Manajemen Risiko Untuk Banjir Pantura

Sumber:Kompas - 22 Maret 2007
Kategori:Banjir di Luar Jakarta
Kondisi daerah sepanjang pantai utara atau pantura Jawa Barat sekarang ini seperti digencet oleh dua fenomena kekuatan alam. Fenomena pertama adalah banjir pantai atau ombak pasang laut yang semakin menggerus garis pantai. Fenomena kedua adalah banjir kiriman dari hulu yang semakin mengganas.

Akibatnya, daerah pantura, seperti Indramayu, Karawang, Bekasi, Subang, dan Cirebon, mengalami tingkat kerusakan yang sangat serius. Banjir telah mengakibatkan berbagai kerusakan berat terhadap permukiman, infrastruktur, dan pertanian rakyat. Berbeda dengan penanganan pascabanjir di DKI Jakarta yang bisa melakukan pemulihan infrastruktur secara cepat, penanganan banjir di pantura selama ini hanya diatasi dengan tambal sulam sehingga semakin menimbulkan degradasi infrastruktur, lingkungan, dan sosial.

Ironisnya lagi, hingga saat ini pemerintah juga belum menerapkan risk management (manajemen risiko) secara benar guna meminimalkan kerugian akibat banjir. Pembenahan infrastruktur pascabanjir yang tambal sulam akan menjadi bulan-bulanan banjir lagi di kemudian hari.

Penerapan manajemen risiko penting untuk infrastruktur, permukiman, dan pertanian, baik untuk skala proyek besar, sedang, maupun kecil. Dengan demikian, ketika puncak musim hujan, daerah pantura memiliki ketahanan yang lebih baik. Manajemen risiko juga meliputi aspek pertanian yang dirusak banjir supaya petani bisa menggarap dan mendapatkan benih, pupuk, dan ongkos menggarap sawah kembali secara mudah, dan bila perlu, gratis.

Banjir sekarang ini saja mengakibatkan sedikitnya 800.000 hektar sawah produktif hancur. Dalam menghadapi banjir tahun ini DPRD Provinsi Jawa Barat telah terjun langsung dan mengkaji berbagai dampak dari bencana banjir di daerah pantura. Sebagai hilir daerah aliran sungai (DAS) Sungai Cimanuk dan Citarum, daerah pantura telah menerima beban limpahan banjir akibat rusaknya ekosistem di hulu. Untuk itu, penting adanya pembenahan dan rehabilitasi ekosistem DAS Cimanuk dan Citarum secara total dan konsisten.

Keandalan infrastruktur

Daerah langganan banjir di pantura membutuhkan infrastruktur yang memiliki tingkat keandalan untuk menghadapi banjir. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan, kriteria teknis, dan analisis terhadap banjir. Dampak kumulatif dan frekuensi terjadinya banjir yang diukur secara akurat dalam jangka waktu tertentu sangat berguna untuk menentukan spesifikasi pembangunan infrastruktur serta tahapan pertanian di daerah rawan banjir.

Kerusakan infrastruktur yang sangat parah menimpa jalan, bangunan, tanggul, dan pintu air di daerah pantura. Selain badan jalan, bahu jalan juga mengalami kerusakan. Terdapat banyak lokasi di mana bahu jalan jebol hingga menutupi drainase di sisi jalan. Kondisi drainase di jalan pantura yang sangat kecil tidak memadai untuk menampung air hujan.

Akibatnya, saat ini jalur pantura seperti "beternak" lubang. Untuk itu, diperlukan penerapan konstruksi jalan beton yang dilapisi aspal dengan bahan jalan yang dilengkapi dengan sistem drainase yang volumenya lebih besar untuk mendapatkan ketahanan infrastruktur terhadap terjangan banjir di kemudian hari.

Idealnya, pembangunan infrastruktur di daerah rawan banjir harus memiliki ketahanan konstruksi dan fungsi dalam jangka waktu panjang. Kebutuhan investasi infrastruktur yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian itu memerlukan sebuah proyek manajemen risiko guna mereduksi kerugian di masa datang. Semua perencanaan harus disertai dengan analisis ekonomi dan sosial yang menunjang kelayakan proyek secara obyektif.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa proyek-proyek pascabanjir yang telah lalu bernuansa tambal sulam dan asal jadi. Ke depan, seharusnya pemerintah menetapkan filter dan standar persetujuan proyek pembangunan infrastruktur penanggulangan banjir yang sangat ketat. Salah satu contoh pembuatan infrastruktur yang kurang memerhatikan kaidah manajemen risiko adalah pintu air.

Masih banyak pintu air yang hingga saat ini masih memakai cara-cara primitif dengan sistem tumpukan balok. Sistem pintu air yang sudah memakai sistem mekanik ternyata juga banyak yang sudah rusak akibat kurang andalnya desain dan perawatan yang kurang memadai.

Rehabilitasi mangrove

Banjir juga disebabkan oleh hancurnya ekosistem di daerah pantai atau hilir. Kerusakan dan kehilangan areal hutan mangrove atau hutan bakau-payau telah terjadi di sepanjang garis pantai utara Provinsi Jawa Barat. Usaha reboisasi kawasan pantai yang gundul selama ini belum menunjukkan kemajuan.

Akibatnya, gerusan abrasi dan terjangan gelombang pasang semakin besar. Karena kurang adanya langkah efektif dan terpadu untuk menjalankan program rehabilitasi, jutaan bibit mangrove dan pohon pantai lainnya tidak tertanam semestinya.

Jarak antara jalur jalan pantura dan garis pantai semakin dekat. Kerusakan hutan mangrove di pesisir pantai utara dari hari ke hari semakin parah. Secara umum bisa dikatakan bahwa luas hutan mangrove yang menjadi wewenang Perhutani telah beralih fungsi menjadi lahan tambak dan permukiman penduduk.

Langkah reboisasi masih banyak yang stagnan karena berbagai faktor, di antaranya faktor koordinasi dan pengawasan yang tumpang tindih, faktor komersialisasi yang berlebihan, serta faktor alokasi dana dari pemerintah seret. Akibatnya, jutaan benih mangrove dan tanaman pantai lainnya gagal disemai.

Banyak pihak belum paham bahwa hutan mangrove adalah suatu ekosistem yang kompleks tetapi labil karena merupakan pertemuan antara ekosistem lautan dan ekosistem daratan. Dalam konteks itu habitat mangrove berperan penting sebagai basis berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lain, serta merupakan habitat berbagai jenis burung, mamalia, dan reptil.

Selain itu, hutan mangrove juga merupakan produsen bahan organik yang sangat berguna untuk menunjang kelestarian biota akuatik. Pemerintah kurang berdaya menangani kehancuran hutan bakau. Begitu juga penanganan persoalan pantai terlihat tumpang tindih antareselon.

Keberadaan hutan mangrove juga dapat menjadi benteng hidup bagi gempuran ombak pasang, termasuk mampu meminimalkan efek bencana tsunami. Berdasarkan hasil penelitian ilmuwan dari Universitas Tohoku Jepang yang bekerja sama dengan ITB, pohon mangrove dapat meredam energi gelombang tsunami secara signifikan.

Selain manfaat pasti yang mencegah terjadinya abrasi dan erosi akibat gempuran ombak dan aliran sungai, hutan mangrove juga berfungsi sebagai filter biomekanis yang paling ampuh untuk mengurangi efek pencemaran lingkungan. Untuk itu, pemerintah daerah di Jawa Barat beserta masyarakat harus serius membuat proteksi pada wilayah pantai utara.

Di antaranya, dengan membuat jalur hijau sekurang-kurangnya 200 meter dari garis pantai berupa hutan mangrove dan tanaman pantai lainnya yang dapat berfungsi sebagai penahan gelombang, serta melestarikan keberadaan batu karang yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. Kemudian menetapkan zona permukiman berada di belakang jalur hijau tersebut.

Untuk program reboisasi hutan mangrove yang rusak, pemerintah dituntut segera mengeluarkan aturan teknis yang menyangkut fungsi lindung, fungsi pelestarian, dan fungsi produksi. Dengan reboisasi hutan mangrove yang tepat waktu, fungsi pengaturan tata air dapat diperbaiki, polusi dan intrusi air laut dapat dicegah, pantai dilindungi dari abrasi, dan kelestarian habitat biota laut bisa dipertahankan.

HARJOKO SANGGANAGARA Budayawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat



Post Date : 22 Maret 2007