Mahasiswa Enggan Kelola Sampah

Sumber:Pikiran Rakyat - 14 November 2007
Kategori:Sampah Luar Jakarta
BANDUNG, (PR).-Berdasarkan studi Environmental Services Programme United State AID (ESP-USAID) di kawasan Kel. Tamansari Kec. Bandung Wetan, mahasiswa paling sulit diajak kerja sama untuk melakukan pengelolaan sampah secara communal. Bahkan, mahasiswa yang mendiami 65% rumah di RW 20 Kel. Tamansari enggan berpartisipasi, kata penanggung jawab ESP-USAID Kota Bandung Selviana Hehanusa, pada diskusi tentang sampah di aula Gedung Pramuka Kwartir Cabang Kota Bandung, Jln. L.L.R.E. Martadinata, Selasa (13/11).

Menurut Selviana, mahasiswa tidak peduli akan kebersihan lingkungan sekitarnya karena merasa sebagai pendatang. Padahal, pemasok sampah terbesar di kawasan tersebut adalah mahasiswa, ujarnya.

Terus bertambah

Menurut pakar Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri, produksi sampah sebagai sisa aktivitas manusia terus bertambah diperkirakan mencapai 2,5 liter/hari. Untuk itu, diperlukan kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah sendiri, yaitu diawali dengan memilah sampah di taraf rumah tangga.

Pemerintah mendorong masyarakat melakukan composting (desentralisasi), di sisi lain Pemkot Bandung justru menetapkan pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa/sentralisasi).

Ketua DPRD Kota Bandung Husni Muttaqien menilai, Pemkot Bandung seolah tidak memberi porsi pada kegiatan pengelolaan sampah secara riil. Selama belum ada PLTSa, masyarakat harus diberi ruang memberdayakan diri untuk mengurangi persoalan sampah, ujarnya.

Ia mengutip penelitian Endah Djuwendah dari Fakultas Pertanian Unpad, usaha daur ulang dan pengomposan dapat menurunkan volume sampah yang harus dikelola 41,65% atau 3062,64 m3/hari, sehingga menghemat biaya pengelolaan sampah Rp 15.177.556/hari.

Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A) Dine Andriani mengatakan, pengelolaan sampah berbasis masyarakat diperkirakan dapat mengurangi jumlah produksi sampah sampai 80%. Dengan berkurangnya jumlah sampah yang diangkut, otomatis memengaruhi pendapatan asli daerah (PAD) dari pungutan sampah. Namun, pemerintah harusnya tidak berpikir secara ekonomi saja, tapi juga memerhatikan keuntungan sosial yang didapat dengan pengembangan pengelolaan sampah berbasis masyarakat, katanya. (A-158)



Post Date : 14 November 2007