Jakarta, Kompas - Akibat buruknya manajemen air, masyarakat harus menanggung derita berupa kekeringan saat musim kemarau dan banjir saat musim penghujan. Padahal, masalah yang rutin terjadi ini, bisa diantisipasi dan dihindari dengan manajemen air yang baik.
”Pemerintah tahu persoalan ini dan tahu solusinya. Namun, tidak ada keberanian untuk memutuskannya dalam kebijakan,” tegas Guru Besar Teknik Sumber Daya Air, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Syahril Badri Kusuma, di Bandung, Sabtu (17/9).
Kekhawatiran kebijakan yang dibuatnya tak populer atau diprotes sebagian kalangan membuat kebijakan pengelolaan air tak pernah tuntas. Pembangunan infrastruktur pengelolaan air juga selalu terkendala keterbatasan dana meski nilai kerugian akibat bencana justru lebih besar. Masyarakat pun akhirnya ”bertarung” sendiri untuk berebut air, siapa yang ”kuat” dialah yang menang.
Kebijakan pengelolaan air yang ada pun sering kali tak lengkap atau menyeluruh. Akibatnya, aturan yang ada hanya menjadi ketentuan di atas kertas yang tak bisa dilaksanakan. Belum lagi, tak ada koordinasi dalam pelaksanaan pengelolaan air, khususnya dalam penataan tata ruang.
”Permasalahan pengelolaan air bukan hanya persoalan ketersediaan air, tetapi juga masalah akses dan harga air yang sangat tidak adil. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah kumuh dan di daerah kering harus membayar air jauh lebih mahal dibandingkan mereka yang tinggal di permukiman mewah,” kata Syahril Badri.
Warga daerah kumuh yang tidak terhubung dengan jaringan pipa perusahaan air minum harus membeli air dari pengecer yang harganya jauh lebih mahal. Adapun warga yang tinggal didaerah kering, saat kemarau tiba, harus berjalan kaki hingga puluhan kilometer hanya untuk mendapat beberapa liter air yang kualitas jauh dari layak.
”Undang-Undang Dasar 1945 menjamin semua warga negara berhak atas air,” tambah Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian, Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain. Karena itu, kebijakan tentang air seharusnya memperhatikan kebutuhan semua kelompok masyarakat, mulai dari yang ekonomi lemah hingga yang mampu.
Peta kekeringan
Deputi Bidang Sumber Daya Alam Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) Priyadi Kardono, mengatakan, untuk menghadapi kekeringan pada masa-masa mendatang, pihaknya akan membuat peta rawan kekeringan di Indonesia. Peta itu dapat dibuat dengan menggunakan citra satelit dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) atau Modis dengan skala 1 : 250.000.
Namun, citra ini belum detail. Untuk itu, perlu citra satelit skala 1 : 100.000 hingga 1 : 50.000. Dari data spasial digital yang ada, akan dapat diketahui indeks vegetasi dan tingkat kehijauan permukaan bumi.
Dalam penyusunan peta kekeringan, Bakosurtanal akan bekerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang memiliki citra penginderaan jauh tersebut. Selama ini, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan telah memantau hamparan padi untuk prediksi panen dengan menggunakan data satelit.
Deputi Teknologi Dirgantara Lapan Soewarto Hardhienata mengatakan, satelit mikro A3 akan menjalankan misi dari Institut Pertanian Bogor untuk memantau ketahanan pangan dan akan diluncurkan 2013.
Kepala Unit Pelaksana Teknik Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Samsul Bahri mengatakan, pihaknya selama ini juga telah membantu beberapa daerah untuk mengatasi kekeringan di lahan pertanian dan waduk. Namun, tahun ini belum ada permintaan untuk itu di Pulau Jawa. (MZW/YUN/NAW/ICH)
Post Date : 19 September 2011
|