|
Jakarta, Kompas - Meskipun telah terdapat kesepakatan internasional yang mengatur perpindahan limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3-seperti tertuang dalam Konvensi Basel-upaya impor ilegal limbah berbahaya tersebut hingga kini masih terus berlangsung. Setiap tahun, limbah yang membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia itu terus saja masuk ke wilayah Indonesia. Terakhir, hari Minggu lalu ada sembilan belas kontainer yang mengandung limbah B3 dikembalikan (reekspor) ke Inggris atas persetujuan importir dan eksportir. Seluruh kontainer telah dua bulan berada di Terminal Kontainer Internasional Tanjung Priok dan Kawasan Berikat Nusantara Marunda. Dalam dokumen transportasi laut (B/L = bill of lading) tertulis kontainer itu berisi kertas bekas (waste paper). Berbeda dengan nasib sembilan belas kontainer di atas, lebih dari seribu ton limbah B3 yang diimpor PT Asia Pacific Eco Lestari (APEL) dari Singapura masih terkatung-katung di perairan Riau. Pasalnya, Pemerintah Singapura bersikukuh bahwa limbah itu merupakan material organik yang tidak berbahaya. Sebelumnya, "material organik" yang berdasarkan penelitian ternyata diketahui mengandung radioaktif itu telah ditampung di lahan kerukan seluas hampir dua hektar di Pulau Galang Baru, Batam. Mantan Direktur Limbah B3 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Masnellyarti Hilman mengatakan, kasus-kasus limbah B3 memang sering muncul pada masa-masa seperti saat ini. "Pasti ada setiap pergantian kabinet dan itu akan selalu mengancam," kata perempuan yang kini menjabat sebagai Deputi VII Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup di ruang kerjanya, Selasa (29/3). Selama sembilan tahun menangani persoalan limbah B3, Nelly-demikian ia biasa disebut-mengetahui bahwa hal itu dilakukan karena perhatian pemerintah terfokus pada satu bidang tertentu. "Hal itu sekaligus mereka lakukan sebagai test case apakah pemerintahan baru benar-benar peduli terhadap persoalan lingkungan. Kalau tidak, maka limbah-limbah berikutnya akan masuk dengan mudah dan terus membahayakan kesehatan dan lingkungan," tutur penulis buku mengenai perpindahan limbah B3 di Indonesia itu. Berdasarkan pengalamannya, sejak Menteri Lingkungan Hidup dipegang Emil Salim, cara yang digunakan para importir untuk memasukkan limbah B3 masih sama. Bahkan, para importir juga membaca angin perubahan dalam negeri seperti era otonomi daerah diberlakukan. Saat itu, antara tahun 1999 hingga 2001 beberapa kasus limbah B3 dijumpai, seperti di Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, dan Manado. "Upaya memasukkan limbah terus terjadi hingga kini," katanya. Salah satu modus operandi memasukkan limbah B3 yang dilakukan adalah pencantuman nomor masuk barang (harmony system/HS) pada dokumen impor yang ternyata berbeda dengan isi kontainer. Yang pernah terjadi, nomor HS yang dinyatakan berupa bubuk buah pinang ternyata berisi serbuk gergaji yang mengandung karbon aktif. Setelah diketahui, nomor HS pun berubah menjadi semen atau jenis lainnya. Momen pilkada Informasi terakhir yang diperoleh Kedeputian IV Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi, lobi-lobi para importir limbah B3 gencar dilakukan di beberapa provinsi/kabupaten/kota yang dalam waktu dekat akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Beberapa daerah yang menurut laporan sedang didekati agar bersedia menerima limbah B3 di antaranya Bengkalis, Tanjung Pinang, Tanjung Balai Karimun, hingga Palembang. "Informasi itu jelas sekali dari pihak pengawas lingkungan hidup di daerah," kata Kepala Bidang Penyelenggaraan Asisten Deputi IV Urusan Manufaktur, Prasarana, dan Jasa Ary Sudijanto. Menurut Nelly, lobi-lobi importir semacam itu mengkhawatirkan karena melibatkan sejumlah besar uang yang disediakan perusahaan pengimpor limbah B3. Hal itu diungkapkannya karena ia pernah didatangi pengimpor dari Belanda dan mitra pengusaha Indonesia untuk menawarkan sejumlah uang (awal 1990-an). Upaya melindungi wilayah Indonesia dari masuknya limbah B3, menurut Nelly, tergolong berat. Selain menyangkut kemampuan teknis aparat, kepemimpinan, dan mental, juga lemahnya koordinasi antarsektor pemerintah. Berdasarkan informasi, setiap kali ada kesempatan pembahasan antardepartemen selalu muncul upaya melegalkan masuknya limbah B3 ke wilayah Indonesia. Alasan yang digunakan selalu berkaitan dengan iklim investasi. Beberapa kebijakan yang pernah dimunculkan adalah dilegalkannya impor aki bekas dan plastik bekas untuk mencukupi kebutuhan industri dalam negeri. Namun, sejak tahun 2002 kebijakan tersebut telah dicabut. Informasi terakhir, kini beberapa instansi pemerintah kembali menginginkan agar keran impor aki bekas dan plastik bekas kembali dibuka. Bahkan, usulan juga mencakup dibukanya izin impor seluruh jenis barang daur ulang di kawasan berikat dengan alasan menghidupkan iklim investasi. Padahal, ketentuan yang ada hingga kini masih mengisyaratkan bahwa beberapa barang daur ulang tergolong limbah B3, yang membahayakan kesehatan dan lingkungan sehingga harus dilarang. Dampaknya Bila usulan izin impor di kawasan berikat disetujui, sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, maka seluruh barang yang masuk di kawasan berikat tidak bisa disebut barang impor. Di satu sisi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa semua barang yang mengandung limbah B3 tidak boleh masuk ke wilayah Indonesia. Informasi yang diterima Kompas menyebutkan, mengenai upaya membuka keran impor barang daur ulang itu, Kementerian Negara LH yang didukung Departemen Perdagangan berhadapan dengan Departemen Perindustrian, Bea dan Cukai, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. "Menangani persoalan limbah B3 itu agak mudah kalau semua pihak bersatu. Kesulitan yang ada kadang justru muncul dari sesama pegawai pemerintah," kata Nelly. Padahal, beberapa kasus bahaya limbah B3 pernah dijumpai di Indonesia. Salah satu yang pernah diteliti Kantor Kementerian Negara LH adalah di kawasan industri Ngoro, Pasuruan, Jawa Timur. Setelah diukur, kandungan poly-chlorinated biphenyls (PCB) di tanah di kawasan industri daur ulang tersebut mencapai 1.000 ppm. Padahal kandungan 50 ppm sudah dinilai tinggi. PCB dilaporkan mengganggu IQ janin dan risiko kanker. (GSA) Post Date : 30 Maret 2005 |