|
Jakarta, Kompas - Kiprah swasta yang kemungkinan akan mendominasi pengelolaan air bersih pascapengesahan Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA), perlu disikapi kritis. Karena itu, yang terutama harus dipikirkan adalah pembentukan perangkat untuk melindungi rakyat miskin agar tetap memperoleh air bersih. Kalau sampai hak ini terabaikan, berarti pemerintah melanggar Millenium Development Goals (MDG) yang sudah disepakati bersama. Namun, Duta Besar Khusus untuk kampanye Millenium Development Goals (MDG) PBB di kawasan Asia Pasifik, Erna Witoelar, mengatakan bahwa kekhawatiran ini bisa dijawab dengan pemantauan serius terhadap semua perusahaan pengelola air bersih. "Meskipun dikelola swasta, kalau ada perangkat yang mengawasi ketat pelaksanaannya maka tidak akan ada masalah," katanya saat dihubungi Kompas, Jumat (26/3) malam. Salah satu tujuan MDG adalah mengurangi hingga setengah populasi rakyat miskin yang hingga kini kesulitan mengakses air bersih. Tahun 2004, diperkirakan sekitar dua miliar penduduk dunia tidak bisa mengakses air bersih. Mantan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah kabinet Abdurrahman Wahid itu mengaku tidak khawatir, bahwa pemberlakuan UU SDA akan menutup akses rakyat miskin terhadap air bersih. Utamakan pemerataan Karena itu, pengaturan penggunaan air bersih untuk semua kepentingan-termasuk hotel, instansi, dan toko-harus tetap mengutamakan pemerataan agar terakses rakyat miskin. Kuncinya, penerapan subsidi silang antara pelanggan kelas menengah ke atas dengan kalangan miskin (dengan pembedaan tarif). Cara lain, pengendalian harga secara ketat. "Perusahaan tidak boleh semena-mena menetapkan tarif," lanjut Erna. Rambu-rambu yang mungkin diterapkan di antaranya kewajiban perusahaan pengelola air melibatkan pelanggan sebelum menetapkan tarif, menerapkan sistem subsidi silang, dan membentuk lembaga pelanggan dengan anggota stakeholders. Di pihak lain, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) meminta pemerintah menunda pembuatan peraturan pemerintah (PP) dan pembentukan Dewan Sumber Daya Air. Selain bisa melanggar kesepakatan MDG, mereka yakin bahwa swastanisasi air tidak akan membawa kebaikan bagi masyarakat miskin dan justru semakin menjauhkan rakyat miskin dari akses air bersih. Kruha mencontohkan swastanisasi air di Jakarta, yang dinilai tidak membawa perubahan ke arah perbaikan kualitas air dan mutu pelayanan. Fakta lain, kata salah satu staf Kruha Blonthank Poer, pemerintah sering berpihak ke lembaga profit. "Masyarakat akan selalu kalah," kata dia. Maka solusi yang diajukan adalah program pemulihan perusahaan daerah air minum (PDAM) di seluruh Indonesia. Swasta diberi peran sebatas sebagai konsultan proyek. Bila dikelola pemerintah, tarif akan lebih terjangkau rakyat karena tidak harus mengejar profit sampai habis-habisan. (GSA) Post Date : 27 Maret 2004 |