|
JAKARTA - Limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) yang berada di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta Utara, dikembalikan ke negara asalnya Senin (28/3) ini. Limbah B3 yang tersimpan dalam 19 peti kemas itu diimpor oleh PT Kertas Internasional dari Inggris. Limbah itu diangkut oleh sebuah kapal tongkang yang akan melakukan transit di Singapura untuk kemudian diteruskan ke Rotterdam, Belanda, dan diteruskan lagi ke negara asalnya Inggris. Namun sayangnya tidak ada petugas dari Indonesia yang mengawal pengembalian itu. Sebelumnya, Minggu (27/3) kemarin, tiga dari 19 peti kemas yang berisi limbah itu dibuka dengan disaksikan oleh petugas dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), Kepolisian, Bea Cukai, dan perusahaan pengimpor. Saat dibuka, peti kemas itu berisi sampah kertas yang bercampur dengan plastik. Sampah itu sempat mengeluarkan bau yang menusuk. Berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan KLH, barang-barang yang ada di dalam peti kemas itu adalah limbah B3 yang tidak boleh masuk ke Indonesia. Menurut Asisten Deputi 1/IV Bidang Manufaktur dan Prasarana KLH Hermin Roosita, pihaknya sudah melakukan kerja sama dengan negara-negara yang akan menjadi tempat transit kapal itu agar benar-benar sampai tujuan. "Sebelumnya kami juga mendengar informasi adanya limbah ini dari Belanda. Instansi lingkungan di Pelabuhan Rotterdam, telah menginformasikan adanya sejumlah peti kemas yang ditolak dan kemungkinan akan dibawa ke Indonesia, sehingga kemudian mereka memberi tahu kami agar hati-hati," jelasnya. Pengembalian limbah B3 itu sendiri merupakan tanggung jawab kedua perusahaan yang melakukan transaksi perdagangan atas barang itu. Pemerintah Indonesia hanya melakukan fasilitasi pengembalian barang-barang itu. Mengenai sanksi yang akan dijatuhkan kepada PT Kertas Internasional yang mengimpor limbah B3 itu, menurut Kepala Seksi Pencegahan, Bea Cukai Kanwil IV Jakarta GH Sutedjo, pihaknya masih menyelidiki apakah ada pelanggaran pidana dalam kasus impor limbah itu. "Sejauh ini kami masih mendapat keterangan dari pengimpor bahwa barang yang dimpor itu tidak sesuai dengan barang yang diminta, seperti yang disebutkan dalam dokumen kepabeanan," jelasnya. Menurut Hermin Roosita, pihaknya terus melakukan kerja sama dengan berbagai negara menyangkut ekspor dan impor yang berkaitan dengan limbah ini. "Ada kecenderungan Indonesia, seperti menjadi tempat pembuangan limbah dari negara-negara asing. Jadi kami harus terus melakukan koordinasi dari negara-negara asal yang mengekspor barang-barang itu," jelasnya. Mekanisme ekspor dan impor limbah itu sendiri dilakukan dalam transaksi perdagangan antara perusahaan asing dan perusahaan yang berada di Indonesia, sehingga harus ada keterlibatan Departemen Perdagangan yang harus melakukan pembinaan terhadap pengusaha-pengusaha yang nakal. Belum Jelas Usaha pengembalian limbah ini pun sebenarnya sama seperti yang dilakukan terhadap limbah yang berasal dari Singapura. Hingga kini usaha pengembalian limbah B3 ke Singapura masih belum jelas, setelah gagalnya pertemuan di Sekretariat Konvensi Basel, pekan lalu. Menurut Asisten Deputi 3/VII Bidang Informasi KLH Rasio Ridho Sani, Pemerintah Indonesia masih menunggu kesediaan Singapura dalam pertemuan di Sekretariat Konvensi Basel. "Kami masih menunggu pihak Singapura atas kesiapannya. Hingga saat ini kapal yang membawa limbah itu masih berada di perairan perbatasan antara Indonesia dan Singapura," ujarnya. Mengenai langkah apa yang akan diambil selanjutnya seandainya Singapura tidak mau melakukan pertemuan di Sekretariat Konvensi Basel, pihak KLH belum bisa menentukan. Namun Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pernah mengatakan bahwa kewajiban pengembalian itu tetap ada pada perusahaan yang mengekspor atau mengimpor. Jadi perusahaan akan tetap diminta pertanggung jawabannya terhadap masuknya limbah itu. (K-11) Post Date : 28 Maret 2005 |