Lembaga Air Minum Publik Butuh Penguatan

Sumber:Jurnal Nasional - 23 Maret 2009
Kategori:Air Minum

Masyarakat Jawa Timur yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRUHA) menyerukan untuk menolak privatisasi air. Alasannya dengan privatisasi air oleh swasta ini maka secara tidak langsung hak warga untuk mendapatkan air akan lebih kesulitan. Sementara privatisasi sendiri bukan malah melestarikan lingkungan, melainkan malah merusak.

"Hasil suvei di lapangan, gunung-gunung saat ini telah banyak dieksploitasi untuk kepentingan usaha. Hutan-hutan juga banyak yang gundul. Karena itu kita manfaatkan momentum Hari Air yang jatuh 22 Maret ini untuk menyepakati bersama menolak privatisasi air," kata Anggota Dewan Kota Surabaya, Pingky Saptandari dalam acara peringatan hari air se-dunia di Taman Bungkul, Surabaya, Minggu (22/3).

Pingky menyebutkan data kegiatan privatisasi air terhadap Perusahaan air minum (PAM) atau PDAM sudah bisa dilihat di Jakarta. Air yang harusnya dikelola oleh lembaga publik pemerintah berganti ke tangan swasta. Seperti muncul nama PT Thames PAM dan PT PAM Lyonnaise Jaya.

Bahkan menurut Pingky, peluang privatisasi saat ini semakin lebar ketika lembaga legislatif telah mengesahkan UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang juga merupakan desakan dari lembaga keuangan internasional melalui IMF dan ADB.

"Dengan dalih memberikan pinjaman, lembaga internasional tersebut mensyaratkan agar Indonesia membuka ruang bagi korporat swasta dalam dan luar negeri untuk mengelola sumber air hingga pelayanan pendistribusiannya," katanya.

KRUHA Jawa Timur dalam siaran persnya mengingatkan Gubernur Jawa Timur dan wali kota untuk mewaspadai bahaya privatisasi air melalui tawaran utang Bank Dunia, IMF, dan ADB.

"Oleh karena itu kita sosialisasi terus ke pemerintah, karena selama ini, kepedulian terhadap lingkungan dan air belum menjadi satu gerakan massal. Tapi masih secara individu dan sporadis. Kalau bukan urusannya, pemerintah tidak mau menangani," katanya.

Dalam peringatan Hari Air sedunia pada 22 Maret ini, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA) Jawa Timur seperti misalnya LBH Surabaya, Ecoton, Up-Link, dan Dewan Kota Surabaya. Mereka bersama sepakat menuntut Pemprov Jawa Timur dan pemerintah kabupatan/kota untuk memperkuat lembaga pengelola air minum publik yakni PAM atau PDAM dan mengkaji ulang serta mencabut pemberian izin terhadap perusahaan yang mengeksploitasi sumber air tanpa menjaga kelestarian lingkungan.

Berbagai gambar dan poster dipajang di halaman Taman Bungkul. Seperti gambaran kotornya kali Surabaya terlihat jelas. Sungai yang berubah warna akibat tercemari limbah manusia. Aksi ini semata-mata ditujukan untuk mengajak masyarakat menyadari bahwa kondisi lingkungan khususnya air sudah sangat memprihatinkan. Sehingga sudah saatnya masyarakat membuat suatu gerakan bersama untuk mengubah kondisi tersebut.

Menurut Ketua Ecoton, Prigi Arisandi tak kurang dari 4 ton feses dibuang setiap hari ke Kali Surabaya. Kandungan E-coli dalam feses itu termasuk dalam kategori berat yakni 11 miliar dan 64.000 sel bakteri per 100 ml. Padahal standar peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 kandungan bakteri yang bisa ditoleransi adalah 100 sel per 100 ml contoh air. Tentu saja untuk mengubahnya perlu ada komitmen bersama antara masyarakat baik unsur rumah tangga, sekolah, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan juga harus memberikan contoh.

Oleh karena itu, kata Prigi, perubahan ini bisa dimulai dari hal yang sederhana, seperti memberi contoh tidak membuang sampah sembarangan, memilah sampah, dan mengganti kantong plastik dengan kantong kain.

"Sungai juga tercemar karena industri dan budaya masyarakat membuang sampah plastik ke sungai. Karena itu kita saat ini kampanyekan nol sampah, minimal buang sampah pada tempatnya, kantong plastik ditukar kain, memilah sampah dan ini harus dari rumah (keluarga)," katanya.  witanto



Post Date : 23 Maret 2009