LEBIH dari 77% gangguan pengolahan air bersih di DKI disebabkan kualitas air baku. "Kami mungkin tidak cuma mengolah air baku menjadi air bersih.
Terkadang, kami juga harus mengolah dari air limbah," kata Corporate Communication Manager PT Aetra Air Jakarta Margie F Tumbelaka saat ditemui beberapa waktu lalu.
Sumber air utama DKI dan Bekasi berasal dari Waduk Jatiluhur yang disalurkan melalui Kanal Tarum Barat (KTB), atau yang lebih dikenal sebagai Kali Malang.
Adapun Waduk Jatiluhur merupakan bagian dari aliran Sungai Citarum yang bersumber dari Gunung Wayang di Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung.
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLHD) Provinsi Jawa Barat pada akhir Mei lalu menyatakan pencemaran organik yang terjadi di hulu Sungai Citarum sudah pada tingkat bahaya atau zona D.
"Setiap tahun jumlah limbah domestik yang dihasilkan manusia menjadi penyumbang pertama terhadap pencemaran organik di hulu Citarum," kata Kepala Bidang Konservasi dan Mitigasi BPLHD Jabar Dewi Nurhayati.
Setelah melintasi hulu, Sungai Citarum mengalir melalui daerah Majalaya yang banyak industri tekstilnya.
Selanjutnya sungai ini mengalir ke bagian tengah Provinsi Jawa Barat dari selatan ke arah utara dan akhirnya bermuara di Laut Jawa di daerah Muara Gembong dengan melewati Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Karawang.
Kanal Tarum Barat mengambil air dari aliran Citarum saat melintasi Pintu Air Curug, Karawang.
Karena hulu Kali Malang lebih tinggi daripada Sungai Citarum, maka disiapkan pompa yang bekerja dengan tenaga air. Pompa inilah yang menjadi penyebab krisis air di DKI pada awal Mei lalu saat baling-balingnya rusak akibat tersangkut lumpur dan sampah.
Walau air berwarna cokelat dan membawa busa putih di atasnya sebelum masuk ke Kali Malang, tim peneliti kualitas air dari PT Aetra Air Jakarta, yang mendampingi Media Indonesia saat menyusuri jalur air baku dari Waduk Jatiluhur, menilai angka kekeruhan air dan kandungan limbah masih dalam tahap normal.
Air semakin keruh ketika KTB bertemu dengan sodetan Sungai Cibeet di Karawang. Adapun Sungai Cibeet yang besarnya memotong aliran KTB. Agar tidak tercampur, KTB dialirkan melalui terowongan air (sifon) yang melewati bagian bawah Sungai Cibeet.
“Sifon itu dibangun agar aliran Kali Malang tidak tercemar limbah yang dibawa Sungai Cibeet,” kata Irsan, salah seorang anggota tim peneliti.
Pencemaran terparah terlihat ketika KTB bercampur dengan Sungai Cikarang dan Bekasi. Pada kedua aliran sungai itu terdapat puluhan pabrik yang diduga membuang limbah ke sungai. Pada saat bertemu dengan aliran Sungai Bekasi, air KTB terlihat menghitam.
“Pemerintah sudah lama punya rencana membuat sifon agar air Kanal Tarum Barat tidak bercampur dengan air dari Sungai Bekasi. Tapi sampai sekarang belum terealisasi. Padahal kalau itu terwujud, biaya pengolahan air akan lebih murah,” kata Direktur Utama PT Aetra Air Jakarta Syahril Japarin.
Manajer Senior Proyek Grup PT Aetra Lintong Hutasoit mengakui bahwa sumber pasokan air baku dari Waduk Jatiluhur saat ini mulai kotor. Padahal, setiap bulan PT Aetra harus membayar tagihan Rp3,5 miliar kepada Perum Jasa Tirta II untuk pasokan air baku ini.
Penyebabnya, pertemuan KTB dengan tiga sungai yang kadar pencemarannya sangat parah. “Kontribusi limbah yang paling tinggi adalah Kali Bekasi.
Di sisi sungainya ada 20 pabrik yang diduga membuang limbahnya ke sana,” ujarnya.
Syahril menambahkan, kualitas dan kuantitas air sudah menurun sejak April 2010 akibat kandungan organik dan amonia dari pencemaran di Kali Bekasi. “Sepanjang 2010 gangguan produksi air baku mencapai 73,4% atau sebanyak 2,7 juta meter kubik,” ungkapnya.
Padahal, lanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang lebih besar, perusahaan air minum tergantung dengan kualitas dan kuantitas air baku serta keberlangsungan pasokan listrik.
“Air tidak seperti listrik. Kalau sebuah gardu dinyalakan, aliran listriknya langsung menyebar.
Kalau air, pengalirannya tidak secepat listrik. Mereka butuh waktu untuk jalan di rongga-rongga pipa,” katanya.
Langkah yang diambil Pemprov DKI dalam mengantisipasi krisis air baku dan tingginya tingkat pencemaran adalah dengan cara membangun pipa saluran air minum dari Jakarta ke Waduk Jatiluhur.
Proyek ditargetkan bisa beroperasi pada 2011 dengan biaya investasi hingga Rp3 triliun.
‘’Studi kelayakan mengenai pembangunan saluran tertutup ini akan selesai pada 2010, sedangkan pembangunannya akan dimulai pada 2011,’’ ujar Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang akrab dipanggil Foke itu.
Saluran tersebut akan dibangun sepanjang 68 km dengan dua pipa paralel berdiameter masing-masing 1,5 meter. Kualitas air yang dikirim melalui saluran tertutup tersebut sudah berwujud olahan dan sehat tidak terkontaminasi bakteri.
Menurut Foke, saluran pipa tertutup sangat penting lantaran pengalaman selama ini dengan saluran terbuka melalui Kali Malang sudah tercemar dari limbah padat maupun cair yang dibuang masyarakat sekitar. (Ars/J-1)
Post Date : 11 Juni 2010
|