|
JAKARTA- Sejumlah wilayah bencana tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tercemar logam berat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan kondisi tanah dan air tanah pada 93 titik sampel di lima kabupaten yang terkena musibah tsunami memiliki kandungan logam berat di atas ambang batas. Hal ini mengancam kesehatan warga yang tinggal di sana. Salah satu anggota tim peneliti Walhi Mya Sylvia Damayanti menyebutkan wilayah survei yang meliputi Banda Aceh, Aceh Besar,dan Aceh Barat (Meulaboh), menunjukkan konsentrasi kandungan logam berat yang bervariasi. "Tetapi yang perlu dicermati adalah adanya unsur kadmium (Cd) pada air sumur untuk air minum di semua lokasi penelitian berada di atas ambang batas," ujarnya saat memaparkan hasil penelitian Walhi di Jakarta, Rabu (23/11). Dikatakan, kandungan logam berat ini mengancam kesehatan warga yang mengonsumsi air sumur, walaupun efek kontaminasi akan memerlukan waktu yang cukup lama. Namun pemerintah wajib mengantisipasi bahaya kontaminasi bagi warga setempat. Penelitian yang dilakukan pascabencana tsunami ini menganalisis kandungan logam berat, seperti Kadmium (Cd), Merkuri (Hg), Kobalt (Co), Kromium (Cr), Tembaga (Cu), Besi (Fe), Mangan, Nikel (Ni), Timah hitam (Pb), Seng (Zn), Boron (B), dan Arsen (As), pada air tanah dan tanaman. Dari penelitian itu terlihat kandungan Khromium (Cr) dan Nikel (Ni) pada tanaman berada pada tingkat yang dapat meracuni, selain itu kandungan besi (Fe) juga diduga sudah pada tahap toksik, khususnya pada tanaman padi. Sedangkan pada air tanah terdapat kandungan Kadmium (Cd) yang tinggi. Umumnya logam berat itu bersifat sulit berpindah tempat (immobile), namun kondisi tanah cukup kondusif untuk mencuci (leaching) logam berat karena adanya daya pegang tanah yang relatif rendah. Hal ini disebabkan kadar lempung (clay) dan kapasitas pertukaran kation (KPK) yang relatif rendah, ditambah curah hujan yang relatif tinggi. Untuk mengurangi dampak toksik ini dapat dilakukan dengan penanaman tanaman yang dapat menetralisasinya, seperti nilam, rami, dan murbei. Sedangkan untuk tanaman air bisa digunakan Salvinia. Penanaman dapat dilakukan dengan sistem tumpang- gilir, mengingat suatu tanaman biasanya hanya menyerap logam berat tertentu saja. Sementara untuk lokasi-lokasi yang masih mengandung kadar garam tinggi dapat dikurangi dengan penggelontoran atau pencucian kandungan garam dengan air irigasi atau secara alami dengan curah hujan. Namun untuk beberapa daerah, seperti Aceh Barat perlu pemberian kapur pertanian (dolomit) karena wilayah ini mempunyai nilai keasaman (pH) relatif rendah. Untuk lokasi ini dapat ditanami kelapa, melinjo, kedelai, semangka, mentimun, tomat, jahe, kunyit, tebu, kapulaga, dan kencur. Namun menurut Mya, penelitian ini masih bersifat mitigasi dan masih dalam skala tinjau, sehingga untuk mengetahui gambaran yang lebih jelas, diperlukan dengan skala yang lebih detail. Sementara itu , Direktur Eksekutif Walhi Nasional Chalid Muhammad mengatakan pemerintah harus membuktikan komitmen pembangunan pascabencana yang sesuai dengan agenda lingkungan. "Seharusnya dalam penataan dan pemanfaatan ruang, kebijakan, penegakan hukum, serta arah pembangunan di NAD, diintegrasikan dengan perspektif lingkungan dan pengelolaan bencana," ujarnya. Selama ini, menurutnya, pemerintah tidak memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat tentang kondisi lingkungan tempat tinggal, sehingga mereka tidak mengetahui jika kehidupannya terancam. (K-11) Post Date : 24 November 2005 |