|
Kisah air di Salatiga berujung pada cerita perebutan kepemilikan. Jika dulu jadi milik publik seutuhnya, kini sebagian besar sumber air di situ dikelola negara lewat perusahaan air minum daerah. Ketika akses warga makin terbatas dan debit air menyusut akibat minimnya konservasi, konflik pun bermunculan. Siapa jadi korban? Orang-orang tua di Salatiga masih senang mengenang, bagaimana dulu semua sumber air di kota di kaki Gunung Merbabu itu milik warga. Semua orang leluasa memanfaatkan air dari mata air atau belik yang tertampung dalam sendang (kolam) yang besar-besar. ”Zaman itu semua orang bebas datang dan pergi mengambil air yang seakan tak habis-habisnya,” kata Bagong (43), warga Kelurahan Sidorejo Lor, Salatiga, menuturkan kisah yang diceritakan ayah dan kakeknya dulu. Ratusan belik itu juga memencarkan air yang mengalir ke sungai-sungai, lalu masuk ke permukiman, kebun, atau sawah. Masyarakat leluasa menggunakannya untuk berbagai kebutuhan: minum, mandi, cuci, sampai pertanian. Situasi mulai bergeser sejak pemerintah Belanda membangun perusahaan air minum di sebagian dari tujuh sumber air utama di Senjoyo, Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, tahun 1921. Meski begitu, nyaris tak tercatat konflik kepemilikan yang berarti. Soalnya, di luar sumber yang dikuasai pemerintah kolonial, air masih melimpah ruah, dan penduduk yang sedikit tetap dibiarkan mengakses air. Setelah Indonesia merdeka, perusahaan air diambil alih pemerintahan RI. Tahun 1968, pengelolaan air minum ditangani Dinas Air Minum. Setahun kemudian, dinas itu menjelma jadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Bersamaan dengan jumlah penduduk yang meningkat, PDAM melebarkan sayap. Selain di Senjoyo, kini PDAM juga menyedot air dari Kaligojek, Kalisombo, Kalitaman, dan Kaligetek. Ditambah dengan sumur air galian bawah tanah di Sukowati, total kapasitas air yang dihasilkan mencapai 271,5 liter per detik. ”Pelanggan tahun 2008 mencapai 21.908 sambungan yang melayani 58,83 persen dari total 176.795 jiwa penduduk,” kata Direktur PDAM Salatiga Darminta. PDAM hanyalah salah satu penyedot air secara besar. Dalam jumlah berbeda, pabrik, hotel, kompleks perumahan, atau perusahaan air minum swasta juga turut mengisap kekayaan alam itu. Agus Aha, warga Salatiga, memberikan kesaksian saat membaca puisi Senjoyo Kini Bukan Dulu Lagi di depan khalayak Festival Mata Air di Kalimangkak, Jumat (24/10) malam. ”Kini dengan mobil tangki berkali-kali, banyak orang main sedot tanpa repot-repot. Dijual tanpa beli!” paparnya dengan lantang. Main sedot tanpa mau repot. Ya, agaknya jalan pintas itu yang kini ramai-ramai dilakoni banyak pihak yang mengeksploitasi sumber daya air di Salatiga. Eksploitasi Menurut Dekan Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Ferry F Karwur, eksploitasi yang tak disertai konservasi lingkungan di hulu dan hilir hanya akan merusak kekayaan dan ekosistem alam. Semua itu kini sudah terjadi. Di hulu, kawasan tangkapan air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu Tuntang yang mencakup wilayah Salatiga dan Semarang semakin gundul. Di kawasan kota Salatiga sendiri, lahan terbuka hijau tinggal sekelumit akibat diterjang pembangunan perumahan, pertokoan, pabrik, dan perkantoran yang gencar. Memang, pembangunan itu digenjot untuk melayani pertambahan penduduk Salatiga yang drastis. Tahun 1905, total penduduk sekitar 12.000 jiwa, lalu melejit jadi 55.000 jiwa tahun 1930. Tahun 2008 ini, jumlah penduduknya lebih dari 170.000 jiwa. Tanpa aturan tegas, pembangunan yang menggerogoti lahan terbuka hijau hanya menabung masalah. ”Lahan itu penting untuk menyediakan ruang penyerapan (infiltrasi) air dalam tanah. Tanpa infiltrasi, air sungai dan hujan hanya melintas cepat (run off), tanpa disimpan dalam tanah. Mata air kehilangan pasokan,” katanya. Gejala itu kini sudah terasa dengan penyusutan debit air di sumber-sumber air. Ambil contoh di bak penangkap di Senjoyo. Ketinggian air di sana yang semula mencapai 150 sentimeter, kini tinggal 80-90 sentimeter. Debit Kali Gojek yang 25 liter per detik, saat ini hanya 15-20 liter per detik. Kali Getek semula 25 liter per detik, saat ini tinggal 20 liter per detik. Sabar Suparno (60), warga Kalitaman, menuturkan, mata air di Kaligetek dulu membentuk sendang besar sampai-sampai orang bisa mengayuh perahu (getek) di atasnya. Hingga tahun 1970-an, sendang itu masih ada. ”Tetapi, setelah PDAM menyedot air di sekitar sini tahun 1980-an, sendang itu menciut jadi kolam kecil-kecil,” katanya. Tak hanya penyusutan, sejumlah belik di Salatiga benar-benar mengering. Salah satunya, belik keramat di Kaliputri yang berhenti mengeluarkan air sejak setahun lalu. Padahal, belik itu dulu jadi andalan warga sekitar. Konflik Penyusutan debit itu akhirnya menyulut konflik di tengah masyarakat. Saat PDAM Kota Salatiga berniat menyedot air dari Kaliputri awal tahun 1990-an, misalnya, warga ramai-ramai menolak. Mereka khawatir, sumber air di situ akan menyusut sebagaimana menimpa sumber di Kalitaman dan Kaligetek, berlokasi tak lebih dari 100 meter dari Kaliputri, yang sudah terlebih dahulu disedot airnya. Warga menjebol fondasi rumah pompa yang disiapkan PDAM. ”Seandainya petugas tidak melarikan diri, mereka bisa-bisa diamuk warga,” kata Slamet (58), Ketua RT 3 RW 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, yang ikut dalam perlawanan itu. Di Senjoyo, air yang tidak mencukupi lagi saat kemarau membuat hubungan antarpetani memanas tiga tahun terakhir. Awal Agustus lalu, puluhan petani di Tingkir Lor dan Kalibening datang dengan bawa godam dan linggis. Mereka berusaha membongkar dua pintu air yang membagi aliran Bendung Senjoyo. Pintu air itu berfungsi mengatur aliran air dari Bendung Senjoyo ke arah timur, yaitu ke Tingkir Tengah (Salatiga) dan sejumlah kelurahan di Kecamatan Suruh (Kabupaten Semarang), serta arah utara menuju Tingkir Lor dan Kalibening. Tindakan ini dihalangi ratusan petani lain yang lahannya berada di aliran air dari pintu air lain. Untunglah, konflik lebih tajam dapat dicegah dengan mengatur kembali pembagian air. Namun, bagaimana kalau nanti debitnya kian sedikit sehingga pembagian air makin sulit? Ilham Khoiri & Antony Lee Post Date : 02 November 2008 |