|
PATI - Berbagai cara dilakukan warga Desa Tlogorejo, Kecamatan Winong, Pati untuk mendapatkan air bersih saat musim kemarau. Salah satunya membuat sumur di dalam sungai yang sudah mengering. Moh Syafi’i (31), warga, menuturkan, ada belasan sumur tersebut telah dibuat sekitar dua pekan. Sebab, sebagian besar sumur di kediaman warga desa itu sudah tidak ada airnya. Saat ini, di dasar sungai yang membelah Dukuh Julu dan Medang, desa tersebut terdapat belasan sumur. Sumur-sumur dengan kedalaman rata-rata 1,5 meter itu untuk 5-10 keluarga. ”Sebagian besar warga sini memanfaatkan sumur ini. Mau gimana lagi wong memang mencari air susah,” ujarnya, kemarin. Dia menyebutkan, sejak sebulan lalu air sungai tersebut memang telah digunakan warga. Karena memasuki awal Agustus airnya habis, tak ada pilihan lain bagi mereka untuk membuat sumur di dalamnya. ”Kalau membuat sumur di kali tidak begitu susah. Sebab, tidak perlu terlalu dalam sudah keluar airnya,” ungkapnya. Hindari Longsor Untuk menghindari longsor, sekeliling lubang sumur-sumur tersebut ditutupi gedek. Jika akan mengambil air, warga menggunakan tali yang dililitkan dengan batang bambu seperti alat memancing. Setiap hari, belasan sumur itu selalu ramai dikunjungi warga. Terutama saat pagi dan sore hari untuk mencukupi kebutuhan mandi, cuci, kakus (MCK). Lantaran warna airnya yang cokelat dan tidak bisa jernih, sebagian warga ada yang memanfaatkannya untuk minum dan memasak. Namun, sebagian lagi hanya untuk kebutuhan MCK dan masih membeli air untuk kebutuhan memasak dan minum. Dia mengemukakan, kesulitan menjadi bencana yang tiap tahun terjadi. Dengan demikian, selain dibebani dengan kebutuhan pokok, masyarakat desa itu juga harus menyisihkan uang untuk membeli air. Dari Kudus Nasib serupa pun dialami warga Desa Glagahwaru, Kecamatan Undaan, Kudus. Pasalnya, saat ini sumur warga yang biasa untuk memasak dan minum mengalami kekeringan. Sebagai gantinya mereka terpaksa membeli air jerigen untuk memasak dan minum. Untuk mencuci warga membuat sumur dadakan di sekitar aliran irigasi yang terletak di sepanjang jalan Glagahwaru-Kutuk. Saat ini di sepanjang jalan tersebut berjajar puluhan sumur dadakan yang dikelilingi dengan pembatas sederhana. Di sekitar aliran irigasi yang saat ini juga kering. Dengan kedalaman dua meter mereka bisa mendapatkan air untuk kebutuhan mencuci dan mandi. Menurut keterangan warga, kekeringan sumur sudah dimulai sejak sekitar tiga bulan lalu. Namun, kekeringan yang paling parah terjadi sekitar akhir Juli kemarin. ”Ya semua sumur bis (sumur permanen) sudah kering. Karena itu, untuk nambah kebutuhan air kami buat sumur dadakan untuk mencuci, kalau minumnya beli jerigenan,” tutur Muh Nafian, warga RT 6 RW 1, Desa Glagahwaru, Selasa (12/8). Nafian mengaku tidak berani menggunakan air dari sumur dadakan untuk memasak karena kurang bersih. Karena itu, tiap hari dia harus mengeluarkan uang tambahan untuk mendapatkan air bersih. ”Ya cuma nyuci saja, kalau buat masak airnya terlalu kotor. Karena itu, warga membeli air dari pedagang keliling. Harganya Rp 4.000 per jerigen (lebih kurang 20 liter),” ungkap Nafian. Menurutnya, kekeringan di Glagahwaru pasti terjadi saat kemarau. “Biasanya tahun lalu ada bantuan air bersih dari peerintah atau persahaan swasta. Namun, tahun ini belum ada,” ujarnya. Sementara itu, Alfiah, warga RT 2 RW 2, mengemukakan hal yang senada. “Sumur di rumah kering. Untuk mandi dan cuci saya pakai air dari sumur dadakan,” ucapnya. Alfiah mengakui, sumur dadakan memang tidak bisa menghasilkan air yang bersih. “Airnya ya agak keruh tapi masih lumayan bisa buat mandi atau nyuci,” tuturnya. (H49,H50-69) Post Date : 13 Agustus 2008 |