi pengelolaan. Beberapa dari perubahan-perubahan tersebut perlu diperhatikan implikasinya secara saksama di antaranya adalah dibentuknya banyak badan baru untuk mengelola sumber daya air, seperti Dewan Sumber Daya Air yang akan dibentuk di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; Komisi Irigasi; Badan Air Minum dan Sanitasi, Dewan Musyawarah Air Minum dan Dewan Pengawas Air Minum; kemudian basis pengelolaan yang didasarkan pada wilayah sungai, penyelenggara pengelolaan, dan pengusahaan sumber daya air. Menyangkut masalah banyaknya badan baru yang akan dibentuk, sebagai anggota masyarakat kita perlu bertanya dari mana dan bagaimana semua biaya untuk menjalankan berbagai badan baru ini akan didapat? Kemungkinan besar jawabnya dari masyarakat juga, yaitu dari tarif jasa air. Sinyal seperti ini kuat terlihat dari Rancangan Penjelasan RPP tentang Pengusahaan SDA, di mana disebutkan bahwa pengusahaan sumber daya air diharapkan dapat mengurangi beban pemerintah dalam pembiayaan pengelolaan sumber daya air dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan swasta atau pemanfaat sumber daya air dengan cara membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Perubahan lain sangat mendasar adalah pengelolaan sumber daya air akan didasarkan pada wilayah sungai, bukan wilayah administratif. Hal ini adalah suatu hal yang sangat positif mengingat sifat alamiah air adalah dinamis, alirannya tidak mengenal batas-batas wilayah administratif. Sehubungan dengan pengelolaan yang didasarkan pada daerah wilayah sungai, maka pengusahaan sumber daya air juga akan dilakukan mengikuti aturan pokok ini. Dan ruang lingkup pengusahaan yang dimungkinkan adalah sangat luas, meliputi air permukaan (sungai, danau, rawa, dan sumber daya permukaan lainnya); air tanah pada cekungan air tanah; air hujan dan air laut yang berada di darat. Dengan demikian, dapat dikatakan semua air yang ada di bumi Indonesia boleh diusahakan, mulai dari air hujan sampai air laut, semuanya ke depan boleh diusahakan untuk kepentingan komersial. Mengenai siapa yang dapat melakukan pengusahaan air dapat dilihat pada Pasal 8 RPP Pengusahaan SDA. Pada pasal itu disebutkan bahwa pengusahaan di satu wilayah sungai yang merupakan sungai lintas negara, lintas provinsi, dan strategis nasional hanya dapat dilaksanakan oleh BUMN atau BUMD pengelola sumber daya air. Bagi swasta maupun perseorangan yang berminat ikut serta dalam pengelolaan sungai strategis nasional, lintas negara maupun lintas provinsi, mereka harus bekerja sama dengan Perum atau Perumda. Sayangnya, RPP ini tidak mengatur batasan kepemilikan perseorangan maupun badan usaha dalam bekerja sama dengan Perum/Perumda. Padahal ini sangat penting karena menyangkut kontrol atas pengelolaan sungai-sungai yang nilainya sangat besar bagi kelangsungan hidup bangsa. Ambil contoh, misalnya pengelola Sungai Citarum yaitu Perum Jasa Tirta II (PJT II) ingin bekerja sama dengan swasta atau perseorangan. Maka, pembatasan kepemilikan nonpemerintah jelas diperlukan, mengingat pasokan air dari PJT II adalah pasokan air baku terbesar bagi jutaan konsumen air ledeng di DKI Jakarta. SEMENTARA itu, untuk pengusahaan sebagian wilayah sungai, seperti satu ruas atau lokasi tertentu, pemanfaatan daya air atau wadah air pada lokasi tertentu di sebagian wilayah sungai dibuka bebas bagi perseorangan maupun swasta. Yang diperlukan hanyalah izin pengusahaan dari pemerintah. Ada satu masalah penting yang perlu dicermati sehubungan dengan pengaturan pengusahaan sebagian maupun keseluruhan wilayah sungai, yaitu dimungkinkannya pengelolaan secara menyeluruh satu wilayah sungai dari hulu ke hilir mulai dari tahap perencanaan sampai evaluasi pengelolaan oleh perseorangan atau badan usaha asalkan dia berada hanya di satu provinsi dan dianggap bukan sungai strategis nasional. Padahal kita semua tahu bahwa Indonesia memiliki cukup banyak sungai besar yang alirannya dari hulu ke hilir terletak di satu provinsi. Sangat riskan jika pengelolaannya kemudian bisa dilakukan oleh perseorangan ataupun swasta murni. Masih berhubungan dengan pengusahaan, ada satu hal lain yang sangat potensial menimbulkan masalah besar, yaitu persoalan wewenang, tugas dan tanggung jawab yang diatur bagi setiap level pemerintahan dalam RPP tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. RPP ini membagi pemerintah dalam empat aras: pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan desa. Yang mengejutkan hanya pemerintah desa yang memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memfasilitasi peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dalam pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi di wilayahnya. Pemerintahan pada tingkat di atas desa justru tidak memiliki wewenang dan tanggung jawab ini, padahal sudah diketahui umum bahwa investasi untuk bisnis air minum adalah investasi sangat besar dan biasanya tidak diperuntukkan bagi lingkup desa tapi kota atau kabupaten. Dalam RPP tentang Pengelolaan Sumber Daya Air Pasal 66 disebutkan bahwa penyediaan sumber daya air rinci dilaksanakan oleh pengelola sumber daya air wilayah sungai bersangkutan sesuai rencana penyediaan tahunan. Apabila penyediaan tidak dapat dilaksanakan sesuai ketetapan, maka pemerintah atau pemerintah daerah wajib mengatur kompensasi kepada pemegang izin hak guna yang dirugikan. Bentuk kompensasinya dapat berupa penyediaan air dari tempat lain, perpanjangan masa izin, keringanan biaya jasa pengelolaan sumber daya air, ganti rugi ataupun program pembangunan. Menurut penulis, pemberian kompensasi atas risiko usaha adalah berlebihan. Misalnya penulis memiliki hak guna usaha untuk pengusahaan air di suatu area tertentu di dalam satu wilayah sungai sebesar 20 liter/detik untuk masa lima tahun, lalu karena kendala alamiah seperti musim kemarau yang berkepanjangan, air sejumlah tersebut tidak dapat disediakan oleh pengelola sumber daya air wilayah sungai, maka pemerintah daerah tempat penulis memperoleh hak guna usaha harus mengatur suatu kompensasi. Bila pun kompensasi tidak diberikan secara langsung dalam bentuk dana, maka yang paling mungkin dilakukan adalah dengan mengorbankan alokasi air untuk petani lalu diberikan kepada para pemegang hak guna usaha, hal ini bisa dianggap paling murah karena pemerintah tidak perlu membayar ganti rugi pada petani karena untuk alokasi air bagi pertanian rakyat tidak diperlukan izin. Ini artinya pemerintah tidak memiliki ikatan formal untuk menyediakan air bagi pertanian rakyat yang masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Berbagai hal yang diungkap di atas adalah sebagian permasalahan pengelolaan sumber daya air yang akan kita hadapi bersama apabila proses restrukturisasi sumber daya air yang tengah berlangsung tidak menjadi milik publik kebanyakan. Air berkenaan dengan semua orang, semua lapisan, semua golongan, karenanya setiap perubahan di sektor ini haruslah melibatkan publik seluas-luasnya, marilah kita bersama-sama berupaya melibatkan diri di dalamnya. Pemerintah dengan cara mensosialisasikan rencana secara baik dan masyarakat terus memberikan input, pengelolaan seperti apa yang dianggap mampu memenuhi konstitusi kita yaitu bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Nila Ardhianie Dewan Pengarah Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air Post Date : 29 Maret 2005 |