|
Hampir setiap hari warga di wilayah Yogya mengonsumsi air yang tak layak minum. Banyak sumur tercemar, baik karena limbah rumah tangga maupun pabrik. Padahal, untuk berlangganan air PDAM tak semua warga mampu, apalagi membeli air mineral yang harganya terus melambung. Bagaimanapun, setiap orang berhak memperoleh air yang bersih, sehat dan layak konsumsi. Pemerintah mestinya ikut bertanggungjawab mewujudkan hak tersebut. SEJAK November 2005, Moch Jasin, warga kecamatan Gondokusuman, tak bisa lagi memanfaatkan air sumur untuk keperluan makan dan minum. Sebab, air sumur yang dulu jernih, warnanya berubah menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk--terutama pada musim hujan. Lantaran air sumurnya tidak layak konsumsi, maka untuk keperluan sehari-hari Jasin bersama dua keluarga yang lain terpaksa mengambil air dari tetangga. Sedangkan untuk mengatasi sumber pencemaran--diduga berasal dari limbah perusahaan di sebelah rumahnya--Jasin menjalin kerjasama dengan pihak terkait, termasuk Walhi dan BBTKL. Pembuatan sumur baru dan pengurasan yang diharapkan bisa menjadi solusi, ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Sebab berdasarkan hasil penelitian, selain mengandung bakteri coli tinja, kandungan nitrat dalam sumur tersebut cukup tinggi. Meski sudah diberi larutan kaporit, air sumur Jasin hanya bisa dipergunakan untuk mandi dan mencuci. Sedangkan untuk minum dan memasak harus mengambil air dari tetangga yang letaknya jauh dari pembuangan limbah pabrik. Perkembangan berikutnya, sejak 21 Maret 2006, untuk keperluan minum, keluarga Jasin harus membeli air mineral galon. Hal itu terpaksa dilakukan, karena berdasarkan hasil penelitian laboratorium, beberapa sumur di wilayah itu airnya sudah tidak layak untuk dikonsumsi. "Memang sampai saat ini kami belum mengalami gangguan kesehatan. Namun kami tetap merasa khawatir. Sebab berdasarkan informasi yang kami peroleh, dampak pencemaran itu tidak langsung tapi memerlukan waktu lama. Jadi untuk memperkecil risiko, kami lebih memilih untuk membeli air mineral," katanya. Menurutnya, meski berbagai upaya telah dilakukan, namun hasil yang diperoleh belum maksimal. Sebagai warga, mereka tidak berharap banyak. Sebab bagi mereka yang terpenting adalah air bisa layak dikonsumsi dan tidak membahayakan kesehatan. Untuk itu Jasin hanya bisa berharap agar pihak terkait lebih peduli terhadap berbagai persoalan lingkungan. Bau Tak Enak Hal serupa juga terjadi di Kotagede. Salah satu warga di wilayah Basen mengeluh, sejak seminggu terakhir, air sumur tidak bisa digunakan untuk kebutuhan masak dan minum. Diperkirakan penyebabnya adalah jarak antara sumur dengan septic tank milik tetangga terlalu dekat, yaitu kurang dari 10 meter sehingga menyebabkan perembesan yang berakibat air sumur berbau. Untuk memenuhi kebutuhan masak dan minum, keluarga tersebut menggunakan air mineral. Namun untuk mandi masih digunakan air yang diduga tercemar itu. Untuk membuktikan dugaan pencemaran, keluarga tersebut akan melakukan uji sampel air sumur ke laboratorium. Hanya saja, karena disarankan untuk membayar sebesar Rp 300 ribu, niat tersebut diurungkan. "Sampai saat ini air tersebut masih kami gunakan hanya untuk keperluan mandi. Untuk masak dan minum kami menggunakan air mineral karena air sumur tidak seperti dulu lagi, kini mengeluarkan bau tidak enak," kata warga tersebut yang enggan disebut namanya. Bedasarkan data aktif BBTKL-PPM tahun 2005, penyebaran tertinggi bakteri coli tinja di Kecamatan Kotagede terjadi di wilayah RT/RW 41,42/9, 34/7, 30/6 (Prenggan) dan RT/RW 13/4, 55/13 (Purbayan). Dari pantauan KR di wilayah RT 13 RW 4 Basen terdapat sebuah home industri yang dalam proses produksinya menggunakan bahan kimia. Warga sekitar mengeluhkan pencemaran bau akibat dari limbah bahan kimia tersebut. Tentu persoalannya tak hanya bau, tapi juga dampak lanjutannya. Bila warga terus menerus mengonsumsi air yang tercemar bahan kimia, lambat laun akan berpengaruh pada kesehatan. Padahal, untuk menetralisir air yang tercemar bahan kimia, tak cukup dilakukan dengan cara konvensional seperti merebus. Terhadap pencemaran air tanah di wilayahnya, warga terlihat masih 'cuek' karena memang tidak terjadi perubahan warna maupun rasa pada air sumur. Dan, sampai saat ini warga masih menggunakan air sumur untuk keperluan sehari-hari. Kaporit Tak Mempan Kondisi di kampung Bugisan, Wirobrajan, Yogya, tak kalah parahnya. Sugeng, warga kampung Bugisan, cuma bisa pasrah setelah yakin air sumur yang biasa dikonsumsi bersama keluarganya tak lagi sehat 100 persen. Keyakinan itu didasarkan atas hasil pemeriksaan Dinkes Kota Yogyakarta melalui Puskesmas setempat, awal tahun 2005 silam. Katanya, jumlah bakteri coli yang terdapat di sumurnya mencapai 4.000/100 ml. Bukan hanya itu, airnya juga sedikit berbau seperti karat besi dan warnanya tak sebening dulu. Lebih parah lagi, air itu menyisakan endapan di dalam pipa plastik yang biasa digunakan untuk mengalirkan air dari sumur. Endapan itu padat dan mengkristal, warnanya coklat kehitaman. Lebih gampang disebut kerak. "Pipa ini saya pakai sudah sekitar satu tahun. Dalamnya dulu bersih, sekarang seperti ini. Banyak keraknya," katanya sambil menunjukkan kerak dari dalam pipa. Paimo, salah satu tetangganya, juga memiliki sumur gali yang kondisi airnya tak sehat. Namun sudah beberapa waktu lamanya, sumur itu dinonaktifkan untuk kebutuhan makan dan minum. Sesuai anjuran Dinkes, semula sumur itu diberi kaporit untuk menetralkan, tapi ternyata tetap tidak mempan. Karena itu, Paimo terpaksa berlangganan air PDAM. "Untuk nyuci saja pakaian yang tadinya putih malah berubah jadi kuning. Bila untuk mandi lama-lama nggateli," ceritanya. Meski tak merasakan langsung akibat buruk mengkonsumsi air itu, Paimo cukup ngeri juga membayangkan air seperti itu masuk di tubuhnya dan warga lain. Sugeng maupun Paimo menduga, kondisi air yang demikian bisa jadi disebabkan rembesan air sungai Widuri yang berada sekitar 7 meter di sebelah barat sumurnya serta air di saluran irigasi di sebelah timur, meski agak jauh. Kondisi keduanya sudah sangat berbeda dibanding 20 tahun lalu. Selain bau, warnanya juga berubah-ubah. Kadang putih susu, kuning, bahkan hitam. "Padahal, ketika saya masih kanak-kanak, air sungai Widuri bisa digunakan apa saja. Sekarang ikan saja nggak bisa hidup di dalamnya," imbuh Sugeng. Zat Pencemar Dalam berbagai pertemuan dengan pemerintah setempat, menurut Sugeng, warga sudah sering melontarkan masalah air sumur di tempatnya. Baik di kantor kecamatan maupun saat acara 17-an. Tapi warga tidak mendapatkan yang diinginkan. Sampai kini kondisi air sungai dan air sumur warga masih tetap saja tercemar. Anjuran pihak Puskesmas untuk merendamkan kaporit ke dalam air sumur akhirnya dihentikan beberapa warga. Alasannya, cara itu belum bisa menyelesaikan masalah. Karena bukan sekadar kandungan bakteri dalam air yang harus diatasi, tapi juga zat pencemar lain yang lebih berbahaya. Yang bisa dilakukan oleh warga seperti Sugeng adalah, hanya sebatas merebus air cukup lama dan mendiamkannya sekitar 10 menit sebelum dikonsumsi. "Mau bikin sumur suntik, biayanya mahal. Langganan PAM juga mahal. Terlebih, keluar airnya nggak deras. Lalu mau apa lagi," ujar Sugeng pasrah. Ketua RW 05 Bugisan, Hj Mursih Darsono tidak menyangkal bahwa sebagian besar air sumur di wilayahnya tercemar. Terutama sumur milik warga bagian barat dan tengah, karena berdekatan dengan sungai Widuri dan saluran irigasi. "Salah satu milik warga, warna airnya sampai kekuning-kuningan," katanya. Yang bisa dilakukan pihaknya adalah mengimbau kepada warga untuk tidak membuang limbah rumah tangga ke sungai atau saluran irigasi agar tingkat pencemaran air sungai Widuri dapat dihambat. Selain itu, melaksanakan anjuran Dinkes untuk merebus air selama mungkin. Juga membuat peresapan limbah agak jauh dengan sumur yang letaknya di bawah aliran air tanah. "Tapi sulit juga, karena pemukiman penduduk kian padat," katanya. Dari pengamatan KR di Sungai Widuri maupun saluran irigasi, air terlihat sangat keruh dan bau. Di sekitar lokasi memang terdapat beberapa industri rumah tangga, seperti industri tempe, tahu, bakmi dan sebagainya, yang setiap saat membuang limbahnya di sungai maupun saluran irigasi. Kondisi ini diperparah dengan masih banyaknya warga yang membuang limbah rumah tangga di dua lokasi tersebut. Tak Sesuai Standar Dari segi bakteriologis dan fisik bisa dikatakan air tanah cenderung lebih bersih sehingga dengan merebus air tanah sudah cukup aman untuk dikonsumsi setiap hari. Tapi patut diwaspadai, unsur-unsur kimia dalam air tanah yang tidak bisa dilihat secara visual, keberadaannya bisa membahayakan kesehatan. Saat ini dengan kepadatan penduduk Kota Yogya yang tinggi menyebabkan jarak antara sumur dengan tempat pembuangan limbah rumah tangga tidak sesuai standar kelayakan. Akibatnya, limbah domestik seringkali kembali lagi ke sumur karena jarak yang terlalu dekat. Ditambah lagi kondisi tanah di Yogya termasuk jenis porus atau pasir, sehingga memudahkan limbah meresap ke dalam sumur. Ir Widjajanti dari Bidang Analisis Dampak Lingkungan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL-PPM) mengemukakan, akibat dari kondisi tersebut ada beberapa kecamatan di Yogya yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi menyebabkan kandungan nitrat dalam air sumur di atas ambang batas. Berdasarkan data pasif dari masyarakat yang masuk ke BBTKL-PPM tahun 2005 diketahui ada tiga kecamatan di Kota Yogya yang jumlah contoh ujinya banyak yang mengandung nitrat tinggi (di atas persyaratan maksimal air minum). Ketiga kecamatan tersebut adalah Gondokusuman (23 contoh uji), Kotagede (20 contoh uji) dan Danurejan (18 contoh uji). Kemungkinan sumber nitrat dalam air tanah di tiga kecamatan tersebut berasal dari limbah rumah tangga, karena kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Khusus di Kotagede dan Gondokusuman tidak dilalui riol kota, sehingga banyak penduduknya yang membuang limbah rumah tangga dengan cara diresapkan ke dalam air tanah. Sedangkan untuk kecamatan Danurejan, meskipun sudah dilalui riol kota tapi cukup banyak juga air tanahnya yang mengandung nitrat. "Sebenarnya uji sampel juga pernah dilakukan tahun 2004 yang kemudian diulang pada tahun 2005 dan ternyata hasilnya kembali terulang. Tiga kecamatan tersebut kadar nitratnya memang tinggi. Air tanah yang mengandung nitrat tak hanya di kota saja tapi di pedesaan pun banyak. Kalau di desa lebih diakibatkan oleh penggunaan pupuk kimia. Sedang di kota lebih karena limbah rumah tangga," jelasnya. Coli Tinja Karena kecenderungan hasil yang sama pada tahun 2004, maka tahun 2005 diadakan pengujian sampel serupa. Dari data pasif yang masuk ke BBTKL-PPM kemudian diteruskan dengan membentuk tim untuk melakukan survei bersama Dinkes, Puskesmas dan aparat kelurahan dan kecamatan setempat. Setelah dilakukan wawancara dengan warga kemudian diambil sampel air tanahnya untuk diuji di laboratorium BBTKL-PPM. Sebagai kota tua, kecamatan Kotagede, lanjut Widjajanti, selain kadar nitrat yang tinggi ditemukan pula air tanah yang tercemar coli tinja. Hal ini disebabkan sebagian besar konstruksi sumur banyak yang rusak sehingga banyak limbah domestik yang masuk ke sumur apalagi jarak sumur dengan septic tank sangat dekat. Rekahan-rekahan ubin di sekitar sumur mengakibatkan limbah mudah masuk ke sumur. Selain itu, kedalaman sumur sangat dangkal hanya berkisar 3-10 meter ditambah tanah penyaring yang pendek, sehingga memudahkan bakteri untuk berkembang biak. "Untuk konsumsi air tanah yang tercemar coli tinja cukup dididihkan dengan sempurna coli tinja akan mati, yakni benar-benar mendidih dan ditunggu beberapa saat baru dimatikan apinya. Tapi kadang kebiasaan masyarakat dalam merebus air baru mendidih langsung diangkat padahal bakteri belum sepenuhnya mati," kata Widjajanti. Air tanah yang mengandung nitrat memang tidak terlihat, secara fisik hanya bisa dibuktikan dengan penelitian laboratorium. Begitu pula dengan dampaknya bagi kesehatan, jika terus menerus diminum setiap hari dalam jangka pendek juga tidak bisa secara langsung dirasakan. Nitrat yang tertelan akan direduksi menjadi nitrit oleh bakteri usus. Biasanya orang dewasa mengabsorbsi semua nitrat sebelum terjadi reduksi. Tetapi pada anak-anak keracunan nitrit bisa terjadi akibat menelan nitrat atau air sumur yang mengandung nitrat. Kematian dapat terjadi bila menelan 2-4 gram nitrat. Berisiko Keracunan Dijelaskan, pada bayi yang berusia kurang dari 4 bulan berisiko keracunan nitrat karena pH saluran pencernaan yang tinggi, sehingga konversi nitrat menjadi nitrit lebih kuat. Untuk kebutuhan minum pada bayi usia di bawah 4 bulan disarankan menggunakan sumber mata air yang lain atau dengan memberikan ASI. Sedangkan untuk makanan bayi sebaiknya digunakan sayuran dengan kadar nitrat rendah. Namun untuk keperluan mandi, asal tidak tertelan secara langsung, air tanah yang tercemar nitrat tetap bisa digunakan. Untuk mengurangi risiko tercemarnya nitrat terhadap lingkungan salah satunya dengan melindungi air tanah. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menempatkan lokasi resapan tanki septic sebaiknya berjarak kurang lebih 10 meter dari sumur. Merawat dan memperhatikan kualitas bangunan dari tanki septic agar tidak terjadi kebocoran sehingga mencemari air tanah. Sebaiknya tidak membuang atau membersihkan tempat bahan-bahan kimia dekat sumur. Konstruksi sumur juga perlu diperhatikan, seperti dinding sumur sebaiknya kedap air minimal 3 meter dari permukaan tanah dan sekelilingnya dibuat lantai kedap air. Untuk sumur yang sudah tidak digunakan sebaiknya ditutup. Ipal Komunal Berkaitan dengan tingginya kandungan nitrat di beberapa kecamatan di Kota Yogya, upaya yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogya adalah dengan pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (Ipal) komunal. Menurut Kabid Pengelolaan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogya, Dra Ika Rostika, permohonan pembuatan Ipal komunal dari masyarakat sudah banyak. Ada sebagian yang terealisasi tahun 2006 dan sisanya akan diupayakan tahun 2007 termasuk di Kotagede. Hanya saja pembuatan Ipal komunal perlu dipikirkan secara matang untuk perawatan selanjutnya. Ada dua kecamatan di kota yang tidak dilalui riol kota yaitu Kotagede dan Wirobrajan. Tapi belum tentu juga semua kelurahan terjangkau riol kota, karena saluran tersebut memang sudah sejak zaman Belanda," katanya. Sementara untuk pemanfaatan bersama pembuatan Ipal komunal menelan biaya yang tidak sedikit juga perawatan dari masyarakat itu sendiri. Nantinya, pihaknya akan memprioritaskan daerah mana yang mendesak untuk dibuatkan Ipal komunal. Selain limbah rumah tangga, ditambahkan Kasi Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) DLH Kota Yogya, Eny Dwiniarsih ST, pencemaran air tanah karena nitrat juga disebabkan penimbunan sampah. Untuk solusinya memang sangat tepat jika dilakukan treatment dengan pembuatan Ipal komunal yang dapat menampung limbah domestik 40-70 KK. Secara alami, kadar nitrat dalam air tanah juga bisa berkurang jika terjadi pengenceran lewat air hujan. "Dapat dilihat di beberapa sumur warga di Gondokusuman yang kadar nitratnya tinggi jika musim hujan akan berkurang karena mengalami pengenceran," terang Eny Dwiniarsih ST. q -e Post Date : 17 April 2006 |