|
Jakarta, Kompas - Manajemen air selalu menjadi prioritas pembangunan dan kebijakan politik dalam sejarah birokrasi Belanda. Profesor Sejarah Hubungan Eropa-Asia Universitas Leiden Leonard Blusse yang ditemui di Jakarta, Rabu (7/2), menjelaskan, langkah tersebut tetap diterapkan hingga hari ini di negeri Belanda sehingga mereka dapat bertahan meski terjadi luapan Sungai Rhine yang lebih besar dari Sungai Ciliwung. "Sekitar dua pertiga wilayah Belanda berada di bawah permukaan laut. Demikian pula sekitar 40 persen wilayah Jakarta merupakan cekungan yang rawan banjir. Manajemen air selalu menjadi agenda pertama pembangunan dan kebijakan jika kita berkaca pada catatan sejarah," kata Blusse yang bekerja sama dengan para pakar Indonesia menggali data arsip sejak zaman VOC di Indonesia dan Belanda. Blusse mengakui, meski dilakukan rekayasa teknik, kini Belanda tetap menghadapi ancaman banjir luapan Sungai Rhinepanjang 1.320 kilometerakibat penggundulan hutan di wilayah hulu di Jerman. Untuk itu, pelbagai kanal, perluasan sungai, dan pembangunan reservoir terus dilakukan. Rekayasa teknik pengaturan air ala Belanda, menurut Blusse, dikembangkan di Kerajaan Siam (Thailand) pada tahun 1800-an yang mengundang para insinyur Belanda untuk membangun sistem pintu air di jaringan Klong (kanal) di Bangkok. Demikian pula pada akhir abad ke-19 sekitar tahun 1890-an, Insinyur De Rijcke dari Belanda membangun sistem pengairan di sejumlah kota di Jepang. Kondisi alam di Jepang mirip dengan karakteristik Batavia di mana daerah hulu dan hilir berdekatan dengan ketinggian yang ekstrem seperti kawasan Puncak dan Jakarta dewasa ini. Bahkan terakhir kali, pasca- Topan Katrina menghancurkan Kota New Orleans, Pemerintah Amerika Serikat mengundang para insinyur Belanda untuk bekerja sama. Kerja sama itu sangat mungkin dikembangkan di Indonesia mengingat hubungan erat Belanda dengan Indonesia yang kini menjadi mitra sejajar. Pada penggalian jaringan pipa Belanda di Kota Tua di Jalan Pintu Besar Utara akhir tahun lalu, sejumlah insinyur Indonesia mengakui saluran air zaman Kolonial yang dibuka ternyata memiliki aliran yang jernih dan lancar. "Entah kenapa harus diganti dengan pipa baru," ujar seorang insinyur Indonesia. Batavia lebih bagus Di masa lalu, sistem irigasi Batavia dibangun lebih bagus dari negeri Belanda karena adanya keleluasaan untuk membangun dan minim intervensi penguasa. Sistem irigasi dan pengaturan air di Batavia dikembangkan sebagai prioritas pengembangan kota. Sejak semula, air menjadi urat nadi transportasi Batavia. Berdasar catatan sejarah, Blusse mencontohkan, pembangunan jembatan di Batavia selalu meminta masukan masyarakat lokal tentang batas air tertinggi. Ini bisa dilihat dari jembatan masa silam yang tidak terkena luapan banjir saat ini. Pembangunan kanal dan jaringan irigasi di Batavia mempunyai pelbagai manfaat sebagai jalur transportasi, pencegahan penyakit, hingga penanganan banjir. Kerusakan irigasi berdampak pada bencana, seperti selepas letusan Gunung Salak tahun 1700-an yang memicu wabah penyakit di Batavia akibat tersumbatnya saluran irigasi. Pembangunan kanal Mookervart pada abad ke-18 juga dimaksudkan untuk mengurangi bencana dan wabah penyakit. (ong) Post Date : 08 Februari 2007 |