Yoseph Pedro (53) tersenyum saat tahu desanya akan mendapatkan bantuan mobil tangki air. Desa Kukowahor, yang menjadi tempat tinggal Yoseph bersama 26 keluarga lain merupakan satu dari sembilan desa di Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang memang kesulitan mendapatkan air.
"Tidak hanya air bersih, mencari air kotor pun sulit," kata Yoseph, di Sikka, baru-baru ini, soal kesulitan air di daerahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, setiap rumah di sana menampung air hujan. Tempat menampungnya sendiri ada yang diberi oleh pemerintah, ada juga yang dibuat bersama-sama. Namun, kegiatan menampung air itu hanya bisa dilakukan saat musim hujan.
Kalau musim kemarau tiba, masyarakat di sana harus membayar antara Rp 80.000 hingga Rp 100.000 untuk satu tangki air berkapasitas 5.000 liter. Yoseph mengatakan air sebanyak itu bisa cukup hingga dua minggu untuk satu keluarga.
Air yang dijual itu berasal dari sumur bor bantuan Jepang di Kampung Kanat. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari Kangae. Sumur itu kini dikelola oleh pihak swasta. Sebelumnya, warga bisa membeli air dengan harga lebih murah atau sekitar Rp 50.000 untuk satu tangki dengan adanya mobil tangki dari pemerintah daerah. Tapi, sejak empat tahun lalu, mobil itu rusak. "Mobil itu sering rusak, setahun bisa sampai tiga kali."
Memang tidak murah untuk mendapatkan air itu. Yoseph yang didaulat menjadi ketua RT di sana sejak 20 tahun lalu itu, memaparkan pendapatan warganya rata-rata hanya mencapai Rp 200.000 per bulan. "Kebanyakan usaha dari jual hasil kebun seperti asam, kacang tanah, dan jambu mete," katanya.
Untuk menambah penghasilan keluarga, biasanya perempuan di sana menenun kain. Setiap lembar kain sepanjang 2,5 meter bisa dibuat dalam waktu satu bulan. Harga jualnya, minimal Rp 200.000. "Modalnya saja bisa Rp 150.000," kata Maria Rabia (51), salah seorang warga di sana.
Selain menampung air hujan dan membeli, Maria (45) mengaku keluarganya biasa mencari air dari pohon pisang. Caranya, dengan memotong batangnya lalu menoreh bagian tengah pohon pisang yang masih menancap ke tanah.
"Nanti di bagian yang kita lubangi itu akan ada airnya. Dipotongnya waktu sore, diambil airnya saat pagi hari. Tapi sekarang sudah jarang yang mengambil air seperti itu," terang perempuan yang sehari-hari menjadi guru IPA dan Biologi di SMPN 1 Kewapante ini.
Yoseph berharap dengan bantuan dua mobil tangki air berkapasitas 5.000 liter dari Pertamina, warga di sana bisa mendapatkan keringanan untuk memperoleh air. "Biaya operasional pengangkutan air dan perawatan mobil dilakukan oleh Pertamina. Warga tetap membayar untuk mengambil air ke sumur bor," kata Manajer Corporate Social Responsibility Pertamina Rudy Sastiawan.
Menurutnya, mobil tangki berisi air bersih akan datang ke warga yang memesannya. Setiap pemesanan akan dikenakan biaya Rp 50.000 atau sama dengan yang selama ini warga bayarkan ketika menggunakan mobil tangki air dari pemerintah. "Kita memang tidak memberikan ikan, melainkan kailnya saja," katanya. [SP/Adi Marsiela]
Post Date : 14 April 2009
|