Lebih Hidup Berkalang Sampah

Sumber:Kompas - 15 Oktober 2007
Kategori:Sampah Jakarta
Tiga gunungan sampah plastik milik Slamet (35) di atas lahan penggilingan seluas satu hektar itu bak timbunan harta karun. Nilainya mencapai Rp 100 juta.

"Belum seberapa dibandingkan dengan milik kawan saya yang lain," katanya merendah, ketika ditemui di tempat kerjanya, di samping Stadion Persitara, Kelurahan Kamal, Jakarta Barat, beberapa pekan lalu. Selain Slamet, di kawasan ini ada tiga penggilingan sampah plastik lain milik Chandra, Kasno, dan Hassan.

Siang itu, puluhan pekerja pemotong barang bekas plastik duduk bekerja di gubuk yang didirikan memanjang. Dua pekerja lain bekerja di depan mesin penggilingan plastik.

Setelah menerima sampah plastik dari para pengelola pangkalan, barang dipisahkan menurut jenisnya. Ada plastik keras dan plastik lunak. "Semuanya ada 20 jenis plastik," kata pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, itu. Setelah dipisahkan, barang dicuci dan digiling, dijemur, dan siap dibeli agen.

Saat ini, Slamet disuplai secara tetap oleh 12 pangkalan. Setiap hari ia mampu menjual 1-1,5 ton gilingan barang plastik. Kepada setiap pekerja, ia membayar upah sortir sepekan Rp 800.000, dengan perhitungan, setiap pekerja selama sepekan mampu menyortir 1-1,5 ton. Kini, dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 10 juta, pria yang hanya lulus SD itu setiap bulan mengirim uang Rp 4 juta kepada keluarga di kampung.

Pada 1992, saat berusia 14 tahun, setelah lima tahun bekerja di tempat penggilingan Joki, ia membuka usaha sendiri dengan dua pekerja. Kemampuannya membeli sampah plastik pun masih rendah, lima kuintal plastik dari para penampung.

Luar daerah

Usaha Slamet hanya satu di antara enam mata rantai bisnis daur ulang plastik yang bermuara di Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten. Mata rantai bermula dari para pemulung kepada penampung, selanjutnya ke pangkalan, sebelum sampai ke usaha penggilingan. Dari penggilingan ke agen, sebelum akhirnya sampai di pabrik produk plastik.

Pemulung menyuplai berbagai jenis sampah kepada penampung. Sementara penampung memisahkan antara sampah plastik, kertas, logam, beling, dan karpet, lalu menjual sampah plastik ke pangkalan khusus. Pangkalan melulu menyuplai berbagai jenis plastik kepada penggiling. Penggiling menjual jenis-jenis potongan plastik kepada agen untuk diolah menjadi bijih plastik daur ulang. Selanjutnya, bijih plastik daur ulang dari berbagai jenis dijual ke pabrik sesuai produk yang ingin dihasilkan.

Ada pabrik plastik yang membutuhkan bijih plastik lunak untuk membuat sedotan, perangkat dapur, alat tulis dan kantor, tas keresek, ember, dan berbagai kemasan. Ada pula yang membutuhkan bijih plastik keras untuk membuat kotak televisi, radio, komputer, kipas angin, lemari, kursi, dan perabot rumah tangga lainnya.

Di tingkat penampung, sampah plastik bahkan didatangkan dari luar Jakarta, seperti dari Lampung. Toib (41), seorang penampung terbesar di Bandar Lampung, setiap bulan mengirim 150 ton sampah plastik berbagai jenis ke Jakarta. Omzetnya Rp 1 miliar lebih.

"Tahun ini Bank BRI mau mengucurkan kredit usaha untuk usaha sampah saya. Awalnya mereka tidak percaya pada bisnis saya," kenang Toib, yang tinggal di Jalan Pagar Alam, Kelurahan Gunung Terang, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung.

Ekspor

Di Jakarta, persaingan di tingkat agen demikian ketat. Agen Suwandi (50) mengantisipasinya dengan memilih bermain bentuk plastik tertentu saja. "Mainan utama saya plastik daun (lembaran plastik bening)," tuturnya saat ditemui di tempat kerjanya di Bengkel Desa Jelupang, Kelurahan Serpong Utara, Tangerang.

"Omzet saya sebulan enam ton, dengan keuntungan bersih 40 persen dari omzet," kata Suwandi yang enggan menyebut angka pendapatan bersih usahanya. "Nanti saja kalau tahun depan saya sudah bisa mendirikan pabrik plastik sendiri," kilahnya.

Sampah ia beli dari para penampung di Cikampek, Jawa Barat. Untuk memperoleh sampah plastik di Jakarta, Suwandi bekerja sama dengan orang dalam. Hasilnya, ia memonopoli sampah plastik rumah sakit dan rumah duka Dharmais, Tarakan, Jelambar, dan Dharma Jaya, Pluit. Sasarannya, plastik gelas air minum dan botol infus.

Meski di posisi paling bawah dalam jenjang mata rantai sampah plastik, Samsi (18), pemulung asal Cipatat, Bandung, Jawa Barat, yang ditemui di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, mengaku masih mendapat penghasilan lumayan. Setiap hari ia mampu mengumpulkan segerobak sampah gelas serta botol plastik air minum dan kertas.

Satu kilogram gelas plastik air minum laku Rp 5.300, botol Rp 2.000, ember plastik Rp 1.000, sedangkan kertas cuma Rp 800. Penghasilan bersih Rp 75.000 sehari atau dalam 25 hari kerja Rp 1.875.000.

Meski masih tersebar di beberapa tempat, muara mata rantai bisnis sampah plastik ini ada di balik belasan kompleks pergudangan di tiga kelurahan, yaitu Dadap, Jati Mulya, dan Kosambi Timur, serta dua desa, yakni Kosambi Timur dan Cengklong, semuanya di Kecamatan Kosambi, Tangerang.

Hampir semua produk mereka diekspor terutama ke Taiwan dan China sebelum akhirnya menyebar ke hampir semua negara di dunia. Sayang tak ada catatan tentang pendapatan asli daerah atau pendapatan negara yang ditangguk dari industri yang diam- diam sudah berkelas dunia itu. (windoro adi)



Post Date : 15 Oktober 2007