|
ALASAN apa yang bisa meredam keterkejutan atas rencana pembelian incinerator (alat pembakar sampah) bernilai ratusan miliar rupiah oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta? Sementara organisasi pencinta lingkungan hidup, bahkan pemerintah di banyak negara, tengah sibuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan akibat pembakaran sampah. Padahal, ada cara lebih aman dan murah, terlebih lagi dapat dimanfaatkan hasilnya, misalnya pengolahan sampah menjadi pupuk kompos. Saat ini telah ada 50 perusahaan pengolah kompos tersebar di Jawa Barat yang menjadi daerah percontohan program West Java Environmental Management Project (WJEMP) dan didukung Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Tapi Pemprov DKI lebih memilih cara berbiaya mahal yang sebenarnya berdampak negatif. Salah satu dampak pembakaran sampah adalah dioksin, yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya seperti CDD (chlorinated dibenzo-p-dioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan), atau PCB (poly chlorinated biphenyl). Senyawa kimia yang berstruktur sangat stabil itu hanya dapat larut dalam lemak dan tidak dapat terurai, sampai kemudian dihirup oleh manusia maupun hewan melalui udara. Dioksin akan mengendap dalam tubuh, yang pada kadar tertentu dapat mengakibatkan kanker. Bandingkan dengan hasil olahan sampah menjadi kompos, yang bisa dimanfaatkan memperbaiki struktur tanah, untuk meningkatkan permeabilitas tanah, dan dapat mengurangi ketergantungan petani pada pemakaian pupuk mineral (anorganik) seperti urea. Selain mahal, urea juga dikhawatirkan menambah tingkat polusi tanah. Perusahaan pengolah sampah menjadi kompos padahal ada di Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Sampah Bantargebang, Kota Bekasi, yang 15 tahun digunakan DKI untuk menimbun sekitar 6.000 ton sampah setiap hari. Dengan produksi 50 ton per hari, PT Godang Tua Jaya Farming (GTJF) yang berlokasi di Desa Ciketing Udik, bahkan telah menempati urutan tertinggi jumlah produksi. Apalagi target KLH dengan WJEMP yang hanya 200 ton per hari dari 50 perusahaan. "Potensi pasar dalam negeri saja sekitar 10 juta ton per tahun, atau dua kali lipat kebutuhan urea yang sekitar lima juta ton per tahun. Sementara target KLH pun masih sangat kecil, permintaan pasar akan kompos masih jauh dari terpenuhi," kata Direktur PT Godang Tua Jaya Farming Douglas J Manurung, pekan lalu. Douglas mengatakan, produksi kompos masih sedikit dibanding potensi pasar. Namun, minat petani untuk menggunakan pupuk kompos masih sangat kecil, hingga daya serap pasar masih jadi kendala. Ditambah lagi sulitnya mendapatkan kredit modal dari bank, karena usaha pengolahan kompos belum dianggap punya nilai. Kompos Menguntungkan "Usaha pengolahan kompos lumayan menguntungkan. Modal sudah bisa kembali dalam waktu kurang dari lima tahun. Total ongkos produksi Rp 10 juta per hari untuk biaya peralatan dan upah 100 tenaga kerja. Sementara penghasilan dengan harga Rp 400 per kilogram bisa mencapai Rp 20 juta per hari," ujarnya. Bahan baku pembuatan kompos berasal dari sampah pasar yang didapat secara gratis melalui kerja sama antara GTJF dengan Dinas Kebersihan Pemprov DKI Jakarta. "Sekarang baru 300 ton sampah pasar yang kita olah. Tapi kita juga sedang mendatangkan alat baru, dengan kemampuan yang lebih besar. Sebab di Bantargebang sendiri tiap hari ada sekitar 1.500 ton sampah pasar," tuturnya. Mulai dari proses pemilahan hingga tahap akhir pengepakan pupuk kompos, dilakukan pada areal seluas hanya sekitar 80 X 60 meter. Douglas meyakini, GTJF masih bisa mengembangkan produksi jauh lebih tinggi dari sekarang. "Kalau ada tiga tempat pengolahan seperti ini, dengan perlengkapan yang memadai, sebenarnya 1.500 ton sampah per hari itu sudah bisa kita olah semuanya," ucapnya. "Kami akan membangun lansekap lahan pertanian, pembibitan, dan perikanan, untuk memperlihatkan manfaat penggunaan pupuk kompos itu. Sebab, pemerintah yang memulai program pengolahan kompos pun tidak pernah maksimal dalam pelaksanaannya, terutama dalam sosialisasi pemanfaatan kompos," ujar Direktur Utama GTJF Rekson Sitorus. Rekson mengkritik kebijakan Pemprov DKI yang berencana membeli perangkat incinerator senilai Rp 500 miliar. "Ada apa dibalik sikap emosional Gubernur Sutiyoso yang terus memaksakan lahan di Jonggol, padahal sudah mendapat tentangan dari warga sekitarnya. Mengapa potensi yang sudah ada di TPA Bantargebang justru ditinggalkan. Inikan aneh," ucapnya. "Bandingkan pengolahan sampah menjadi kompos dan menggunakan incinerator. Padahal bila pengusaha pengolahan sampah bisa mendapatkan kemudahan modal, serta dukungan yang positif dari pemerintah, bukan cuma masalah sampah yang bisa tertangani, tapi juga manfaatnya bagi para petani yang selama ini terbebani dengan harga pupuk, yang harganya terus meningkat," ujarnya. Douglas mengatakan, saat ini pemerintah memberikan subsidi harga pupuk urea sebesar Rp 1,3 triliun demi menekan harga pupuk Rp 1.050/kg di tingkat petani, yang kenyataannya para petani tetap hanya bisa membelinya dengan harga minimal Rp 1.800/kg. "Itu terjadi karena subsidi tersebut justru dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengambil keuntungan lebih banyak. Padahal kalau kita bisa mendapat subsidi Rp 400 per kilogram saja, kita malah tidak perlu lagi menjual, dibagikan gratis saja pada para petani," ucapnya. BERTHUS MANDEY Post Date : 10 November 2004 |