|
SUNGGUMINASA-- Masyarakat Kecamatan Manuju Gowa sekarang mulai dilanda kekhawatiran krisis air menyusul masuknya musim kemarau. Selama ini, setiap musim kemarau, sumber air penduduk setempat selalu mengalami penyusutan debit air. Bahkan tidak sedikit yang mengalami kekeringan. Padahal sumur milik penduduk umumnya memiliki kedalaman hingga 100 meter atau delapan kalilipat dalamnya dari sumur kebanyakan. Hal itu pun diakui Camat Manuju, Abdul Rauf Kr Kio, Selasa 10 Mei kemarin. Dia mengakui kalau saat ini sedikitnya ada empat desa di daerahnya yang mulai merasakan krisis air bersih. Keempat desa dimaksud masing-masing Tamalate, Manuju, Bilalang, dan Desa Pattallikang. Tahun ini menurut Camat Manuju, diperkirakan puncak kekeringan sekitar Agustus mendatang. Namun Mei sekarang kekeringan sudah mulai terasa. "Saat-saat seperti itu, masyarakat biasanya sudah setengah mati mencari sumber air bersih. Sumber air yang bisa digunakan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sudah kering. Ada yang kembali menggali sumur, namun hasilnya nihil," ujarnya. Dalam upaya mengantisipasi dampak krisis air, terutama pada puncak kekeringan tersebut, Rauf mengaku telah mengusulkan rencana pemerintah kecamatan, berupa pengadaan pipa air bersih ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) untuk dipertimbangkan. Menurut dia, proyek pipanisasi itu diperkirakan menelan anggaran hingga Rp70 juta. "Anggaran pipanisasi ini kita masukkan ke dalam pagu anggaran kecamatan," imbuh Camat Manuju. Rauf mengaku optimis proyek pipanisasi itu membawa manfaat pada masyarakat setempat, terutama dalam memenuhi kebutuhan air bersih mereka. "Kami sangat berharap Pemkab dan DPRD Gowa bisa mempertimbangkan usulan kami itu," pintanya. Sekadar tambahan, Kecamatan Manuju merupakan daerah ketinggian yang terletak di sebelah barat Waduk Bilibili. Berkurangnya debit air dalam sumber air masyarakat setempat diduga kuat akibat masih berlangsungnya aksi illegal logging dalam kawasan hutan. Selain Manuju, para aktivis lingkungan hidup juga memperkirakan Kecamatan Moncongloe atau yang lebih dikenal dengan Malino bakal mengalami nasib serupa, terutama jika pemerintah tidak mampu mengatasi laju kerusakan hutan di kawasan TWA (Taman Wisata Alam) Malino. Post Date : 11 Mei 2005 |