|
ESTER, 45, warga Kampung Baubau, Nusa Tenggara Timur, menyambar dua ember, gagang ember dikaitkan dengan kayu pemikul. Ester pun bergegas mencari air dengan melintasi pematang sawah yang mengering. Krisis air akibat kemarau membuat warga Baubau harus berjalan kaki sejauh 2 sampai 3 km untuk berburu air ke kampung tetangga. Selain memasak, para perempuan juga mendapat tugas tambahan mencari air. Termasuk juga anak-anak. Para lelaki dewasa pergi ke kota untuk mencari pekerjaan sebagai buruh bangunan, atau mengojek. Biasanya, pagi dan sore hari, datang penjual yang menjajakan air keliling ke rumah-rumah. Namun kini penjual air tidak kunjung datang. "Jika begitu, kami membawa ember untuk membeli air ke sumur warga yang masih memiliki air," katanya, kemarin pagi. Penjaja air umumnya berasal dari Desa Oesao yang berjarak sekitar 2 km dari Baubau. Air dikemas dalam jeriken bekas ukuran 5 liter seharga Rp2.000. Akan tetapi, harga air dipatok Rp3.000/5 liter jika jarak tempuh antara sumber air dan pemesan air lebih dari 1 km. Air yang dijajakan berasal dari sumur milik warga Oesao yang belum mengering. Mereka menjajakan air setelah seluruh air di sungai, termasuk di tiga waduk di daerah itu mengering. Tiga waduk itu adalah Waduk Baubau 1, Waduk Baubau 2, dan Waduk Baubau 3 yang mengering sejak awal Juni 2008. Tiga waduk itu dibangun sejak 1984 untuk menyediakan air bersih bagi warga dan mengaliri areal persawahan. Tetapi waduk-waduk itu mulai mengalami penurunan debit dalam dua tahun terakhir dan tahun ini malah mengering. Panas dan gersang. Itulah suasana Kampung Baubau, Desa Baubau, Kecamatan Kupang Tengah, daerah di pinggiran utara Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hamparan padang gersang yang mengelilingi permukiman yang dihuni ribuan petani itu membuat kondisi perkampungan bertambah panas dan terasa sumpek. Areal persawahan membentang luas di belakang permukiman. Meski luasnya cuma 100 hektare, persawahan itu menjadi satu-satunya tumpuan hidup warga Kampung Baubau selama puluhan tahun dengan menanam padi. Saat memasuki areal persawahan, terdapat selokan yang memisahkannya dengan permukiman yang terbuat dari tanah. Bagian dasar selokan retak karena sejak April 2008 tidak dialiri air. Kondisi tersebut tidak beda dengan tanah persawahan yang retak tak beraturan, berkedalaman 3 sampai 5 cm. Warga mencoba menanam palawija seperti kacang dan sayuran, tetapi gagal. Pasalnya, setelah usia tanaman mendekati dua minggu, air di kali menyusut lebih cepat sehingga tanaman terpaksa panen dini. Itu terjadi satu bulan silam. Saat ini, bila melintas di sana, debu akan beterbangan setiap langkah kaki berlalu. Di sisi kiri, rumah penduduk yang beratapkan daun pohon lontar seolah tidak mampu menahan terpaan angin yang bertiup dengan kecepatan 55 km/jam. Beberapa daun dari atap rumah beterbangan ke arah persawahan. "Beginilah kondisi kami. Di musim kemarau, kami sulit memperoleh air, tetapi di musim hujan, air melimpah," tutur Eli Kiuk, 45, sambil memungut potongan daun yang jatuh dari atap rumahnya. (Palce Amalo/N-3) Post Date : 09 Agustus 2008 |